Anggita terus melajukan mobil mewah silver milik Amara menembus jalanan ibukota yang nyaris lengang, kontras dengan situasi dikepalanya yang serumit benang kusut saat ini.
Untuk menengahi dua kubu yang membelah isi kepalanya, ia menyanyikan lantunan sedih dari hati. Sesekali Anggita terkekeh kencang, lalu berganti dengan isak dari rintik air matanya, lalu kembali tertawa puas, lalu kembali sesenggukan, lalu berganti lagi dengan tertawa miris. Tawa dalam tangis. Mirip-mirip pasien rumah sakit jiwa.
Sama seperti isi kepalanya, hatinya pun terbelah menjadi dua kubu. Sebagian berteriak 'i'm sorry', sebagian berteriak 'let it go' . Dengan akibat dari tindakannya dua jam yang lalu di pelataran parkir pool bilyar itu terhadap sang kakak.
Seharusnya Anggita-lah yang merasa tersakiti dengan ucapan sang kakak. Tapi justru sebaliknya, Anggitalah yang merasa telah menyakiti Amara dengan paparan pedasnya. Ditambah lagi ia sengaja menyebut nama Alvaro untuk menyalakan kembali bara api yang telah lama terkubur dalam relung hati Amara.
Lebih baik begini adanya. Lebih baik Amara benar-benar membencinya. Benar-benar tersakiti olehnya. Sehingga tidak mungkin ia masih menjadi satu-satunya manusia kepercayaan sang ratu ketus itu.
Ya, lebih baik begini. Lagi-lagi Anggita berusaha meyakinkan suara di benaknya.
Tuhan tahu hingga detik ini ia masihlah seorang perawan. Belum ada satupun pria yang ia ijinkan untuk membobol satu-satunya mahkota berharga yang ia pertahankan hingga detik ini. Tuhan juga tahu jika ia belum pernah minum hingga benar-benar mabuk. Semua ini hanyalah sandiwara belaka. Dan Anggita selalu berharap Tuhan membebaskannya dari hukuman yang selama ini menjerat hatinya. Rasa bersalah.
Falling out of love is hard
Falling for betrayal is worse
Broken trust and broken hearts
I know.. I know
Thinking all you need is there
Building faith on love and words
Empty promises will wear
I know.. I know
And now when all is gone
There is nothing to say
And if you're done with embarrassing me
On your own you can go ahead tell them
Tell them all I know now
Shout it from the roof tops
Write it on the sky line
All we had is gone now
Tell them I was happy
And my heart is broken
All my scars are open
Tell them what I hoped would be
Impossible, impossible
Impossible, impossible
Nyanyian dengan lirik menyayat hati, terdengar merasuki telinga Anggita. Ia menoleh ke arah nyanyian itu berasal. Benda itu terletak di dalam tote-bag Amara. Dengan tangan kiri bergerak ke samping dan pandangan lurus ke depan, Anggita merogoh benda itu keluar seiring dengan volume nada dering berupa lagu dari James Arthur yang semakin mengeras.
Lewat sudut matanya, Anggita melirik layar benda persegi itu.
Ibu Presdir is calling
Ia biarkan saja.
Tawanya kembali miris tatkala nada dering berhenti dan gambar latar di layar itu terpampang jelas.
"Mbak, tadi ijinnya apa ke Ayah?"
"Mau main ke rumah Rani. Lo ijin apa ke mama, Git?"
"Heee ... nonton di rumah Audi."
"Bagus! Mama nggak curiga, kan?"
Anggita kecil menggelengkan kepalanya.
Lalu kepala Amara mendongak ke arah mobil Mercedes Benz yang terparkir di pinggir trotoar.
"Pak Surdi?"
"Tenang, dia CS-nya Gita, bakalan tutup mulut dari Mama. Jadi, Mbak Mara mau kita kemana? Pak Surdi siap nganterin."
Amara tersenyum tulus pada bocah kelas 4 SD di hadapannya itu. Hari ini bisa jadi hari terakhir pertemuan rahasia kakak-adik ini. Entah kapan lagi Tuhan akan mempertemukan mereka kembali.
"Kita ke Mal, yuk! Hari ini kita senang-senang di Mal. Main di timezone!" seru Amara dengan tawa lebar.
"Beneran? Uangnya?"
"Tenaaang, Mbak udah mecahin si Jurik."
"Celengan ayam itu, Mbak?" Lalu disambut dengan anggukan kepala mantap oleh Amara.
Bola mata Anggita melebar tak percaya. Sang kakak rela merusak si Jurik yang disayangnya seperti layaknya seekor ayam hidup. Bocah berusia sepuluh tahun itu merasa janggal dengan sikap sang kakak.
"Yuk, nanti kesorean. Kita nggak punya banyak waktu," ajak Amara seraya menarik tangan Anggita untuk ikut masuk ke mobil bersamanya.
Tidak terlalu jauh jarak tempuh yang dilalui oleh mobil mewah milik Retha untuk menempuh perjalanan dari rumah Ganesha di kawasan Pasar Minggu hingga ke Mal terbesar di Jakarta Selatan itu. Mengantarkan kedua gadis kecil mereka melakukan pertemuan tersembunyi seperti yang sudah biasa dilakukan keduanya selama enam bulan belakangan ini.
Rusdi sang supir, kali ini turut merangkap menjadi pengawal bagi Amara dan Anggita. Ia yang berinisiatif menawarkan diri. Bisa runyam urusannya jika tiba-tiba terjadi sesuatu yang membahayakan pada anak gadis sang majikan yang harus dijaganya bak berlian mahal The Winston Blue mahakarya dari Harry Winston.
Sementara kedua gadis kecil itu tidak terlalu ambil pusing dengan kehadiran Rusdi yang selalu lekat memantau keberadaan mereka yang kini sedang asyik berlarian kesana-kemari menikmati satu-persatu wahana Timezone.
"Git, kita foto-foto, yuk. Tuh, ada photobox." Telunjuk Amara mengarahkan pandangan adiknya pada salah satu kotak studio mini yang berdiri tegak di sudut arena.
Kedua bola mata Anggita yang tengah berbinar menjawab ajakan sang kakak. Justru Anggita-lah yang menarik tangan sang kakak dengan bersemangat berlari menuju kotak foto berukuran sekitar 3 m² itu.
Setelah membayar, Amara dan Anggita memilih properti yang tersedia untuk mereka gunakan. Amara mengambil sebuah wig rambut keriting berwarna hijau lalu hidung badut berwarna merah. Sementara Amara mengenakan topi chef dan apron yang dikalungkan di leher.
Keduanya berpose sesuka hati selama kamera tersembunyi itu beberapa kali mengambil jepretan.
Terlihat enam belas cetakan foto dengan ukuran kecil keluar dari mesin di hadapan mereka. Dengan sigap Amara membagi dua foto itu. Masing-masing mendapat delapan frame.
"Git, disimpen baik-baik. Jangan hilang! Kalo lo kangen sama Mbak, dipelototin aja ini fotonya sampai lo bosen," perintah Amara dengan senyum aneh.
"Lho, kan tiap minggu juga kita ketemu. Kok Mbak ngomongnya gitu? Emangnya ketauan sama Ayah?" tanya Anggita dengan perasaan cemas.
Amara menggeleng cepat lalu menarik napas panjang. Gadis kelas 6 SD ini sedang berjuang keras untuk menahan air mata yang sejak tadi mendesak untuk dikeluarkan.
"Minggu depan ..." Amara kembali mendesah. "Gue akan pindah ke Solo."
"Solo? Mana itu?"
"Deket Jogja, Git."
"Deket rumah Eyang Asih?"
"Mmm ... masih jauhan, sih."
Anggita menunduk lemas. Memegang erat-erat lembaran foto itu. "Rumah Eyang Asih kan jauh, Mbak. Kalo kesana aja ... harus nginep tiga hari."
"Kalo gue ... mungkin akan lebih lama nginepnya," balas Amara ragu-ragu dengan tatapan tak lepas dari adiknya.
"Mbak mau sekolah di sana?"
Amara mengangguk perlahan.
Tiba-tiba saja bulir-bulir bening itu menetes melintasi kedua pipi Anggita.
"Kenapa sih, Mbak ...?"
"Kenapa apa?"
"Ayah dan Mama tega misahin kita."
Amara kecil bergeming, tak mampu menjawab.
"Mereka yang marahan, kenapa kita yang harus ikut jauhan?"
Lagi-lagi lidah Amara kelu.
"Gita pingin kayak Sabrina, Maira, Audi, teman-teman lainnya. Orangtua mereka lengkap. Kadang papanya, atau mamanya yang jemput. Gita? Selalu Pak Rusdi yang jemput. Mama? Selalu sibuk. Ayah? Sudah lama nggak ketemu. Cuma Mbak Mara yang sayang sama Gita." Anggita kecil mengangkat lengannya, berusaha menyeka airmata yang sudah membumbung.
Sontak Amara memeluk erat sang adik yang sudah tak kuasa menahan isak tangisnya. Airmatanya pun melanggar perintah otaknya, keluar begitu saja meskipun tidak diijinkan.
Dan adegan ini pun menyita perhatian para penghuni timezone lainnya, termasuk Pak Rusdi yang hanya berjarak tiga meter dari keduanya dan sekarang turut menetes airmata. Ratapan iba bagi dua gadis kecil broken-home, korban dari perpisahan kedua orangtua yang tak dapat berkomitmen pada janji yang diikrarkan di hadapan Allah.
Amara menggenggam erat lembaran foto ditangannya sambil berjanji dalam hati. Akan menyimpan gambar itu seumur hidupnya. Sebagai pengingat, jika ia masih memiliki Anggita dalam hidupnya yang sepi akan kasih sayang.
Dan kini foto itulah yang selalu menghiasi background layar ponselnya. Anggita akan selalu menjadi orang yang paling disayangi olehnya seumur hidupnya.
Naif, Mbak! Lo bener-bener naif.
=========================
"Jadi ... Prof ini ... Ayahnya Bu Sakya?" tanya Amara dengan nada sepenuhnya tak yakin.
"Hahaha ... iya. Saya pikir kamu sudah tahu, Amara."
Pria paruh baya berusia 65 tahun yang masih terlihat pucat itu tertawa ramah.
"Maaf mengganggu malam-malam, Om Jo." Arga mengulas senyum manisnya.
Amara termangu di tempatnya. Tak pernah disangkanya jika Prof. DR. Ir. Johandi Firdaus, M. Sc, teman baik ayahnya, sekaligus pemilik kampus tempatnya mengajar, adalah ayah dari Sakya. Wanita yang sudah seminggu ini dibencinya.
"Jadi, ada apa kalian berdua kemari? Jangan bilang ..."
Bersamaan, wajah Amara serta Arga mengerut penasaran menanti kelanjutan kalimat Johandi yang menggantung.
"... jangan-jangan, kalian kesini mau minta restu kami untuk menikah?"
"Hah???" Reaksi kaget keduanya pun terlontar bersamaan.
"Bu-b-b-bu-bukan, Prof! Kami bukan pacaran."
"Om, Amara ini —"
"Calon istri kamu kan, Ga?"
"Bukaaan!" Seru keduanya lagi bersamaan, yang justru kembali memancing tawa Johandi menggema di ruang tamu berukuran besar itu.
"Iya, saya tahu kalian bukan pasangan kekasih. Saya hanya bercanda ... hahaha ..."
Amara susah-payah menelan ludahnya. Candaan ini sungguh tidak lucu baginya. Justru membuat dirinya merinding gemetar. Diliriknya Arga yang duduk berseberangan dengannya. Berbeda dengan dirinya, Arga justru terlihat tenang. Tidak marah ataupun tertawa. Benar-benar datar.
"Pa, jangan diledekin terus. Kasihan Bu Dania." Sakya menegur papanya dengan lembut. Benar-benar lembut. Amara berani bertaruh, suara lembut wanita itu mampu meruntuhkan pria manapun di dunia ini, termasuk pria yang duduk di hadapannya saat ini.
"Jadi, apa yang membawa kamu bertamu ke rumah saya malam ini, Amara?"
Amara memperhatikan tatapan lembut Arga yang tertuju pada Sakya.
"Amara?"
Jelas terlihat jika Arga menyimpan rasa sayang yang teramat dalam pada wanita yang duduk di sampingnya. Jauh di dalam lembah hatinya, terselip rasa iri yang terjun bebas menuju ke dasar.
"Amara?"
Sungguh, Amara ingin sekali memiliki seseorang yang menatapnya dengan tatapan serupa.
"Bu Dania?"
"Hah? Eh ... oh, i–iya?"
Kini tatapan lembut Sakya mengarah padanya yang baru saja tersadar dari lamunan.
"Papa saya bertanya, ada tujuan apa bertamu malam ini?"
"Oh ... emm ... sebenarnya —"
"Om, Amara boleh numpang menginap di sini malam ini?" Arga mengambil alih untuk menjawab. Dan kini wajah sang profesor mengkerut penuh tanya.
"Jadi begini, Om. Amara ini —"
"Saya nggak bisa pulang ke rumah, Prof. Tas saya tertinggal di dalam mobil yang dibawa oleh Gita. Ponsel saya juga tertinggal di sana. Gita malam ini ada urusan dengan temannya, mungkin menginap. Mama pergi ke Semarang sampai hari Minggu. Jam segini juga sepertinya para pembantu sudah terlelap. Jadi ..."
Johandi mengangkat telapak tangannya lalu mengangguk paham. Tak perlu mendengar penjelasan dari Amara lebih lanjut. Ia mengenal Amara bukan lagi sepuluh atau belasan tahun, tapi semenjak perempuan ini baru keluar dari rahim sang mama. Saat Retha akan melahirkan, Johandi-lah yang mengantarkannya ke rumah sakit. Sementara Ganesh, sang ayah yang juga sahabatnya sejak SMA, saat itu sedang berada di Bali.
Johandi tahu persis bagaimana sifat Amara yang senang melarikan diri dari permasalahan. Bukan sekali, dua kali saja perempuan itu pernah kabur dari rumah selepas bertengkar dengan sang ayah. Tapi biasanya tidak sampai lama ataupun berlarut-larut. Dua atau tiga hari kemudian, Amara akan kembali dengan sendirinya lalu sadar diri meminta maaf.
Meskipun Ganesh mendidik putri sulungnya menjadi sosok yang tangguh, tetap saja Amara sosok yang rapuh. Seperti layaknya kaca yang terbuat dari pasir kuarsa. Ditempa begitu rupa dengan suhu seribu derajat celcius, dibentuk saat meleleh, tahan banting saat terkena suhu panas atau dingin. Namun begitu tersenggol, retak begitu saja bahkan hancur menjadi kepingan. Seperti itulah Amara. Tough but weak. Kuat namun lemah. Seperti kaca.
"Nak, tolong siapkan kamar tamu untuk Amara. Dan pinjamkan baju untuknya. Sepertinya kalian seukuran."
"Ya, Pa. Sebentar ya, Bu." Sakya segera beranjak, mengerjakan instruksi sang papa. Meninggalkan Amara, Arga, dan Johandi di ruang tamu.
"Om, terima kasih. Maaf jadi merepotkan," ucap Arga selepas kepergian Sakya menuju lantai dua.
Sementara Amara mendelik tidak suka setelah mendengar kalimat itu. Merepotkan? Yang benar saja. Bukan Amara yang minta dibawa kemari. Jika ia tahu akan menginap di rumah musuh bebuyutannya, tentu saja ia akan menolak mentah-mentah. Sebentar. Musuh bebuyutan? Benarkah? Sejak kapan Amara menganggap Sakya sebagai musuh bebuyutan? Wanita itu kan tidak pernah mengusik kehidupannya. Lalu ... kenapa sekarang ia membencinya?
Amara kembali melirik ke arah Arga yang sedang asyik berbincang dengan Johandi. Ah ya, Amara kembali tersadar. Pria inilah penyebabnya.
"Tante sudah tidur, Om?" Arga melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 22.20.
"Enggak. Tante Rasmi sedang di Bandung. Adiknya masuk rumah sakit kemarin."
"Tante Fiona? Sakit apa, Om?"
"Om juga belum tahu. Tadi Tante telpon cuma bilang masih dalam pemeriksaan."
Lagi-lagi Amara diserbu rasa penasaran. Kenapa Arga sangat mengenal keluarga ini? Ia saja yang mengenal Johandi sejak balita tidak pernah tahu jika sahabat ayahnya ini memiliki seorang putri. Ia bahkan tidak tahu jika Rasmi memiliki adik bernama Fiona. Well, mungkin memang Amara yang tidak terlalu mengetahui kehidupan sang profesor fisika ini. Johandi memang sering bertandang ke rumah ayahnya. Namun tidak sebaliknya. Belum pernah sekalipun ayahnya mengajak Amara untuk balas berkunjung. Ini adalah pertama kalinya ia menapakkan kaki di rumah profesor yang dulunya ia panggil Om Johan ini.
Bahkan dengan Rasmi sang istri, Amara bisa menghitung hanya dengan lima jari berapa kali mereka bertemu.
"Amara?"
"Eh? Ya, Prof?"
"Nggak usah formal, ini bukan di kampus. Kamu bisa panggil saya seperti biasanya." Johandi tersenyum hangat.
"Emmm ... iya, Om Johan. Berarti, di rumah, Om cuma berdua dengan Bu Sakya?"
"Cukup panggil saya Sakya. Tadi papa saya sudah mengingatkan, ini bukan di kampus," imbuh Sakya yang baru saja selesai menapaki turun anak tangga.
"Oh ... baik."
"Kalau aku panggil apa?" cetus Arga dengan kekehan ringan. Amara melirik dongkol.
"Apa sih, Mas. Ikut-ikutan aja. Nggak enak lho sama Bu Dania."
"Amara. Panggil saya Amara saja." Amara yang membalas dengan datar.
"Saya panggil Mbak saja ya. Rasanya kurang sopan bagi saya memanggil yang lebih tua dengan nama saja."
Apa??? Lebih tua?! Jerit Amara dalam hati. Namun berbanding terbalik dengan hatinya, Amara mengulas senyum.
"Jadi, kalian ini teman atau bagaimana?" tanya Johandi dengan menyorot bergantian pada Amara dan Arga.
"Kebetulan saya akan menjadi konsultan untuk project perusahaannya Amara."
Johandi mengangguk disertai senyuman lebar.
"Arga ini pinter dan kreatif lho, Amara. Suka out of the box idenya. Om recommend! Kamu nggak salah pilih arsitek."
"Syukurlah kalau begitu. Tadinya saya khawatir kalau kerjaannya nggak bagus," sindir Amara sembari menyorot tajam.
"Oh, tidak mungkin. Om tahu Arga ini seperti apa hasil kerjanya. Semuanya sangat memuaskan. Bahkan ada perusahaan arsitek besar dari Canada pernah menawarkan Arga menjadi kepala biro di sana. Tapi dia menolak."
Tanpa sadar, mulut Amara menganga lebar. "Alasannya?"
"Simpel. Tapi menyebalkan bagi Om."
"Apa?" tanya Amara heran.
"Nggak mau jauh-jauh dari Sakya. Hahaha ..."
Dan lagi-lagi, candaan Johandi benar-benar tidak menggugah Amara untuk ikut tertawa. Selera humor yang aneh. Tidak ada yang patut ditertawakan dari fakta itu. Jika Johandi sudah mengetahui pria itu sangat mencintai putrinya, kenapa juga ia tidak langsung menikahkan keduanya? Apakah Arga belum memenuhi kriteria calon menantu ideal bagi sang profesor?
Tampang? Oke.
"Mas Arga lebay, sih."
Body? Apalagi.
"Kalau begitu saya pamit dulu, Om Jo. Sudah malam."
Popularitas? Hellow, dia itu si Tangan Kaligrafi!
"Kamu nggak mau nginap sekalian? Masih ada kamar lain, Ga. Biar rumah Om tambah ramai."
Mapan? Putra dari Hardiyanto Soenyoto kurang mapan??
"Terima kasih, Om. Lain kali saja."
Cinta? Nggak perlu dipertanyakan. Lihatlah betapa manisnya ia memperlakukan Sakya.
"Baiklah kalau begitu. Hmmm ... Amara?"
Soleh? Hmmm ... iya sih, cuma sama Sakya saja dia mau bersentuhan. Sakya pun demikian. Padahal mereka bukan pasangan halal.
"Amara?"
Ah iya, baru ingat! He's married! Ada seorang istri yang menunggunya pulang ke rumah.
"Amara?"
Istri? Lalu Sakya? Om Johan?
"Mbak?" Sentuhan lembut di bahunya kembali membuatnya tersadar dari lamunan.
"Eh? I—iya, kenapa?"
"Amara, Amara ... ckckck ... sepertinya kamu terlalu banyak melamun malam ini."
"Ma—maaf, Om. Masalah pekerjaan, biasa."
Johandi tidak mudah ditipu begitu saja dengan alasan klise. Ia tahu ada beban berat yang tengah dipikul kepala putri sahabatnya itu.
"Om Jo, Saki, tolong titip Amara."
"Hati-hati ya, Mas." Sakya kembali meraih uluran tangan Arga lalu menciumnya. Sementara Arga membalas dengan sebuah kecupan di dahi.
Kecupan di dahi??? Dan Om Johan diam saja melihat itu? Malah tersenyum?
"Permisi, Om." Giliran tangan Johandi yang dicium oleh Arga, seperti seorang anak yang akan pamit pada orangtuanya.
"Hati-hati ya, Ga. Salam buat Jihan."
Jihan? Jadi itu nama istrinya Arga?
Arga sudah beristri, lalu Sakya? Kenapa Om Johan sama sekali tidak marah dengan kedekatan mereka?
Amara memejamkan matanya. Teka-teki ini lebih sulit daripada game crosswords dengan level hard yang sudah terpasang di ponselnya. Dan Amara sungguh-sungguh penasaran ingin segera menemukan jawabannya. Sayangnya, kalaupun ia bertanya pada Mbah Google untuk mencari bocoran seperti pada game crosswords-nya, pastinya tidak akan ketemu. Mbah Google yang Maha Benar-nya melebihi netizen saja tidak punya jawabannya. Apalagi Amara?
Semakin dipikirkan, semakin memusingkan. Hingga Amara refleks memijat dahinya yang kini terasa benar-benar pening.
"Mbak, pusing? Masuk angin? Tadi sudah makan malam, belum?"
"Kenapa, Amara? Kamu sakit?"
Rentetan pertanyaan yang dilontarkan oleh Sakya dan Johandi justru membuatnya semakin pusing.
"Ehm, nggak pa-pa. Cuma butuh istirahat aja. Sudah makan kok tadi."
Amara berbohong. Lambungnya hanya diisi oleh segelas coke saja sejak beberapa jam yang lalu. Dan kembali merepotkan keluarga ini dengan menyiapkan makan malam untuknya, adalah hal terakhir yang ia inginkan. Mengetuk pintu rumah ini untuk numpang menginap saja sudah cukup memalukan.
Setelah melepas kepergian Arga dari balik pintu ruang tamu, Sakya mengantarkannya ke kamar tamu di lantai dua. Sementara Johandi kembali masuk ke kamarnya di lantai satu dengan langkah tertatih menggunakan tongkat.
"Silahkan masuk, Mbak." Sakya yang membukakan pintu kamar untuk Amara.
Amara menerawang sekeliling isi kamar yang kira-kira berukuran 4 x 5 m². Cukup besar. Di tengah-tengahnya terletak sebuah ranjang berukuran queen-bed dengan diapit oleh nakas kayu jati di kedua sisinya. Di tengah-tengah plafon tergantung lampu chandelier kecil. Menambah sisi romantis kamar yang dihiasi dengan wallpaper bunga tulip.
"Ini kamar tamu?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari lisannya.
"Sekarang. Dulunya kamar Yara."
"Yara?"
"Adikku. Dia sudah menikah. Sekarang tinggal dengan suaminya di Malaysia."
"Ooh ..." Punya adik ternyata.
"Emmm ... memangnya kalian berapa bersaudara?"
"Hanya saya dan Yara."
"Bu Sak — maksud saya, Sakya ... kamu ... belum punya calon untuk menikah?"
Sakya sama sekali tidak terkejut mendengar pertanyaan yang ia tahu sengaja dilontarkan untuk memancing cerita tentang hubungannya dan Arga. Sakya tidak sepolos itu untuk tidak mengerti.
"Saya tahu Mbak sudah tidak tahan mau menanyakan soal ini sama saya."
"Maksud kamu?"
"Kita duduk dulu, Mbak."
Amara yang sudah berdebar-debar, menurut saja saat tangannya ditarik oleh Sakya untuk menduduki sebuah sofa putih panjang yang terletak di sudut ruangan.
"Mbak Amara pasti sejak tadi mempertanyakan hubungan antara saya dengan Mas Arga. Benar begitu?"
"Eh, a—anu, bu—bukan ... emmm, sa—saya cuma ..."
"Mbak Amara lucu juga ternyata kalau kikuk begini." Tak sadar Sakya justru mengikik menertawakan sikap Amara yang menurutnya menggemaskan.
Sisi lain Amara yang baru saja dilihatnya. Selama ini image seorang Dania Amara di kampus selain menjadi dosen killer, juga dikenal sebagai Si Gunung Es Antartika. Berkat sikapnya yang begitu dingin dan kaku kepada — tidak hanya mahasiswa tapi juga civitas lainnya — di kampus.
Tapi hanya Sakya yang tidak beranggapan demikian. Sakya tahu, wanita ini menyimpan seribu luka di hatinya. Sikapnya yang sekaku tembok Berlin hanyalah pertahanan yang ia bangun untuk menghindari luka-luka lain menembus hatinya.
Bagaimana Sakya bisa tahu? Sebut saja mereka senasib. Sakya pun sama, menyimpan begitu banyak bekas luka dari cerita masa lalu.
"Maaf kalau saya lancang. Saya cuma ... ummm, saya tahu kamu wanita sholehah yang sangat menjaga diri dari terjangan buaya-buaya liar di luar sana. Ya, sebut saja begitu. Tapi dengan Arga, kamu ... ya, ummm ... bebas bersentuhan tanpa merasa risih. Jadi saya ... sebut saja penasaran."
"Ooh, jadi itu yang mengganggu pikiran Mbak sejak tadi. Bukan masalah pekerjaan, kan?"
Amara tersenyum kecut. Seperti halnya seorang kleptomania yang baru saja ketahuan mengambil barang milik temannya.
"Sebelumnya saya minta maaf. Karena kelakuan Mas Arga terhadap saya jadi menimbulkan berbagai persepsi, baik dan buruk, di pikiran orang-orang, termasuk Mbak Amara. Saya juga sudah berkali-kali menegur Mas Arga untuk tidak berlaku demikian di depan umum. Tapi memang dasarnya dia itu terlalu cuek dengan penilaian orang lain. Jadi ya ... teguran saya nggak pernah dianggap." Sakya terkekeh pelan.
Padahal Amara sudah tak sabar menunggu jawaban klimaks. Tapi Sakya masih saja berputar-putar.
"Jadi, Arga itu siapanya kamu?"
"Mas Arga itu ... dia adalah ..."
"Ya?"
"Dia ..."
☆■☆■☆■☆■☆■☆■☆■☆■☆■☆■☆