Chapter 8 - Feeling

- Wahai perasaan, kenapa kamu datang tiba-tiba saat tak diharapkan? -

****

"Saya kan sudah bilang, bisa naik taksi." Amara mendesah kesal lalu melipat kedua tangan di depan dada. Punggungnya bersandar pada jok mobil di kursi penumpang.

"Saya hanya menggantikan tugas Sakya saja. Dia pasti merasa bersalah kalau membiarkan kamu pergi sendiri."

"Saya wanita mandiri. Saya akan baik-baik saja tanpa bantuan siapapun! Jadi, kamu atau Sakya, tidak perlu repot-repot memikirkan keselamatan saya."

"Saya juga tidak mau direpotkan," balas Arga santai.

"Ya makanya, biarkan saya pergi sendiri saja! Lagipula lokasinya juga sama-sama di Depok."

"Tapi tidak dengan Sakya. Dia pasti kepikiran kamu."

Amara mencibir kesal. Sedikit rasa kecewa muncul di dada. Jadi, bantuannya ini cuma atas nama Sakya?

Ponsel di sakunya kembali bergetar. Amara mengeluarkan benda itu lalu membaca tulisan di layar.

KAKEK BUAYA

Bahan bakar emosinya kembali bertambah. Orang yang paling tak diharapkan dalam hidupnya di muka bumi, kembali menelepon.

"Itu panggilan berkali-kali nggak dijawab?" tanya Arga yang merasa terusik dengan suara getaran yang cukup keras.

"Never mind! Hanya kakek-kakek sakit jiwa!" jawab Amara ketus.

Namun lagi-lagi ponselnya bergetar. Lebih dari lima kali panggilan itu tertuju ke ponselnya. Amara mulai gerah.

"Ya, Om Hasan yang terhormat."

"Kenapa kamu tidak angkat panggilan saya?"

"Sekarang diangkat, kan?"

"Kenapa sekarang?"

"Kenapa harus?"

"Kamu tahu siapa saya, Amara."

"Ya, saya tahu. Kakek-kakek gemar kawin, kan?"

"Hahaha! Saya belum punya cucu, Amara. Mungkin nanti, dari anak-anak kita."

Amara tiba-tiba mual. Rasanya ingin memuntahkan seluruh isi perutnya.

"Ada urusan apa? Better be important!" tanyanya ketus.

"Tidak ada. Saya hanya kangen mendengar suara kamu."

"Sinting!"

"Sebulan ini saya akan keliling Eropa, Amara. Saya berharap kamu bisa menemani saya di sela-sela kesibukan sa—"

Panggilan ditutup. Amara sudah muak. Tidak penting meladeni buaya darat tua itu baginya.

"Semua laki-laki itu sama saja. Hobinya seputar kue apem sama kue cucur! Disitu-situ aja!" Amara meracau sendiri.

Arga diam saja. Malas menanggapi

"Kamu nggak mau protes omongan saya itu?"

"Buat apa?"

"Jadi kamu setuju sama pendapat saya tadi?"

"Pendapatmu ya pendapatmu. Nggak ada urusannya sama saya.

"Tapi kamu kan laki-laki."

"Saya laki-laki tapi tidak merasa seperti yang kamu tuduhkan."

"Lantas? Kenapa nggak protes?"

"Buat apa? Percuma mendebat pemikiran orang yang berbeda sudut pandang. Nggak akan pernah nyambung. Pikiran saya ke barat, kamu ke timur. Kapan ketemunya?"

"Di suatu titik pasti ketemu. Ada titik temu untuk semua arah.  dan mungkin titik temu pikiran saya dengan pikiran kamu ada di suatu tempat yang tidak begitu jauh."

Amara tersentak sendiri dengan kalimat yang baru saja terluncur dari lisannya. Untuk apa juga dia bicara seperti itu?

Arga yang menatap fokus pada jalanan di depan lalu memicing. Berusaha mencerna arti dari kalimat wanita ini.

"Maksud kamu?"

Amara menghela napas panjang. Jangankan Arga, ia sendiri bahkan tidak paham maksud perkataannya tadi.

"Never mind! Pikiranmu nggak akan pernah nyampe."

Ya, lebih baik melontarkan hinaan seperti biasanya. Menjadi Amara yang biasanya. Lebih mudah menghindari daripada berusaha memahami hatinya sendiri.

Lima menit kemudian, hening tercipta di antara keduanya.

Sebentar-sebentar Amara melayangkan lirikannya pada pria di sebelah kanannya itu. Rasanya semakin penasaran dengan sikap cuek Arga.

"Kamu nggak penasaran dengan orang yang telepon saya tadi?"

"Bukan urusan saya."

"Nggak penasaran kenapa saya marah-marah sama dia?"

"Bukan urusan saya."

Fixed! Cowok kutub! Rutuknya dalam hati.

"Bagus. Jadi saya tidak perlu repot-repot menjelaskan!" balas Amara angkuh sembari mengangkat dagu. Lalu pandangannya beralih pada jendela di samping kirinya.

"Jadi, kamu sudah ikhlas melepas Razi?" tanya Arga tiba-tiba sambil memutar setirnya berbelok ke kanan.

"Hah?"

"Kamu sudah ikhlas melepas Razi?" ulang Arga sekali lagi.

"Eh ..." Amara bingung menjawab. Bahkan sejak kemarin nama Razi sudah terlepas dari pikirannya.

"Belum?"

"Kenapa kamu ungkit soal Arsan lagi? Kamu sendiri yang bilang dia sudah jadi suami orang."

"Memang."

"Ya terus? Ngapain nanya? Aku ikhlas atau nggak, nggak ada pengaruhnya juga, kan?"

Arga kembali diam. Wajahnya pun datar saja tanpa ekspresi. Dan lima belas menit berikutnya hanya dihabiskan keduanya dalam keheningan di mobil. Menit berikutnya mereka sudah tiba di hamparan tanah kosong yang menjadi bakal perumahan mewah Grand Luxury.

"Terima kasih sudah mau repot mengantar saya. Tolong sampaikan salam saya sama Sakya."

"Lebih baik kamu sampaikan sendiri." Arga menjawab santai.

"Maksudnya?"

"Saya akan menunggu di sini."

"Hah??" Bola mata Amara membelalak lebar.

Melihat reaksi kagetnya, Arga memandangnya dengan tersenyum. "Kenapa kaget?"

"Y—ya ... ka—kamu ngapain nunggu?" tanyanya gelagapan.

"Kan saya sudah bilang. Nanti Sakya khawatir."

Amara terdiam sejenak. Wajahnya yang tadi memerah, kini meradang.

"Dan saya sudah bilang, tidak perlu repot-repot memikirkan saya! Saya akan pulang dengan taksi!" Setelah melepas seatbelt, Amara bergegas untuk keluar dari mobil.

Lalu saat itulah ia mendengar jawaban, "Oke, kalau itu mau kamu."

Dan beberapa detik kemudian Arga sudah kembali melajukan mobilnya meninggalkan lahan kosong puluhan hektar itu. Sekaligus meninggalkan Amara yang merasakan nyeri di dada.

============

"Selamat datang, Mbak Amara." Bu Susi kembali menyambut kddatangan Amara.

Dan seperti biasa, Amara akan mengajukan pertanyaan, "Nyonya besar dan Gita ada di rumah?"

"Maaf, Mbak. Dua-duanya belum pulang."

Jika biasanya Amara merasa lega karena ia hanya seorang diri di rumah mewah itu, tapi tidak kali ini. Entah kenapa Amara merasa benar-benar hampa. Sepi. Sunyi. Tak berkawan. Tak bermusuh. Sudah tiga hari ini hanya ia yang menjadi majikan di kediaman Retha, sang Mama yang mungkin masih sibuk arisan berlian dengan teman-teman sosialitanya. Sedangkan Anggita, adiknya itu sudah tiga hari tak berkabar. Ponselnya tidak aktif. Pesan-pesan dari Amara pun tak berbalas.

Ia kembali mengingat kehangatan yang ia terima tiga hari yang lalu di rumah Johandi. Lalu kehangatan yang ia rasakan di tengah anak-anak panti asuhan.

Sakya beruntung memiliki Johandi sebagai orangtua angkat. Anak-anak panti beruntung memiliki Mbak Rana, Sakya dan teman-temannya. Lalu Amara? Siapa yang ia miliki? Siapa yang menyayanginya?

Amara menangis seorang diri di dalam kamarnya. Sedu-sedannya menggema dalam ruangan itu. Luapan air mata membasahi gulingnya yang bersarung sutra. Amara terlalu sedih. Hatinya merana. Amara terlalu mendamba. Hatinya mengharap. Sebentuk kasih sayang yang dirindukan.

Falling out of love is hard

Falling for betrayal is worse

Broken trust and broken hearts

I know.. I know

Thinking all you need is there

Building faith on love and words

Empty promises will wear

I know.. I know

And now when all is gone

There is nothing to say

And if you're done with embarrassing me

On your own you can go ahead tell them

Suara James Arthur menggema dari ponsel yang tadi ia banting ke atas ranjang. Amara buru-buru menyeka matanya lalu membaca tulisan di layar. Mulutnya menganga seketika saat melihat nama sang penelepon. Pertama kalinya orang itu menghubungi Amara. Hatinya yang tadi mendung, kini menghangat.

"Ehm. Hal—eh, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Kamu sudah di rumah?"

"Ehm, iya." Amara berusaha menenangkan suaranya yang serak. "Ada apa?"

"Kamu sakit?"

"Eng—enggak. Ada apa?"

"Cuma mau membicarakan tentang kerjasama kita."

Amara mendesah lemah.

"Tadi sore saya mau mampir ke kantor kamu, tapi ternyata ada klien datang."

"Ya sudah, besok saja."

"Kapan mau meninjau ke Bali?"

"A—apa?"

"Kapan mau melihat lokasi di Bali? Saya bisa minggu ini. Minggu depan dan minggu berikutnya saya rasa tidak bisa kalau harus keluar kota."

Amara melebarkan matanya lalu tersenyum lebar saat muncul sebuah ide di kepalanya.

"Emmm, bagaimana kalau besok? Bisa kita ke Bali besok? Eh, ma—maksud saya ... kamu bisa kalau berangkat besok?"

"Oke. Saya bisa besok. Jam berapa?"

"Emmm, saya akan hubungi sekretaris saya untuk mengurus akomodasi. Dua jam lagi saya kabari kamu. Besok saya akan bawa sekalian kontrak untuk kamu."

"Oke, saya tunggu kabarnya."

Selesai telepon ditutup, Amara tersenyum sembari menggigit bibir bawahnya berkali-kali. Ada lonjakan senang di hatinya. Tangannya kembali meraba jantungnya. Debaran kencang itu benar-benar terasa.

Cepat-cepat ia menghubungi Sasha lalu memberikan instruksi ini-itu pada wanita yang lebih tua dua tahun darinya itu.

Amara sungguh tak sabar menunggu hari esok. Tubuhnya dihempaskan ke atas ranjang lalu menutup wajah dengan kedua tangannya. Berusaha menahan rasa malu yang merayap. Lalu ia kembali duduk. Menatap cermin di seberang yang menampilkan keseluruhan wajahnya yang sedang merona merah. Tangan kanannya terangkat menuju pipi merahnya. Kepalanya bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah ini artinya ...

Cepat-cepat Amara melepas wajahnya yang sedang menggeleng sendiri. Tidak! Ia tidak boleh mudah larut dengan perasaan mellow seperti ini. Cukup sekali saja perasaannya dipermainkan. Ia tak mau patah hati di masa lalu kembali terulang. Apalagi Amara kembali diingatkan dengan nama Jihan. Nama yang disebutkan Johandi pada Arga beberapa hari yang lalu. Bisa jadi Jihan adalah istri yang setiap hari setia menanti kepulangan Arga ke rumah mereka.

Amara harus tahu diri. Kembali bersikap profesional seperti biasanya. Atau lebih tepatnya, bersikap angkuh seperti biasanya.

Amara menarik dan menghembuskan napas berkali-kali lalu segera menekan tombol fast-dial di ponselnya.

"Assalamu'alaikum." Suara diseberang itu langsung mengangkat di deringan pertama.

"Wa'alaikum salam. Sekretaris saya sudah mengurus semuanya. Besok kita naik penerbangan jam delapan pagi. Kamu bisa?"

"Oke. Saya akan ajukan cuti kantor. Untuk berapa lama?"

" Tiga hari saya rasa cukup."

"Baik. Sampai ketemu be—"

"Telepon sama siapa, Sayang?" Suara seorang wanita terdengar di ujung sana. Sepertinya posisinya dekat dengan Arga.

"Teman," jawabnya singkat lalu segera beralih pada Amara. "Kalau begitu sampai ketemu besok. Assalamu'alaikum."

Tanpa menjawab salam, Amara segera mengakhiri percakapan itu.

Kembali dirabanya jantungnya. Kenapa rasanya nyeri?

=========

"Kamu sudah check-in?" Pria itu membuka kacamatanya agar lebih leluasa memandang kerumunan di terminal 3 bandara.

"Sudah. Saya tunggu di sini," jawab Amara tak acuh sembari mengedar pandangan ke sekitarnya. Ia sengaja tak mau menatap pria yang baru saja tiba itu.

"Saya check-in dulu. Titip koper." Ia meninggalkan koper kecilnya begitu saja di hadapan Amara.

"Whattt???" bisik Amara tak percaya. Bisa-bisanya pria itu menganggap dirinya sebagai tempat penitipan barang. Harusnya ia sadar kalau selama mereka bekerja sama, Amara itu bosnya. Atasannya. Bukan jongosnya. Apalagi tempat penitipan barang.

Wajah kesal Amara menoleh ke belakang, memperhatikan pria itu berjalan menuju counter.

Lalu ditendangnya berkali-kali koper hitam dihadapannya itu. Rusak, rusak deh! Bodo amat!

Amara kembali menoleh sekilas ke belakang punggungnya. Terlihat jika pria itu berjalan mendekatinya.

Amara kembali menjaga sikap. Kembali terlihat angkuh.

"Kamu sudah sarapan?" tanya pria itu saat langkahnya terhenti di samping Amara.

"Belum," jawab Amara dingin.

"Masih ada waktu setengah jam. Kita cari sarapan dulu."

"Memangnya kamu belum sarapan?" tanya Amara sok cuek.

"Sudah."

"Terus, ngapain mau cari sarapan?"

"Saya nggak mau kamu sakit." Amara hampir saja tersenyum saat kalimat pria itu kembali dilanjutkan, "Bisa-bisa saya yang repot nanti."

Senyumnya dibatalkan. Wajahnya kembali dingin.

"Nggak perlu! Nanti juga dapat makan di pesawat." Lalu Amara membalik badan, berjalan menuju gate tempat ruang tunggu pesawat.

Arga mengikuti langkahnya dari belakang sambil tersenyum.

Setelah duduk, Amara menyerahkan amplop coklat yang sejak awal dipegangnya pada Arga. "Nih!"

"Apa?" Dahinya mengerut bingung saat menerima amplop besar itu.

"Kontrak kamu. Dibaca."

Arga yang duduk di sebelahnya lalu mengeluarkan dokumen di dalamnya.

"Saya nggak tahu kamu biasa dibayar berapa sebagai konsultan. Tapi menurut arsitek di kantor saya, angka segitu sudah oke."

Setelah membaca sekilas, Arga memasukkan kembali surat kontrak itu ke dalam amplop. Tatapannya kembali menyorot Amara. Hanya dalam hitungan detik, Amara mengalihkan wajahnya yang mulai memerah.

Arga mengulas senyum yang dalam sekejap dapat melelehkan hati para kaum hawa.

"Oke. Mulai sekarang saya bekerja untuk kamu."

"Tapi ada satu syarat lagi dari saya." Amara menambahkan dengan tegas.

"Apa?"

Amara memberanikan diri menatap tajam tepat di bola mata Arga yang terbingkai oleh kumpulan bulu mata lentik. Mata yang Amara yakin mampu membius ratusan makhluk Tuhan yang bernama wanita, termasuk dirinya.

Lalu wajahnya kembali menatap lurus ke depan. Ternyata egonya masih kalah dengan hatinya.

"Jangan pernah bersikap baik pada saya."

"Maksud kamu?"

"Jangan memberi saya perhatian berlebih. Jangan menolong saya dalam kondisi apapun. Jangan berbicara lembut pada saya. Dan jangan ... ehm, jangan mengumbar senyum kamu. Tolong, jaga jarak dengan saya."

"Maksudnya?" Arga menatapnya bingung.

"Bersikaplah profesional. Saya tidak mau istri kamu nanti salah paham dengan saya."

"Istri? Maksud kamu apa?" Arga melipat kedua tangan di depan dada. Jangan bilang kalau lagi-lagi Amara kembali menjadi cewek bodoh yang berprasangka seenaknya.

"Ya istri kamu. Saya mau hubungan yang profesional. Saya nggak mau nantinya ada drama dari istri kamu yang menuduh saya sebagai seorang pelakor!"

Arga menahan mulutnya yang hendak meledakkan tawa. Sungguh, di mata Arga, wanita di sampingnya ini lucu sekali dengan segala kesimpulan bodohnya.

"Kamu ketawa?" Amara membelalak.

Arga kembali berusaha menahan tawanya. Ini bandara. Ia harus tahu diri dan tahu tempat. Ledakan tawanya pasti akan sangat mengganggu calon penumpang lainnya.

"Apa yang lucu?" tuntut Amara yang mulai jengkel.

"Kamu yang lucu. Sebentar, sebentar." Arga menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan untuk menenangkan diri.

"Apaan sih?" tuntut Amara lagi.

"Aku tidak punya istri."

"Bohong!"

"Aku belum menikah."

"Jangan bohong, bapak Arga yang terhormat!"

"Kenapa saya harus bohong?"

"Siapa Jihan?"

"Kok kamu tahu soal Jihan? Saki cerita apa?" Arga kembali dibuat bingung.

"Bukan dari Saki. Om Johan waktu itu yang kirim salam untuk Jihan."

"Hahahaha ..." Kali ini Arga tak mampu lagi membendung tawanya. Ternyata salah paham Amara benar-benar konyol.

Amara tercengang. Baru kali ini ia melihat tawa lepas seorang pria kutub seperti Arga. Bahkan Amara, si dosen killer sendiri pun tidak pernah bisa tertawa lepas seperti itu.

"Kamu ... menertawakan saya?"

"Ya, karena kamu konyol."

"Hah?"

Setelah tawanya mereda, Arga menatap lekat Amara sambil berpangku tangan. "Tau nggak, kalau seperti ini, kamu itu menggemaskan."

Amara berusaha menelan ludahnya yang seperti tersangkut di kerongkongan.

"Amara ... Jihan itu, adik kembarnya Om Jo. Beliau, ibu saya."

~~~~▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎~~~~▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎~~~~▪︎▪︎▪︎