Chereads / ADAMANTINE (The Unstable Heart) / Chapter 9 - The Horizon

Chapter 9 - The Horizon

~~~~~~~~

Aku merindu.

Sama seperti langit merindu hujan di musim panas.

Aku kering.

Sama seperti padang pasir di tengah gurun Sahara.

Aku terluka. Sama seperti kelopak mawar tertusuk durinya.

Aku mengharap.

Andai hujan turun di tengah gurun Sahara yang dihiasi mawar mekar indah merekah.

~~~~~~~

" ... For safety reason, your luggage must be placed at underneath the seat in front of you or in an overhead bin. Please take your seat and fasten your seatbelt. And also make sure your seat back and folding trays are in their full upright position ..." Terdengar instruksi yang disuarakan bersamaan dengan sang pramugari yang memeragakan beberapa gaya di hadapan para penumpang pesawat.

Amara hanya menatap pada jendela berkaca tebal di sampingnya. Sebentar lagi pesawat akan take-off. Terlihat para petugas ground-support di bawah yang sedang sibuk mengatur lalu lalang pesawat di darat.

"Ehem, perasaan kamu diam saja sejak di ruang tunggu tadi." Arga yang duduk di sampingnya langsung bertanya.

Amara masih betah menatap jendela. Andai saja pria itu tahu kalau sejak mengetahui identitas Jihan yang sebenarnya, Amara terlalu malu. Sudah beberapa kali ia berprasangka yang bukan-bukan terhadap Arga. It can't be worse.

"Amara?" panggilnya sekali lagi karena merasa tidak mendapat respon dari wanita yang memang biasa bersikap dingin itu.

"Bisa nggak tidak mengganggu saya selama perjalanan ini?" tegas Amara tanpa sama sekali menoleh pada sang lawan bicara.

Mendengar itu, Arga menuruti kemauannya. Tidak mendebat ataupun bertanya. Dan perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam itu pun nyaris surut dalam keheningan jika Arga tidak meraih mushaf kecil yang selalu dibawa dalam tas ransel Polo-nya kemana-mana.

"A'udzu billahi minasy syaithonir rojiim.

Bismi-llāhi r-raḥmāni r-raḥīm

Alif lām mīm

A ḥasiban-nāsu ay yutrakū ay yaqụlū āmannā wa hum lā yuftanụn

Wa laqad fatannallażīna ming qablihim fa laya'lamannallāhullażīna ṣadaqụ walaya'lamannal-kāżibīn

Am ḥasiballażīna ya'malụnas-sayyi`āti ay yasbiqụnā, sā`a mā yaḥkumụn

Mang kāna yarjụ liqā`allāhi fa inna ajalallāhi la`āt, wa huwas-samī'ul-'alīm

Wa man jāhada fa innamā yujāhidu linafsih, innallāha laganiyyun 'anil-'ālamīn

..."

Lantunan ayat suci yang terlisan berhasil menggugah indra pendengar Amara hingga tanpa disadari, wajahnya menoleh pada pria itu. Menatap sosok yang terlihat menghayati isi kitab kecil di tangannya. Diam-diam hatinya dirasuki oleh suara lembut itu. Dan Amara yakin, suara lembut itu memiliki efek menenangkan yang begitu dahsyat bagi penumpang lain di sekitar mereka yang turut mendengar.

Damai. Satu kata itu yang mampu mewakili perasaan Amara saat ini. Tapi damai itu tidak lama bersemayam di dadanya. Entah saat ayat keberapa dibacakan, Amara tertunduk. Tetes beningnya jatuh. Dadanya sesak. Nyeri itu terkumpul di satu tempat. Ia sama sekali tidak paham arti dari ayat-ayat itu. Tidak satu kata pun. Yang jelas kata-kata dalam bahasa Arab itu berhasil menyayat hatinya.

Cepat-cepat tangannya menyeka pipi yang sudah sedikit basah. Matanya kembali tertarik pada Arga.

Benaknya kembali diingatkan akan adanya sosok bernama Tuhan Yang Maha Besar di dunia ini. Tuhan Yang Maha Mengatur kehidupan di alam semesta. Selama ini Amara percaya ia dapat menggenggam dunia sendirian. Seperti pesan yang hampir setiap hari diselipkan oleh Ayahnya sebelum ia pergi tidur di malam hari. Kini Amara mulai lelah. Padahal perjalanannya untuk meraih dunia baru saja sejengkal. Amara lelah berjuang sendiri dalam sepi. Amara lelah mendebat orang-orang setiap harinya. Bahkan ia lelah mendebat dirinya sendiri. Pikirannya selalu mendebat perasaannya. Seperti saat ini. Hatinya memerintahkan matanya untuk terus-menerus memandang lekat pria yang diam-diam mulai meninggalkan jejak di sana.

Tapi sesuatu di kepalanya terus saja berbicara, "Jangan kembali terjatuh dalam lembah yang sama!"

"Tapi pria yang ini berbeda dengan Alvaro." Kali ini hatinya yang berbicara.

"Tau dari mana dia beda?"

"Dia dekat dengan Tuhan."

"Apa kamu dekat dengan Tuhan?"

Dan hatinya tak mampu menjawab tanya balik dari isi kepalanya.

" ... Shadaqallahul-'adzim." Arga yang langsung menutup mushafnya setengah kaget ketika menyadari bola mata Amara yang menatapnya dalam.

"Bacaan kamu bagus." Matanya tak beralih dari Arga.

"Ehm, aku masih belajar untuk lebih baik." Arga yang dipandangi seperti itu lalu salah tingkah. Wajahnya mengarah pada pramugari yang sedang membawakan makanan pada penumpang di baris depan. Arga dan Amara duduk di baris belakang kelas bisnis.

"Tapi buat aku bacaan kamu sudah bagus." Amara tersenyum manis. Wajah angkuhnya tadi benar-benar sudah sirna.

"Terima kasih." Dalam sekejap Arga baru menyadari kalimat wanita itu. Dia sudah ber—aku-kamu. Arga mengulas senyumnya.

"Emm, boleh aku tanya sesuatu?"

"Hm?" Kedua alis Arga bertaut.

"Bagaimana ceritanya seorang anak yatim piatu yang sempat menjadi anak jalanan sekarang menjadi pria soleh populer?"

"Populer?"

"Kamu si Tangan Kaligrafi."

Arga menghembus napas lemah. Sebenarnya ia tidak menyukai julukan itu.

Amara masih tak melepas tatapan dalamnya dari Arga. Membuat Arga semakin sulit untuk berbicara.

"Semua karena kebaikan Allah padaku. Semua ini diluar nalarku, diluar rencanaku. Aku tidak pernah berencana dalam hidup. Mama Jihan menolong aku dan Saki di waktu yang sangat tepat. Jika saat itu beliau tidak lewat di sana, bisa jadi sekarang aku hanya kenangan di dalam tanah. Aku yakin Saki sudah cerita bagian yang ini ke kamu."

Amara mengangguk lemah karena ia baru saja tersadar kalau Arga sudah ber–aku-kamu. Yang juga mengingatkan Amara kalau tadi ia duluan yang memulai secara tak sadar.

"Mama Jihan membawa kami ke panti asuhan yang dikelolanya. Beliau sangat menyayangi kami. Sampai-sampai ada beberapa anak panti lainnya yang cemburu melihat perlakuannya pada kami yang lebih diistimewakan, menurut mereka. Sampai akhirnya Om Jo, saudara kembar Mama Jihan, yang waktu itu sudah menikah enam tahun tapi belum juga memiliki momongan datang ke panti. Beliau bilang ingin mengadopsi Saki. Saat itu aku benar-benar terpuruk. Karena di dunia ini cuma Saki yang aku punya. Tapi akhirnya aku rela mengalah demi masa depan Saki. Aku ingin dia bahagia memiliki apapun yang dimiliki oleh anak-anak lainnya. Om Jo orang baik, beliau mengijinkan kami untuk sering bertemu. Bahkan aku diperbolehkan ikut menginap di rumah mereka. Mungkin saat itu Om Jo tidak tega melihat aku yang masih menetap di panti. Akhirnya beliau mengenalkanku dengan Ayah Hardi. Singkat cerita, sekarang aku menyandang nama belakangnya. Dan hidupku — seperti yang kamu lihat saat ini."

Penjelasan itu membuat Amara kemudian mengernyitkan dahi. Di kepalanya masih tersimpan banyak tanya.

"Em, lalu ... maaf, aku nggak sengaja menguping pembicaraan kamu di HP waktu awal pertemuan kita. Waktu kamu bilang ... i love—ya pokoknya kata-kata itu. Ehm, itu bukan istri kamu? Lalu? Pacar kamu?"

Pertanyaan itu memancing tawa Arga. Kepalanya menggeleng-geleng sembari menahan sensasi geli di dadanya. Menurutnya, Amara terlalu kepo dengan urusannya.

"Kenapa kamu ketawa?"

"Pertama ..." Arga berusaha meredakan tawanya. " ... aku yakin itu bukan pertemuan pertama kita. Kedua, kenapa kamu ingin tahu sekali tentang hidupku? Mulai dari istri, selingkuhan, pacar. Kamu sudah berprasangka yang bukan-bukan tentang aku. Dan semua prasangka kamu terbukti salah. Ketiga, cerita sejarah hidupku tadi masih belum cukup buat membunuh rasa penasaran kamu atas aku? Keempat ..." Wajahnya dimajukan mendekat dengan Amara. "... jangan-jangan, kamu mulai ada perasaan denganku."

Sontak Amara memundurkan wajahnya yang mendadak memerah disertai mata membelalak lebar.

"Kenapa? Tebakanku benar?" Arga menyeringai tipis.

Amara sempat panik sesaat saat hatinya diguncang oleh pria itu. Namun sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk berbuat lebih.

"Kalau aku bilang iya gimana? Kamu mau jadi pacar aku?"

Arga melengos seraya tertawa kecil. Mencibirnya. "Kamu bercanda, kan?"

"Kalau aku serius?"

Arga kembali menatap wanita di sebelahnya baik-baik. Lalu kembali menatap lurus pada sang pramugari di depan.

"Kalau begitu, bersiaplah untuk patah hati."

Amara menyengir tipis. Tatapannya ikut beralih pada sang pramugari di depan.

"Aku bercanda. I'm just messing up with you. Lagipula ... tidak ada kata cinta dalam kamus hidupku."

"Ralat! Sedang tidak ingin mencintai mungkin maksud kamu."

"Apa?" Amara kembali menoleh pada Arga dengan wajah mengerut.

"Kata cinta ada di dalam kamus kehidupan semua orang. Kalau nggak punya cinta, semua orang bisa 'mati', dalam tanda kutip. Dan sepenglihatanku, kamu masih 'hidup', dalam tanda kutip."

Amara mulai tertarik dengan pernyataan itu. Ia merindukan percakapan semacam ini. Debat diselingi argumentasi masuk akal dan tidak masuk akal. Buah pikiran.

"Jelaskan, kenapa menurut kamu, aku 'hidup' dalam tanda kutip." Amara menaik-turunkan dua jarinya membentuk tanda itu.

"Kamu masih bisa tertawa, tersenyum, kesal, marah, menangis. Itu artinya kamu hidup."

"Kalau 'mati' dalam tanda kutip?"

Arga menaikkan tangan kanannya menuju dada kiri.

"Di sini, kosong. Tidak merasa apa-apa. Apatis. Mati rasa. Tidak sedih, tidak senang, tidak marah, tidak bahagia. Hatinya tak dapat merespon semua rasa itu dengan benar."

"Itu karena nggak punya cinta?"

Arga mengangguk sekali.

"Apa alasan kamu berpikiran begitu?"

"Cinta yang mendasari semua jenis perasaan manusia. Orang sedih, marah, kesal karena apa?"

Amara berusaha berpikir lebih dalam untuk mencerna filosofi pria itu.

"Karena ada sesuatu yang membuatnya kecewa?"

"Bisa jadi. Lebih tepatnya karena ia tidak bersyukur."

"Heh? Apa hubungannya bersyukur sama cinta?"

"Cinta yang aku maksud di sini adalah cinta universal. Cinta seorang hamba pada Sang Pencipta. Kalau kamu tidak cinta pada Tuhan, maka kamu tidak akan bersyukur. Kalau kamu tidak bersyukur, kamu tidak akan bisa merasakan segala kenikmatan, segala kebahagiaan, segala berkah yang sudah Tuhan limpahkan pada kamu. Akhirnya? Mati rasa."

Amara berpikir keras. Selama beberapa menit Arga memberinya waktu untuk mencerna penjelasan itu.

"Jadi ... menurut kamu, aku masih hidup itu karena aku masih punya cinta pada Tuhan? Jadi, aku masih memiliki rasa syukur? Makanya aku masih bisa tertawa dan menangis?" Dahinya kembali mengernyit ragu.

"Ya."

Amara terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala. "Kamu tahu? Aku sudah lama meninggalkan Tuhan. Hatiku terus memegang fakta bahwa Tuhan telah berlaku tidak adil padaku."

Arga mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan senyum miring. "Dan kamu tahu? Kalau saat ini sebenarnya kamu sedang merindukan Tuhan. Hatimu terus-menerus berusaha menyangkal setiap rasa yang sedang bergejolak di dalamnya."

Amara membisu kaku. Terlalu berbahaya jika pembicaraan ini dilanjutkan. Wajahnya kembali dialihkan pada jendela pesawat. Merasakan tarikan pesawat yang mulai menembus awan.

Melihat reaksi diamnya, Arga menarik senyum tipis. Ia tahu lawannya sudah terpojok. Dan hanya itu yang Arga perlukan saat ini. Membungkam bibir merah Amara yang mulai menggoda matanya.

================

"Git, mau sampai kapan lo kabur-kaburan? Pulang, gih!"

"Lo ngusir gue?"

"Gue sih seneng-seneng aja lo jadi temen tidur gue. Tapi gue nggak suka kalo lo kabur dari masalah."

"Ser, gue bukan kabur dari masalah. Lebih tepatnya, gue yang bawa kabur masalah."

"Tapi nggak gini juga caranya, Git."

"I know, Sera, soulmate gue yang paling imut. Tapi untuk sekarang, lebih baik begini. Gue perlu menjauh dulu dari kakak gue."

Anggita kembali menatap cakrawala yang terpantau lewat jendela apartemen Sera, sahabatnya sejak kuliah.

"Git ..." Sera menghampiri Anggita yang sedang tengkurap sambil menopang dagu di atas ranjang lalu duduk di tepiannya.

"Apa sih, Ser?" Matanya beralih dua detik pada Sera lalu kembali menatap kumpulan awan di langit.

"Kenapa sih nggak lo jelasin semuanya ke kakak lo? Bilang jujur ke dia."

"Bilang apa? Kalo sebenarnya gue benar-benar anak Ayah Ganesh? Kalo ternyata semua cerita itu bohong? Kalo ternyata gue marah selama ini karena dia bisa dengan enaknya mendapat kasih sayang Ayah, sementara gue menjadi anak yang dibenci Ayah hingga akhir ajalnya?"

Sera terdiam. Anggita bangun lalu duduk di sebelah Sera yang sedang termangu.

"Ser, gue sayang kakak gue. Tapi gue juga benci sama dia. Mbak Mara nggak pernah tahu dan nggak pernah mau tahu gimana perasaan gue selama ini. Dia terlalu sibuk menyimpan dendam kesumatnya sendiri sampai-sampai gue muak!" Anggita menghembus napas kasar.

Sera spontan menariknya ke dalam pelukan. Ingin menyalurkan kekuatan pada sahabatnya agar mampu menyudahi perang batin di dada dan kepalanya.

"Git, gue sayang sama lo. Gue nggak mau lo terluka. Dan gue nggak suka lo melukai diri lo sendiri cuma untuk mencari kata bahagia."

Sera melepas pelukannya lalu melanjutkan, "Gue memang belum pernah ada di posisi lo. Tapi setidaknya gue tau gimana rasa benci itu pelan-pelan mampu membunuh akal sehat."

Bibir bawahnya digigit untuk menekan rasa sakit di dada.

"Maaf, Ser ..." Anggita tertunduk menyembunyikan wajah sendunya. Sepenggal ingatan tragis kala sahabatnya itu hendak berniat nyawanya, terpintas di kepala.

"Git ..."

"Andai gue nggak pernah lahir ke dunia, mungkin Mama nggak akan menjadikan gue sebagai alat kebencian Ayah. Dan gue nggak akan pernah merasakan sakit ini. Sakit banget, Ser!"

"Ya Tuhan, Git ..." Sera kembali merengkuh sahabatnya masuk dalam pelukannya. "Please, jangan melakukan kesalahan bodoh yang pernah nyaris gue lakukan. Lo masih punya gue."

Tangis Anggita kembali berderai untuk kesekian kalinya hari itu. Membasahi kemeja sahabatnya. Anggita menikmati pelukan hangat itu. Pelukan yang sudah lama tidak pernah ia dapatkan dari siapapun. Matanya kembali menatap cakrawala di hadapannya. Menampilkan cercahan sinar mentari yang hangat menembus jendela. Membentuk bayangan dari setiap kisi.

Satu hal yang Anggita butuhkan dalam hidupnya saat ini. Sang mentari yang mampu menghangatkan hatinya yang dingin.

================

"Retha, kamu yakin mau meneruskan semua ini?"

"Mas Hasan, kedua putriku itu harus belajar bersikap dewasa sesuai umur mereka."

"Hahaha ... Retha, aku tidak tahan ingin tertawa kalau sedang berhadapan dengan Amara." Tawanya terdengar menggema di ruangan itu.

Retha beringsut mendekat pada pria yang lebih tua tiga tahun itu darinya. Sofa merah yang ia duduki terlalu panjang menjarak keduanya.

"Yang penting kamu jangan keterusan terbawa sandiwara ini. Aku nggak mau kamu benar-benar jatuh cinta dengan putriku."

Hasan menatap dalam-dalam pada Retha lalu kedua tangannya menangkup pipi wanita itu.

"Bagaimana mungkin. Kamu pun tahu siapa yang aku cintai selama ini."

Hembusan napas lelah Retha terasa hingga ke lengan sang pria. Retha melepas kedua tangan kekar itu dari wajahnya.

"Mas, kamu tahu aku nggak bisa."

"Dan kamu juga tahu kalau aku siap menunggumu. Bahkan hingga penghujung ajal."

Retha mematung di depan kaca gedung lantai 12 itu. Menatap cakrawala yang sama dengan yang sedang ditatap oleh kedua putrinya saat ini. Tanpa menyadari jika langit saat ini sedang kembali mempertemukan tiga hati yang merindu dalam kesepian.