Chereads / ADAMANTINE (The Unstable Heart) / Chapter 7 - Children

Chapter 7 - Children

- Karena ada langit di atas langit -

***

"Mas Arga itu kakak saya. Kakak kandung saya."

"Hah?"

"Tapi kan ... ka—kamu ..."

Terbersit rasa sendu di wajah Sakya yang meneduhkan. Amara yang sedetik tadi membelalak pun melembutkan tatapannya saat melihat raut yang menyimpan luka itu.

"Orangtua kami meninggal karena kebakaran saat kami kecil. Kami yang tadinya serba berkecukupan, tiba-tiba menjadi gelandangan, tiba-tiba putus sekolah. Usia saya masih enam tahun saat itu. Sedangkan Mas Arga saat itu berusia sembilan tahun."

Perlahan kedua matanya membasah. Seperti terlalu menyakitkan mengingat masa yang lalu bagi seorang Sakya.

"Maaf, memangnya tidak ada saudara orangtua kalian yang mau —"

Cepat-cepat Sakya menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Amara yang belum tuntas. "Ibu kami anak tunggal. Sedangkan adik-adik Ayah ... sebut saja mereka tak peduli."

Helaan napas panjang Amara, terdengar oleh Sakya yang berusaha tersenyum di antara rasa sedih yang membendung.

"Kami sempat menjadi anak jalanan. Mengais makanan sisa orang-orang. Ngamen, dikejar-kejar preman, terpaksa jadi pengemis ... sampai pada suatu hari ... Mas Arga dipukuli hingga babak belur oleh seorang preman. Saat itulah Allah menolong kami."

Kedua sudut mata Amara terpicing, terdesak rasa ingin tahu akan kelanjutan cerita itu.

"Seorang wanita yang kebetulan mengelola sebuah panti asuhan, lewat menyaksikan kejadian mengenaskan itu. Ia menolong kami berdua. Merawat kami berdua. Menyayangi kami berdua. Kami berada dalam pengasuhannya di panti asuhan. Sampai akhirnya, Papa mengambil saya untuk diadopsi. Saat itu Papa dan Mama sudah lama menikah tapi belum memiliki anak.

Awalnya saya takut ... apalagi harus berpisah dengan Mas Arga."

Sakya menghentikan ceritanya untuk mengambil napas panjang sembari merapal istighfar dalam hati. Baginya, tak pernah mudah untuk kembali menceritakan ulang kisah sedih di masa lalu. Sedangkan Amara memberikan kesempatan itu bagi Sakya dengan berdiam diri.

"Tapi Mas Arga berkali-kali menguatkan saya. Menjanjikan saya bahwa semuanya tetap akan baik-baik saja. Bahwa kami tetap akan sering bertemu. Papa juga menjanjikan itu pada kami. Dan Papa selalu menepati janjinya itu hingga sekarang. Setahun kemudian, giliran Mas Arga yang diadopsi oleh Om Hardi. Singkat cerita begitu."

"Lalu ... Yara adik kamu?" Amara memberanikan diri untuk kembali bertanya.

"Yara anak kandung Papa dan Mama. Saat sedang mengurus proses adopsi, Mama tak sadar sedang hamil. Tapi alhamdulillah mereka tetap mengadopsi saya."

"Tapi ... Yara sudah ... menikah?"

"Jodohnya datang di usia 20 tahun. Tiga bulan setelah menikah, suaminya memboyongnya ke Malaysia. Tepatnya setahun yang lalu."

"Ooh ... maaf," bisik Amara pelan.

"Ada lagi yang ingin Mbak Amara tanyakan dari saya?" tanya Sakya dalam senyum sendu pada Amara yang sedang tertunduk malu.

"Maaf. Saya benar-benar ... minta maaf. Saya sudah lancang menduga yang bukan-bukan antara kamu dengan Arga."

"Tidak apa-apa, Mbak. Wajar saja Mbak berprasangka seperti itu ketika melihat kedekatan saya dengan Mas Arga. Mbak Amara bukan yang pertama. Saya sendiri mulai terbiasa mengacuhkan pandangan orang yang menghakimi ini-itu."

"Kamu ... sudah biasa?"

Sakya menganggukkan kepalanya sekali dengan tetap tersenyum. Sikap Sakya ini sontak meluluh-lantakkan rasa angkuh Amara, menggantikannya dengan rasa malu yang bertubi-tubi.

"Sudah malam, Mbak Amara perlu istirahat. Oh ya, kamar mandi ada di sebelah jika Mbak mau bersih-bersih."

"Sakya ... terima kasih sudah mau menceritakan semuanya."

Sakya kembali membalas dengan senyuman. Diam-diam dalam hati kecilnya, Amara berharap andai saja Anggita memiliki hati dan sikap selembut Sakya. Jika dibandingkan dengan kehidupan Amara dan Anggita, kehidupan Sakya dan Arga dulu bisa dikatakan jauh lebih buruk. Sepasang kakak adik yang hanya berjuang sendirian di tengahnya keras kehidupan sepeninggal kedua orang-tua, sangatlah tidak mudah. Jauh lebih tidak mudah daripada ia dan Anggita yang masih tinggal bersama salah satu orangtua.

Amara menghempaskan tubuh ke atas kasur setelah mendapati pintu kamar itu ditutup oleh Sakya. Ada sepenggal rasa sedih dan sepenggal rasa senang merayap di hatinya. Entah kenapa, lega rasanya mengetahui jika Sakya dan Arga hanyalah saudara kandung.

Ia kembali terduduk lalu memikirkan rasa yang sedang mampir di dadanya. Lega? Kenapa ia harus lega mengetahui fakta itu?

Berusaha menyangkal sebuah pemikiran tak masuk akal yang tiba-tiba muncul di kepala, Amara berkali-kali menggelengkan kepala sendiri. Wajahnya otomatis memerah. Mungkin kepalanya sedang panas. Butuh didinginkan.

Sebuah handuk pink yang terlipat rapi disudut ranjang segera diraihnya. Mungkin guyuran air di kepala bisa kembali mendinginkan otaknya. Ia pun bergegas keluar menuju kamar mandi di sebelah. Berusaha membersihkan tidak hanya tubuhnya melainkan pikirannya yang sedang kotor.

============

"Pagi, Amara. Ayo, sarapan." Johandi yang sedang mengunyah nasi goreng menyambut kedatangan Amara yang sudah mengenakan sebuah kaos lengan panjang ungu dan celana kulot abu-abu milik Sakya. Rambutnya yang ikal panjang sudah terkuncir rapi di belakang.

"Pagi, Om, Sakya," balas Amara dengan senyum lembut. Johandi dan Sakya bisa melihat raut wajah Amara yang lebih segar dan tanpa beban pagi ini. Ia lalu duduk di samping Sakya yang berhadapan dengan Johandi.

"Om harap tidur kamu cukup nyenyak tadi malam."

"Nyenyak banget kok, Om. Terima kasih ya, Om. Sudah mau menerima kehadiran saya di rumah ini." Amara berusaha tersenyum tulus untuk menutupi kebohongannya. Tentu saja ia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena tadi malam batinnya sibuk berkonflik.

"Nggak usah terlalu formal, Ra. Anggap saja ini rumah kamu sendiri."

"Mbak, mau nasi goreng atau roti?" tanya Sakya yang menunjuk pada dua wadah berisi dua jenis makanan itu di atas meja.

Tentu saja dengan cepat Amara menjawab, "Nasi goreng!" Perutnya sudah sangat keroncongan setelah puasa 12 jam lebih.

Sakya hendak menyendokkan nasi namun Amara bergerak lebih cepat. Ia sudah memindahkan dua centong nasi goreng ke piringnya. Terlihat benar jika ia sangat kelaparan.

Saat akan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut, Johandi tiba-tiba menegurnya. "Jangan lupa baca do'a dulu. Kamu masih ingat kan pesan Ayah kamu dulu? Jangan makan terburu-buru."

Amara berusaha menelan ludah. Untung saja Amara masih hapal bunyinya do'a sebelum makan. Setelah melantunkan do'a dengan cepat dalam hati, Amara tidak membuang-buang waktu lagi untuk mengisi mulutnya.

"Hari ini Mbak ke kantor?" tanya Sakya di sela-sela aktivitasnya menenggak jus jeruk di tangan.

"Ini kan Sabtu. Saya libur, kok."

"Ada rencana lain?"

Amara berpikir sejenak lalu menggeleng. Lalu terdiam kembali saat tersadar ia harus segera mengambil tote-bag berisi dompet dan ponselnya di dalam mobil Lexus yang kemungkinan besar dibawa oleh Anggita tadi malam.

"Mbak mau menemani saya hari ini?"

"Kemana?" Dahinya mengernyit penasaran.

"Acara baksos-nya Sakya dengan teman-temannya." Johandi yang menjawab menggantikan Sakya yang sedang menyeka mulutnya dengan selembar tisu.

"Baksos? Untuk?"

"Anak-anak panti asuhan," jawab Johandi lagi.

Lalu seketika otak Amara mulai bekerja. Menghubungkan acara bakti sosial itu dengan masa lalu Sakya. Setelah itu Amara manggut-manggut dan stop bertanya.

"Gimana, Mbak?" Binar mata Sakya memperlihatkan hatinya yang mengharap.

"Boleh. Tapi saya bisa minta tolong mampir ke rumah dulu sebelumnya? Mau ganti baju dan ambil tas."

"Siap, Mbak!" jawab Sakya tegas ala tentara yang sontak mengundang senyum lebarnya mengembang.

Setelah menyelesaikan sarapan, tak perlu berlama-lama keduanya langsung berpamitan dengan Johandi. Namun sebelum itu, Sakya sudah terlebih dahulu bawel mengingatkan Johandi untuk tidak lupa mengonsumsi obat-obatan yang sudah diatur di meja kamarnya oleh Sakya.

Sakya yang ditemani oleh Amara, melajukan mobil Jazz merahnya membelah jalanan ibukota di Sabtu pagi menuju kediaman Retha.

Amara sibuk mengarahkan rute jalan yang harus diambil oleh Sakya. Untung saja Sabtu ini jalanan ibukota agak lengang. Tidak sesibuk saat weekdays. Dalam waktu setengah jam saja, sudah memasuki jalan besar menuju kediaman Mamanya.

"Belok kanan di ujung sana."

"Rumahnya yang mana? Pagar apa?"

"Ehm ... cuma satu rumah kok di sepanjang jalan itu," jawab Amara ragu-ragu.

Sejenak Sakya berpikiran jika mungkin saja rumah Amara diapit oleh tanah-tanah kosong. Namun benaknya tersentak saat mendapati kenyataan jika rumah yang dimaksud ternyata ukurannya menginvasi sepanjang jalanan itu. Spontan mulutnya menganga saat Amara memintanya membunyikan klakson agar gerbang besar berlapis warna emas itu dibuka dari dalam oleh seorang penjaga yang namanya Amara tidak hapal. Amara menurunkan kaca jendela mobil untuk menunjukkan wajahnya agar sang penjaga segera membuka pagar tinggi besar itu.

"Ini rumah Mbak?" tanya Sakya masih dengan terpukau.

"Bukan. Saya cuma numpang tidur di sini."

"Jadi ... ini rumah siapa?"

"Mama saya."

Sakya kembali memajukan mobil masuk ke dalam halaman luas itu.

"Berarti sama saja rumah Mbak juga bukan?"

"Apakah rumah Om Johan itu rumah kamu juga?"

Sakya terdiam. Ia mulai mengerti maksud pertanyaan balik Amara dan berhenti berbicara.

"Tunggu di sini sebentar, ya." Amara melepas seatbelt lalu menghela napas panjang saat melihat mobil Lexusnya tengah terparkir di depan  garasi. Bisa jadi Anggita ada di dalam rumah saat ini. Dan ia benar-benar belum ingin bertemu dengan adiknya itu pasca insiden tadi malam.

Bu Susi membukakan pintu untuknya lalu menyambutnya dengan salam yang sudah di-setting seperti biasanya, "Selamat datang, Mbak Amara."

"Nyonya dan Gita di rumah?" tanya Amara dingin sebelum melangkah masuk.

"Ibu masih di Semarang. Mbak Gita belum pulang sejak tadi malam."

"Apa?? Tapi ... mobil saya ada."

"Mbak Gita membawa pulang mobilnya Mbak Amara. Tapi nggak lama pergi lagi dengan temannya."

"Siapa temannya?" tanya Amara berusaha menahan emosi.

"Saya nggak tahu, Mbak."

"Laki-laki?"

"Saya nggak lihat. Orangnya menunggu di dalam mobil."

Dengan segenap rasa kesal, Amara memasuki rumah lalu bergegas naik lift menuju kamarnya. Sungguh Amara tak habis pikir. Kenapa adiknya itu tidak kapok-kapoknya bergumul dalam pergaulan bebas. Pria mana yang benar-benar disukainya pun, Amara tak tahu. Yang Amara tahu selama ini hanya adiknya itu sering pulang tengah malam, dalam keadaan mabuk, setengah sadar, kadang benar-benar tak sadar, lalu paginya membagi cerita mesum pengalaman semalamnya di ranjang. Dan Amara sungguh benar-benar sudah muak dengan kebebasan tidak bertanggung-jawab yang sedang dilakoni oleh adiknya itu.

Masuk ke dalam kamar, Amara segera mengganti baju sekenanya. Hanya mengenakan kemeja biru kasual dan celana denim paku. Itu saja sudah cukup. Amara tak terlalu memedulikan riasan di wajahnya yang saat ini benar-benar polos bahkan tanpa sapuan lipstik. Toh, hanya kunjungan ke panti asuhan saja, kan? Tak perlu ia bersusah-payah merias diri untuk terlihat bak putri kecantikan di depan anak-anak yang kurang beruntung itu. Bahkan rambutnya yang dikuncir kuda pun tak terikat dengan rapi. Beberapa helai rambutnya dibiarkan terlepas.

Merasa diri sudah rapi ala kadarnya, Amara meninggalkan kamarnya menuju ke lantai bawah. Ia raih kunci mobilnya yang terletak di gantungan sebelah meja buffet ruang keluarga. Lalu bergegas keluar menghampiri mobil mewahnya. Tote-bag  kesayangannya masih ada di jok penumpang. Namun ponselnya terletak begitu saja di atas dashboard dalam kondisi mati. Kedua bola matanya memutar malas. Kini ia diharuskan kembali ke kamar untuk meraih power-bank, charger, atau sejenis pengisi daya lainnya.

Setelah menemukan power-bank yang awalnya ia lupa tersimpan di mana, Amara berlari cepat keluar rumah lalu masuk dalam mobil honda Jazz merah milik Sakya.

Dengan napas tersengal-sengal, ia memohon maaf pada Sakya karena sudah terlalu lama membuatnya menunggu. Untung saja Sakya tersenyum lembut dan memaklumi waktu yang sudah dihabiskannya lebih dari setengah jam di rumah itu .

Sakya segera mengemudikan mobilnya menuju panti asuhan tempat kegiatan bakti sosialnya berlangsung ke arah Depok. Sebenarnya Sakya sudah telat. Satu jam sudah berlalu. Semoga saja teman-teman dan kakaknya yang sudah setia menunggu di sana sejak pagi, mau memaklumi keterlambatannya.

Dikarenakan kondisi lalu-lintas yang mulai padat merayap menjelang siang hari, Sakya baru tiba di lokasi saat waktu di jam tangannya menunjukkan pukul 10.47.

"Maaf ya, Sakya. Saya benar-benar minta maaf. Harusnya saya tidak usah ikut saja tadi." Meskipun Sakya sudah berkali-kali memaafkan dan menenangkan Amara bahwa tidak masalah kalau mereka telat, Amara tetap yakin jika ia sudah merusak jadwal Sakya hari ini. Jika Amara yang berada di posisi Sakya, tentu ia sudah menyemprot marah. Untung saja Sakya orang yang lemah lembut, santun, dan pengertian. Memiliki semua sifat yang berlawanan dengan sifatnya. Sehingga kini Amara yang dihujam rasa bersalah.

"Mbak Amara lucu deh kalo seperti ini. Tapi, saya menyukai sisi Mbak yang seperti ini. Lebih manusiawi," sahut Sakya sambil menutup mulutnya yang sedang tertawa gemas.

Amara tersipu dengan pernyataan polos Sakya. Otomatis tersenyum. Wajar jika Sakya berujar seperti itu. Karena selama ini dirinya dikenal sebagai sosok angkuh, dingin, bermental baja, killer, datar, cuek, dan sifat-sifat lain yang mendeskripsikan sosok sok tangguhnya. Amara memang sengaja menciptakan kesan seperti itu. Ia ingin orang lain tidak mudah jatuh padanya, dan ia tidak mudah jatuh pada orang lain. Karena jujur saja, jatuh itu menyakitkan.

"Jadi, acaranya ngapain?" tanya Amara saat mereka berjalan kaki beriringan memasuki sebuah gang kecil yang tidak muat dilewati oleh mobil.

"Mengajari anak-anak mengaji dan menulis huruf hijaiyah."

Deg! Sepertinya Amara salah alamat dan — Amara menyorot penampilannya — salah kostum. Mengajari anak-anak panti belajar mengaji? Yang benar saja! Harusnya Amara yang menjadi salah satu murid yang juga diajarkan. Bukan hanya mengaji, tapi juga keseluruhan ilmu keagamaan. Ia sudah terlalu lama meninggalkan Tuhan.

"Saki! Kamu telat!" Arga sudah menyambut kedatangan Sakya di depan pagar sembari mengetuk jam tangannya.

Sakya berlari menuju kakaknya lalu mencium tangannya takzim. Sementara Amara berjalan dengan slow-motion. Antara terkejut dengan kehadiran Arga di sana atau bimbang menilai pantas atau tidaknya ia berada di tempat itu.

Lalu seketika setelah berjarak dua meter dari pagar, langkah pelannya terhenti.

"Emmm ... saya ... lebih baik pulang saja," ucapnya ragu-ragu.

"Lho, kok pulang? Ayo Mbak, masuk aja. Nggak pa-pa, kok." Sakya berjalan mendekati. Tapi Amara perlahan menjauh.

Sementara Arga melayangkan tatapan tajamnya. Tatapan yang justru menyihir hingga membuat langkah mundur Amara terhenti lalu terdiam kaku.

"Yuk, Mbak!" Sakya menarik tangan Amara untuk ikut dengannya. Sedangkan Amara yang tadinya menolak, akhirnya menurut pasrah sambil berjalan menunduk.

Semoga Arga tidak memperhatikan wajahku yang terlihat kacau dan tanpa riasan ini. Harapnya dalam hati.

"Assalamu'alaikum, Amara," sapa Arga saat Amara berjalan melewatinya.

"Wa'alaikum salam ... Arga," jawabnya pelan hampir berbisik lalu terus berjalan mengikuti kemana tangannya ditarik oleh Sakya.

Arga ikut berjalan di sampingnya.

"Sudah baikan?" tanyanya pada Amara dan dijawab hanya dengan sebuah anggukan.

"Bagus." Hanya itu respon terakhir Arga lalu ia berjalan cepat mendahului Sakya menuju teras rumah.

Di sana telah berdiri seorang wanita berusia 40-an dengan pakaian muslimah syar'i dan hijab menjuntai hingga melewati pinggangnya

"Assalamu'alaikum, Mbak Rana." Sakya yang sudah melepas genggaman tangannya kini mencium takzim tangan wanita itu.

"Wa'alaikumussalam, Saki. Tumben bawa teman baru," ujarnya dengan senyum sumringah.

"Kenalkan, ini Mbak Amara. Dekan di kampusku. Mbak Amara, ini Mbak Rana. Kepala panti."

Amara mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat dengan Rana. Tak lupa disertai senyum ramah.

"Waah, masyaa Allah. Terima kasih Mbak Amara sudah mau repot-repot mampir kesini."

"Nggak apa-apa, Mbak. Kebetulan saja," jawab Amara sumringah.

"Kalau begitu, kita ke dalam dulu ya, Mbak." Ijin dari Sakya itu segera direspon dengan anggukan kepala oleh Rana.

Mereka berjalan memutari bangunan itu, tidak masuk lewat pintu depan, melainkan melalui jalan kecil yang ada di samping bangunan. Lorong kecil itu lembab dan sempit. Jalannya menuntun mereka menuju halaman belakang yang ternyata sangat luas. Di kedua sudutnya terdapat gazebo yang cukup besar yang terbuat dari rotan dan bambu. Di tengah-tengah lapangan, beberapa wanita dan pria dewasa telah berbaur dengan sekumpulan anak-anak yang Amara yakini berusia tiga hingga lima belas tahun mungkin.

"Assalamu'alaikum, teman-teman." Sakya menyapa mereka semua dengan senyum ramah setelah melepas genggamannya pada Amara.

"Kak Sakyaaaa!" teriak mereka serentak lalu berebut memeluknya.

Arga yang berdiri di samping Amara, tersenyum melihat pemandangan itu. Sementara Amara, hatinya terenyuh melihat wajah ceria anak-anak yang kurang beruntung itu. Tawa polos mereka seakan menepis segala keluhan dalam hatinya. Tanpa disadari, Amara pun mengulas senyum.

"Pemandangan yang indah, ya?"

Amara menoleh pada Arga yang ia tak tahu mengajak bicara pada siapa.

"Eh? Apa?"

"Anak-anak itu. Keceriaan mereka menyejukkan."

"Ooh ... iya."

Amara kembali meneliti raut wajah anak-anak yang sedang bergantian menyapa dan memeluk Sakya. Polos, senang, tanpa beban. Tidak perlu memikirkan apa yang harus dipikirkan oleh manusia dewasa sepertinya. Namun jika Amara memiliki kesempatan untuk kembali ke masa kecilnya, ia tak akan mau. Masa kecilnya suram, penuh beban, penuh keluhan, penuh tangisan. Meskipun sang Ayah menyayangi dan merawatnya dengan baik, tetap saja satu sisi dalam dirinya tak sempurna. Tak tersentuh. Menjadi ruang gelap. Penuh dendam. Penuh amarah. Mengingat itu membuat senyumnya kembali pudar.

"Sakya dan teman-temannya mengajari mereka mengaji?"

"Ya."

"Kenapa tidak panggil guru ngaji saja?"

"Untuk mengajari 28 anak?"

"Iya."

"Panti tidak punya dana untuk itu."

Jawaban Arga membuat Amara kembali terhenyak.

"Lagipula, butuh tidak hanya satu guru untuk mengajari anak-anak sebanyak ini."

"Sejak kapan Sakya dan teman-temannya menjadi sukarelawan di sini?" Kini Amara memberanikan diri menatap pria itu. Entah kenapa posenya yang sedang memasukkan kedua tangan dalam saku celananya terlihat keren di mata Amara.

"Sejak lulus kuliah." Lalu matanya beralih membalas tatapan Amara. "Saki sudah cerita sejarah hidup kami?"

Amara mengalihkan pandangannya kembali pada Sakya yang sedang ditarik oleh anak-anak menuju gazebo.

"Ya."

"Saki terlalu khawatir terhadap penilaian orang-orang tentang kami. Termasuk penilaian kamu."

Amara tertunduk lalu menghembuskan napas beratnya. "Maaf."

Arga diam saja.

"Maaf, saya sudah berlaku kasar dan mengatai kamu yang bukan-bukan di kantor."

Arga masih tetap diam sambil menerawang ke arah pohon palem yang menjadi lindungan gazebo di sudut kiri.

"Saya ... salah. Harusnya saya cari tahu dulu kebenarannya dan —"

"Sekarang, kamu sudah mengetahui faktanya. Jadi tidak ada pemberat lagi yang menghalangi kerjasama kita, kan?"

Amara menganggukkan kepala perlahan. Ia benci mengakui salah. Ia benci mengakui kalah. Sifat angkuhnya selalu lebih dominan. Biasanya begitu. Tapi tidak kali ini. Amara tidak berat hati mengakui kesalahannya. Justru ada rasa lega terselip dalam hati setelah mengetahui jika ia yang salah menduga.

"Kakak, Kakak ... Kakak namanya siapa?" Seorang bocah perempuan berusia kisaran enam tahun meraih tangan kanan Amara lalu bergelayut manja di sana. Amara pun berjongkok untuk menyejajarkan wajah mereka.

"Nama Kakak, Amara. Nama kamu siapa?" tanya Amara lembut, selembut tatapannya.

"Aku Vidi."

"Hai Vidi, sudah kelas berapa?"

"TK, Kak."

Lalu sorot matanya menangkap sosok Sakya yang memanggilnya untuk turut masuk dalam gazebo.

"Yuk, kita samperin Kak Sakya." Amara berjalan sambil menggandeng tangan bocah kecil itu menuju gazebo. Arga mengikuti langkahnya dari belakang.

"Teman-teman, Kak Sakya membawa teman baru kali ini," seru Sakya tiba-tiba saat Amara baru saja duduk di dalam gazebo lalu segera disambut dengan pekik riuh bahkan suitan oleh anak-anak.

"Kenalkan, ini Kak Amara. Remember what to say, class?"

"Hello, Kak Amara. Nice to meet youuuu," seru anak-anak menjawab serempak.

"Nice to meet all of you, too."

"Nah, teman-teman. Sekarang langsung membentuk lingkaran dengan kelompok kecilnya ya."

Tak butuh waktu lama bagi anak-anak tersebut untuk menjalankan instruksi dari Sakya. Mereka benar-benar tertib dan penurut. Sakya dan Arga langsung menghampiri kelompok kecil yang akan mereka bimbing.

"Nah, minggu kemarin sudah sampai jilid berapa ya ngajinya?" tanya Arga pada kelompok kecilnya yang terdiri dari lima anak itu.

Amara menyaksikan sendiri betapa sabarnya Arga, Sakya dan teman-teman dari kumpulan halaqohnya dalam mengajari anak-anak panti mengaji. Tak sedikitpun rasa kesal atau lelah terpancar dari raut wajah mereka. Mungkin benar ucapan Sakya di mobil tadi. Senyum dan tawa anak-anak itu obat penawar lelah.

Amara merasakan getaran dari dalam saku celananya. Saat mengeluarkan ponselnya, terlihat sebuah panggilan dari sekretarisnya, Sasha.

"Halo, ada apa, Sa?"

"Bu, maaf mengganggu. Pak Gusti telepon. Katanya ada masalah lagi di Grand Luxury Depok. Pak Gusti minta Bu Amara segera menyusul kesana."

Amara mendesah lelah. Kenapa di akhir pekan seperti ini ia masih saja harus berkutat dengan masalah pekerjaan. Padahal ia sedang menikmati pemandangan wajah-wajah polos di hadapannya. Sedangkan mamanya, sang CEO, dengan enaknya shopping bareng teman-teman sosialitanya di Semarang.

"Ya sudah, saya kesana sekarang."

Amara menutup panggilan itu lalu menggeser tubuh perlahan menghampiri Sakya yang sedang mengajari tiga anak perempuan.

"Minal wat—"

"Sakya, maaf saya permisi duluan, ya."

"Lho? Mau kemana, Mbak?"

"Sekretaris saya telepon, ada masalah di lapangan. Saya harus segera meninjau kesana."

"Oh begitu. Perlu saya antar?"

"Tidak usah, terima kasih. Saya naik taksi saja."

"Tapi, Mbak—"

"Biar aku saja yang antar." Arga yang duduk tak jauh dari keduanya berujar.

"Eh, nggak usah. Saya naik taksi saja." Amara bersikeras menolak.

"Saya antar atau kamu tidak boleh pergi!"

.

.

~~~•••••••~~~~~~~~••••••~~~~~