Pukul 10.06 WITA. Pesawat berbadan putih biru itu mendarat di lapangan bandara Ngurah Rai, Bali.
Di areal parkirnya, sebuah mobil mewah lengkap dengan supirnya siap mengantarkan Amara dan Arga menuju villa tempat keduanya akan menginap 3 hari ke depan.
"Ckckck ... luar biasa ya kehidupan kamu." Komentar Arga begitu ia keluar dari mobil lalu melepas sunglasses di wajah agar matanya puas menjelajahi suasana villa yang luasnya mungkin lebih dari sepuluh hektar itu. Dari gerbang yang berornamen khas Bali hingga jalan setapak menuju bangunan utama, pinggirannya dihiasi dengan tanaman kamboja dan anggrek. Menambah kecantikan bangunan yang dibuat dengan konsep modern -mixed-traditional itu.
"Ini villa pribadi milik nyonya Retha Rudita. Bukan aku," jawab Amara dingin sembari menarik koper merah yang baru saja dikeluarkan dari bagasi mobil oleh sang supir.
Arga hanya menghela napas lalu berjalan di belakang, mengikuti langkah Amara yang menghampiri seorang pria blesteran botak bertubuh gempal yang tengah menyambut kedatangan keduanya di depan teras villa.
"Welcome, Amara. How's the flight?" Pria botak itu berjabat tangan dengan Amara. Terlihat sekali rasa hormatnya, meskipun terpampang jelas perawakannya lebih tua beberapa tahun dari Amara
"Biasa saja, Clint. You don't need to welcome me like this."
"Hehe, kamu masih dingin seperti biasanya. And ..." Matanya beralih pada Arga yang kini berdiri bersisian dengan Amara. "... Who is this?"
"Arga, konsultanku. Dia arsitek yang di-hire oleh perusahaan."
"Oh, i see. Nice to meet you. I'm Clint."
"Nice to meet you too, Clint." Arga menerima uluran tangannya.
Setelah itu Clint menyorot matanya pada seorang pria tinggi di belakangnya yang juga dikenal oleh Amara sebagai FO Manager di Rudita's Resort di Nusa Dua. Pria itu lalu menyerahkan sebuah key-card pada Amara.
"Selamat menikmati kunjungan anda, Mbak Amara."
"Terima kasih, Pak Sal." Amara lalu menyerahkan kopernya untuk dibawa oleh seorang pria tua yang Arga yakin salah satu pekerja di villa itu. Tak lupa juga ia menarik koper milik Arga untuk dibawa serta.
Dengan gaya anak orang kaya, Amara membuka pintu lalu memasuki Villa yang ternyata isinya melebihi kata mewah.
"Wow! Great place!" gumam Arga setelah melihat sekelilingnya
"Kamar kamu di sana," tunjuk Amara ke sebuah pintu di sebelah kanan.
Arga mengangguk lalu balik bertanya, "Kamar kamu?"
"Di atas. Satu lantai itu areaku semua. Jadi ... ehm ... kamu dilarang naik ke atas."
Perintah yang bagaikan titah ratu kerajaan itu membuat Arga tersenyum geli. Untuk apa juga ia mengunjungi sang ratu di lantai atas? Paling-paling nantinya sang ratu yang akan turun ke bawah. Toh, dapur, kolam renang, taman, dan ruangan yang berisi alat-alat fitness itu letaknya di bawah semua.
Arga bergerak menuju kamarnya. Saat membuka pintu ruangan besar itu, terlihat sebuah ranjang besar dengan dipan antik berkelambu terletak di tengah-tengah ruangan. Sebuah chandelier kecil seperti di jaman penjajahan Belanda tergantung di atas plafon. Untung saja tidak ada lukisan-lukisan atau gambar manusia yang dipajang di sekitar dinding. Kesan antik dan kuno kamar itu saja sudah sedikit membuat merinding. Di sebelah kiri ruangan terdapat jendela dua pintu dan sebuah pintu kaca yang langsung mengarah menuju kolam renang.
Menginap di tempat seperti ini membuat Arga membayangkan jika ia sedang berlibur, bukan bekerja. Sebenarnya benaknya pun bertanya-tanya. Kenapa Amara membawanya menginap di tempat seperti ini? Apalagi lokasi tempat ini di Sanur. Kenapa mereka tidak menginap saja di sebuah hotel di Seminyak? Yang justru akan lebih dekat dengan lokasi yang akan mereka tinjau. Tapi Arga cukup tahu diri. Ia hanyalah seorang konsultan. Tugasnya hanya menurut saja pada ibu bos.
"Sudah lihat-lihatnya?" Amara tengah bersandar di dinding sebelah pintu kamar dengan tangan terlipat di depan.
"Cantik." Begitulah komentar Arga saat melihat kehadiran wanita itu dengan posenya yang sok cool.
"Tentu saja. Villa ini memang sengaja didesain agar terlihat cantik." Amara masih berdiri di sana. Sengaja menjaga jarak.
Arga yang tadi duduk di sofa yang menghadap pemandangan di luar, bangkit lalu berjalan mendekati Amara yang betah menyandarkan punggung di dinding. Membuat Amara segera menegakkan tubuhnya, sedikit merasa takut. Tatapan pria itu begitu mengintimidasi.
"Kenapa kamu membawa aku ke tempat ini?" tanyanya saat jarak mereka terbilang dekat.
"Ya untuk bermalam. Untuk apalagi memangnya?"
"Hanya untuk meninjau lokasi, perlu tinggal seatap di tempat mewah dengan fasilitas lengkap untuk honeymoon seperti ini?"
Amara berusaha menelan bulat-bulat ludahnya. "Ehm, aku cuma mau memberi tempat menginap terbaik. Siapa tahu nantinya kamu bisa rekomendasikan villa ini ke teman-teman kamu."
"Aku tidak salah dengar kan waktu tadi kamu bilang tempat ini villa pribadi Mama kamu?"
Kembali diingatkan oleh ucapannya, Amara berubah tegang. Otaknya berpikir keras akan sebuah alasan untuk menampik.
"Amara?"
"Emm, memang sekarang villa pribadi. Tapi ada rencana untuk disewakan nantinya. Mama juga jarang kesini. Daripada cuma dianggurin." Amara bernapas lega setelah mampu ngeles.
"Kamu tidak sedang merencanakan sesuatu, kan?" tanyanya curiga setelah jarak mereka cukup dekat.
"Apa sih maksud kamu?" Amara langsung bergerak menjauh menuju jendela kamar itu.
Seorang pria dan wanita yang bukan mahram tinggal seatap dengan suasana mendukung romantisme untuk terjadi. Sungguh kondisi ini diluar perkiraan Arga. Entah apalagi nantinya kejutan yang akan diberikan wanita angkuh itu padanya. Jangan-jangan candle light dinner romantis di tepi kolam renang. Begitulah tadinya praduga Arga.
Tapi untungnya perkiraannya itu meleset. Baru kali ini Arga bersyukur karena pikirannya salah menebak. Karena malam ini mereka sedang duduk di tepi pantai menikmati makan malam ikan bakar bersama Clint dan pria yang dipanggil Pak Sal oleh Amara.
"So, how long you've become an architect, mate?" tanya Clint dengan aksen Australia yang kental sembari mengunyah.
"About seven years."
"Wow, lama juga ya."
"Clint, bicara pakai bahasa saja. Kasihan Pak Sal." Amara mengarahkan matanya pada pria kurus berkacamata yang duduk di hadapannya. Salianto atau biasa dipanggil Pak Sal, memang tidak terlalu memahami bahasa Inggris, meskipun jabatannya adalah seorang Front Office Manager di Rudita's Resort. Sal dulunya hanya seorang supir kepercayaan Retha di Bali. Tapi karena kerjanya yang rajin dan cekatan, Retha memberinya jabatan itu.
"Clint, are you Australian?"
"Well, Papa memang dari Canberra. Mama asli dari Singaraja sini. Tapi saya tinggal lama di Canberra, sejak lahir. Setelah Papa meninggal sepuluh tahun lalu, Mom, saya dan adik pindah kesini." Clint meletakkan potongan ikannya di piring. Ia lebih tertarik untuk melanjutkan ceritanya ketimbang makanannya. "Saat kami pindah kesini, kami tak punya apa-apa. Started from zero, mate! Then i met Retha. She gave me jobs. Awalnya saya hanya seorang penjaga villa. But here i am now."
"Cukup, Clint. You're such a yabber!" Amara mengatainya sebagai pria bawel.
Clint memang seperti itu. Pria jenaka yang senang sekali berbicara tanpa rem. Dan yang selalu menjadi topik favoritnya dalam percakapan adalah memuji-muji setiap kebaikan Retha padanya. Yang tentu saja selalu dicibir oleh Amara. Ibunya itu senang sekali beramal baik, membantu kehidupan orang lain. Tapi dengan kehidupan putrinya sendiri, ia abai. Begitulah kesan Amara terhadap wanita yang sudah melahirkannya ke dunia tapi juga meninggalkannya untuk berjuang hidup di dunia hanya dengan sang Ayah.
"Ibu anda itu memang wanita yang baik, Mbak Amara. Jika bukan karena kebaikan beliau, mingkin saya sudah —"
"Cukup, Pak Sal. Tidak perlu dilanjutkan pembicaraan mengenai wanita itu. Saya jadi ngantuk." Amara menutup mulutnya yang pura-pura menguap.
Suasana menjadi hening. Sal dan Clint hanya saling bersitatap seakan sudah mengerti situasi.
Sikap dingin Amara yang muncul setiap kali nama sang ibu disebut, membuat Arga penasaran jika adanya luka yang ditorehkan oleh sang ibu pada sang putri sulung.
"Saya balik duluan." Amara bangkit meninggalkan tim -ikan-bakar-dan-api-unggun- itu.
"You might wanna catch her up," sindir Clint pada Arga yang langsung dimengerti olehnya.
"Amara!" teriak Arga sembari berjalan cepat menyusul Amara. Namun Amara tetap lurus berjalan tanpa menghiraukan namanya yang dipanggil berkali-kali.
"Amara!"
Dengan cepat Arga menyejajari langkahnya. "Kamu kenapa?"
"Bukan urusan kamu."
Arga terdiam sejenak sebelum berkata, "Oke." Lalu ia menghentikan langkahnya, hendak membalik badan untuk kembali pada tim ikan bakar dan api unggun. Namun dengan cepat Amara menoleh padanya.
"Semudah itu?"
"Apa?" Dan kini mereka saling berhadapan.
"Semudah itu kamu nyerah?"
"Hah?"
"Tadi kamu nanya aku kenapa."
"Tapi kamu jawab bukan urusan aku."
"Dan semudah itu kamu membalik badan?" Amara menahan kesal.
"Kalau kamu nggak mau cerita, ya sudah. Aku hormati privacy kamu."
Berbanding terbalik dengan Arga yang tetap bersikap santai.
Amara memandangnya lekat-lekat seiring dengan langkahnya yang semakin mendekat. Amara lelah bermain-main dengan perasaan. Ia wanita dewasa yang butuh bertindak sesuai dorongan naluri. Dan kali ini nalurinya berkata, "Kiss him!"
Cup! Dan sebuah kecupan singkat menyentuh bibir Arga yang tak siap.
Senyum miring terkembang di wajah wanita itu bersamaan dengan matanya yang menatap wajah kaku Arga dengan puas.
Amara kembali memiringkan wajahnya untuk melayangkan ciuman kedua. Meskipun kali ini Amara bermain lebih lama, ciuman tersebut kembali tidak mendapat respon dari Arga.
Saat ia melepaskan bibirnya, matanya yang mulai panas menyerang mata Arga yang masih menatap kaku.
"Dasar pengecut!"
Lalu Amara kembali meninggalkan Arga yang masih berdiri kaku. Seringai senyum puas terulas di wajahnya.
Dengan gaya angkuhnya, Amara berjalan kaki dari pantai hingga ke jalan raya. Sesekali ia disapa manis oleh pria-pria bule yang berpapasan dengannya. Bagaimana tidak? Malam ini penampilannya manis sekali bak remaja putri. Mengenakan sebuah dress floral biru muda yang panjangnya hanya di atas lutut dibalut dengan jaket denim. Sebuah tas rajut coklat tersampir di bahunya. Rambutnya pun dikepang ke samping dengan menyisakan beberapa helai rambut terurai manis. Memamerkan leher putihnya yang jenjang.
Dari jarak sepuluh meter, Amara melihat klub kecil yang terlihat ramai dari luar. Untuk sekali ini saja, Amara ingin merasakan kembali kehidupan malam yang dulu pernah ia jalani. This is Bali, everybody! Just once! Amara berjanji pada dirinya sendiri.
Setelah membayar pada sang bouncer bertubuh besar yang berjaga di pintu depan, Amara memasuki klub yang sudah penuh dengan hingar-bingar. Paduan suara teriakan pengunjung dengan musik yang diputar oleh sang DJ berambut gimbal yang sibuk memutar musik electro-dance di lantai atas, memekakkan telinga Amara dalam seketika. Gemerlap lampu berbagai warna sedikit menerangi suasana remang-remang dan gothic di klub itu.
"Vodka, please!" ucap Amara pada sang bartender begitu ia berhasil tiba di bar setelah menyeruak kerumunan pengunjung yang menyesakkan. Lalu menduduki sebuah stool di depan meja bar.
"Hai! Sendirian?" sapa seorang pria berwajah tampan yang kini duduk di sebelahnya. Ia terlihat lebih muda dari Amara. Tangan kanannya menggenggam segelas minuman berwarna coklat.
"Maaf, saya dengan teman." Amara menjawab dingin lalu mengalihkan pandangan pada kerumunan orang yang sedang asyik bergoyang.
Pria tampan itu tertawa lalu sekali lagi meneguk minumannya.
"Bohong. Tadi kamu datang sendirian."
Amara melebarkan matanya setelah kembali menatap pria itu. "Kalo udah tau, ngapain nanya?"
"Hahahaha ... wanita liar ternyata."
"Apa kamu bilang?!" berang Amara.
"Wooo ... easy! Jangan galak-galak, Mbak. Aku Ray, by the way." Ia menyodorkan tangannya untuk berkenalan.
Namun alih-alih menyambut uluran tangan pria tak dikenal itu, Amara menggunakan tangan kanannya untuk mengangkat gelas kecil berisi vodka pesanannya. "Nggak nanya dan nggak mau tau!"
Melihat tangannya dianggurkan, Ray menaruh gelas minumnya di atas meja.
"Kamu tau? Ada dua jenis wanita yang menjadi pengunjung klub ini."
Mendengar ocehannya, Amara kembali menatap Ray dengan tajam. Tangannya sibuk menggoyang-goyang isi gelas.
"Pertama, wanita jinak. Mudah sekali ditaklukkan oleh pria manapun di klub ini. Kedua, wanita liar. Tidak bisa ditaklukkan oleh pria manapun di sini."
"Jadi aku jenis yang kedua?" Gelas itu didekatkan pada hidungnya. Aroma padi menguar dari sana.
Ray mengangkat kedua alisnya untuk menjawab.
Amara langsung menenggak habis minuman memabukkan itu. Kedua matanya segera menyipit saat sensasi terbakar terasa di langit-langit mulut dan kerongkongannya.
"Dengar ya, bocah kemarin sore! Saya bukan keduanya! Kamu nggak kenal siapa saya."
"Kamu bukan orang lokal. Saya cukup tau itu." Pria itu kembali menenggak minumannya.
"Amara!" Amara terkesiap merasakan kehadiran Arga di belakang punggungnya
"Ka—kamu? Ngapain kesini?"
"Aku yang harusnya tanya. Ayo, pulang!" Suaranya kali ini memerintah, tidak tenang seperti biasanya.
"Bro, she is a lady. Santai aja dong ngomongnya." Ray bangkit dari stool.
"Maaf, anda siapa?" tanya Arga berusaha bersikap baik. Namun napasnya malah menderu kesal.
"Easy, man! Woles aja." Ray berseru berlawanan dengan sikapnya yang justru tidak santai.
"Saya tanya, anda siapa?"
Amara mulai merasa berkunang-kunang. Kepalanya mulai oleng.
"Lo siapanya dia? Cowoknya? Suaminya?"
"Ga, sudah! Kita pergi." Tanpa sengaja Amara menarik pergelangan tangan Arga untuk keluar dari tempat ramai itu.
Namun Arga langsung menarik tangannya lepas lalu merangkul bahu Amara. Membimbing Amara yang sudah setengah mabuk untuk keluar dari markas bala tentara dajjal itu. Dan untuk pertama kalinya setelah hijrah, ia melanggar janjinya sendiri. Untuk tidak menyentuh wanita yang belum halal baginya.
Arga memanggil taksi yang kebetulan lewat di jalan raya. Sebenarnya setelah waktu Isya tadi mereka hanya berjalan kaki dari villa menuju pantai. Tapi sangatlah mustahil bagi Arga untuk mengajak wanita itu kembali pulang dengan berjalan. Untuk berdiri tegak saja ia mulai kesusahan.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Arga padanya setelah mereka berada di dalam taksi.
"Nggak tau. Kepalaku pusing banget. Perutku mual."
Arga menghembus napas kasar. "Kamu minum?"
Amara yang masih merasa pusing mengangguk lemah.
"Astaghfirullah." Arga mengucap nyaris berbisik.
"Kenapa? Kecewa? Karena aku bukan wanita solehah seperti adikmu?"
Arga diam saja. Sisa waktu perjalanan yang singkat itu hanya berlalu dengan keheningan di dalam taksi.
Untung saja di depan pagar ada penjaga villa yang akhirnya membantu membopong Amara yang sudah limbung untuk masuk ke dalam villa.
Karena Amara kerap mengeluhkan kepalanya yang sakit, Arga membawanya untuk ditidurkan di atas sofa ruang keluarga. Lalu segera memanggil Bu Rami, wanita yang bertugas menjadi asisten rumah tangga di villa.
"Mbak Amara demam?" ujar Bu Rami saat memeriksa kondisinya.
"Demam? Badannya makin panas, Bu?" tanya Arga sedikit ragu. Memang tadi kulit Amara terasa hangat saat tersentuh olehnya. Tapi ia tidak menyangka kalau wanita itu langsung demam.
"Iya, Mas. Coba aja dipegang, nih."
"Tapi saya tidak bisa menyentuh ..." Arga memutus kalimat setelah teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Wanita itu menciumnya, menarik tangannya, dan Arga... memeluknya. "Tolong dikompres ya, Bu. Saya beli obat dulu."
"Mas, nggak usah. Stok obat-obatan ada kok di belakang."
Arga semakin canggung dengan situasi yang ada. Berkali-kali dalam hidup ia harus mengurusi orang sakit. Dan semuanya tidak mengenakkan. Yang paling buruk adalah saat ia harus menggantikan Razi untuk menjaga Alma di rumah sakit saat sahabatnya itu sedang berbulan-madu. Saat itu Alma terpuruk setelah mendengar kondisi medisnya dari dokter. Dan Arga saat itu yang menjadi sasaran pelampiasan kemarahannya.
Dan kali ini Arga kerap beristighfar dalam hati. Kenapa juga ia harus berurusan dengan wanita labil yang hidupnya sedang berantakan?
"Saya ambil kompres dulu," pamit Bu Rami.
Arga menghenyakkan badan di ottoman sebelah sofa. "Masih pusing?"
"Banget," jawab Amara lemah. Sejak tadi sesuatu dari dalam perutnya minta dikeluarkan. Mualnya mulai tak tertahankan. Amara berusaha bangun dan dengan cepat menyeimbangkan badannya yang terasa mengambang untuk berdiri. Arga mengikutinya dari belakang.
"Kamu mau kemana?"
"Mual." Lalu dengan langkah cepat tergopoh-gopoh ia memasuki kamar Arga dan menuju ke kamar mandi di dalam sana.
"Hueeek! Hueeek!" Sejumlah cairan keluar dari mulutnya. Dengan tangan gemetar Amara memutar kran shower untuk membilas seluruh isi perutnya yang terkuras. Amara terduduk di lantai. Matanya kembali berkunang-kunang.
"Amara?"
Seluruh badannya terasa lemas. Amara terhuyung lalu tiba-tiba gelap.
"Amara?"
Matanya tertutup bersamaan dengan kepalanya yang membentur sesuatu.
===================
"Handphone kamu bunyi. Tidak kamu angkat, Retha?"
"Paling dari kantor. Aku sedang tidak ingin mengurus kerjaan. Biarkan itu jadi urusan anak-anakku."
Hasan yang sedang mengemudikan mobil lalu melirik pada ponsel Retha yang tergenggam di tangannya. Lalu wajahnya terlihat cemas.
"Hm, coba kamu lihat siapa yang telepon."
Retha yang tadi malas mulai menurunkan pandangan untuk menatap layar ponselnya.
"Clint?"
"Kamu tahu kan, it's always important kalau panggilan itu dari dia." Hasan menegaskan kekhawatirannya.
Retha pun ikut terlihat cemas, kedua alisnya bertaut penuh tanya. Anak buahnya itu tidak pernah menghubunginya untuk suatu hal sepele, bahkan jika ada masalah atau sesuatu yang tak bisa diselesaikannya. Telepon dari Clint pasti hanya datang di saat-saat darurat saja.
"Halo?"
"Retha, your daughter ... Amara."
"Kenapa dia?" Retha mulai panik.
"Dia demam dan pingsan di villa."
"Oh My ... sudah dibawa ke rumah sakit?"
"Well, i'd like to. Tapi ... ada seorang pria di sini yang menjaganya dengan baik."
"Clint, bicara yang jelas!" Retha menegakkan punggungnya yang tadi bersandar.
"Namanya Arga. Sepertinya kamu akan memiliki calon menantu."
==================
Amara mengerjapkan mata berkali-kali. Berusaha membuka penuh kelopak mata yang terasa berat. Denyutan di kepalanya terasa berdentum-dentum seperti ditabuh.
Kala mata terpejam, dentuman itu semakin terasa. Amara kembali membuka penuh matanya yang belum fokus.
"Kamu sudah sadar?" Suara berat itu mendekatinya.
Meski titik fokusnya masih tumpang tindih, Amara tahu dengan jelas pemilik suara itu. Wajahnya dipalingkan ke kiri, menghindari bertemu tatap dengan wajah itu.
Amara malu, benar-benar malu. Kepalanya mungkin pusing tidak karuan, tapi ia tidak hilang ingatan. Seluruh kejadian malam tadi terputar dengan jelas di kepalanya.
"Amara?" Suara itu memanggilnya dengan lembut.
"Ma'af ..." bisiknya lirih. Namun masih terdengar jelas.
"Sebentar." Suara desahan napas terdengar diikuti suara langkah kaki pergi meninggalkannya.
Meski masih limbung, Amara berusaha sekuat tenaga untuk terduduk. Sebelah tangannya memegang bagian kiri kepala yang terasa berdenyut.
"Mbak! Mbak, jangan bangun. Tiduran aja. Masih pusing?" Sebuah tangan terasa meraba-raba dahinya.
"Bu Rami, ya?"
"Nggih, Mbak. Alhamdulillah, sudah nggak anget." Suara Bu Rami terdengar lega.
"Jam berapa ini, Bu?" tanya Amara saat Bu Rami duduk di sebelahnya untuk menggantikan tangannya yang sibuk memijat kepala
"Jam tujuh pagi, Mbak." Bu Rami menggosokkan minyak angin di sekitar lehernya lalu mengurut pelan di beberapa bagian.
"Dari tadi malam saya tidur di sini, Bu?"
Wajah Bu Rami kini terlihat jelas di matanya.
"Nggih, Mbak."
Amara menerawang benda-benda di sekitarnya. Ranjang yang ia tempati saat ini seharusnya menjadi ranjang yang ditiduri oleh Arga. Kamar ini seharusnya dihuni oleh pria itu.
"Terus, Arga tidur di mana?"
"Di sofa luar." Bu Rami mendekatkan wajahnya ke telinga Amara. Kalimat selanjutnya ia bisikkan, "Anu Mbak ... Mas Arga itu, pria sejati banget. Hampir nggak tidur lho si Masnya. Saking perhatiannya sama Mbak. Sebentar-sebentar masuk kamar buat ngecek kondisi Mbak. Tidur sejam di sofa, nanti masuk kamar lagi bentar, terus balik lagi ke sofa."
Amara mengernyit lalu wajahnya menoleh pada Bu Rami, membuat pijatan itu terhenti.
"Tau darimana? Emangnya Bu Rami ikutan nggak tidur nungguin aku juga?"
"Waduh, ngapunten Mbak. Kalo saya sih pasti tidur. Badan wis kesel. Yang cerita si Tomo. Ngintip dari kolam renang katanya."
"Ya sudah. Orangnya mana sekarang?" Amara menghalau tangan Bu Rumi yang hendak kembali mengurut.
"Si Tomo?"
"Arga, Bu. Ngapain saya nyariin Tomo!"
"Eh, maaf Mbak. Kalo Mas Arga lagi ke dapur."
"Hah? Ngapain dia?"
"Katanya mau masakin bubur buat Mbak Amara. Makanya saya disuruh kesini buat nanyain kondisi Mbak."
Sudah kepalanya pusing, sekarang tiba-tiba rasanya ingin melayang lepas setelah mendengar cerita Bu Rami. Benarkah lelaki itu perhatian sekali padanya? Benarkah lelaki itu mencemaskan kondisinya? Apakah ini ada hubungannya dengan ciuman dari Amara? Apakah ini artinya perasaannya tak lagi bertepuk sebelah tangan? Apakah lelaki itu mulai mencintainya? Amara menggigit bibir bawahnya karena tak sanggup memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin bisa membuatnya benar-benar terbang melayang meninggalkan bumi. Padahal ia sedang butuh pijakan. Namun satu pertanyaan penting yang hinggap di benaknya. Benarkah ia tidak akan kembali patah hati?
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°\\\\\\\\°°°°°°°°°°°°°°°°°°°