Chapter 3 - Bagian 2 (Penjaga Malam)

Garis pelangi membentang usai derai hujan

Warna-warni beriringan meski dalam perbedaan

Bagai ragam untaian nada yang bersenyawa serupa musik gubahan

***

Pram melihat jam dinding. Pukul 10.30 malam.

CRING!

Pintu terbuka oleh seorang anak laki-laki, mungkin kelas enam sekolah dasar. Anak itu datang bersama seorang nenek berkacamata tebal. Setelah membuka pintu, ia langsung berlari ke area snack dan sang nenek berjalan pelan di belakangnya.

"Dio ..., Dio mana?" Sang nenek mencari cucunya, padahal anak kecil itu tidak begitu jauh darinya.

Pram berpikir, mungkin nenek ini pandangannya sudah sangat rabun.

"Di sini, Nek!" seru anak itu, bahkan tanpa melirik ke neneknya.

Wanita tua itu berjalan ke arah Dio, cucunya. "Apa di sini ada balsam yang Nenek cari?"

"Balsam di sebelah sini!" Pram sudah berjalan ke rak yang tidak jauh dari meja kasir.

Nenek itu berbalik. "Oh ..., di sana, ya ..., sebentar." Dia berjalan pelan-pelan ke arah yang ditunjuk Pram. "Mana balsamnya?"

"Nenek biasa pakai yang mana? Ini mereknya ada macam-macam."

Nenek itu menggoyangkan kacamatanya sedikit. "Hmm ..., yang mana, ya? Nenek lupa."

Pram melirik anak lelaki bernama Dio yang sedang sibuk memilih camilan.

"Hei, Dek! Balsam mana yang biasa dipakai nenekmu?"

Anak itu kelihatan tidak acuh. "Aku juga enggak tahu yang mana," katanya, bahkan tanpa melihat dulu ke rak obat hingga membuat Pram kesal.

Tiba-tiba sang nenek menggenggam pergelangan tangan Pram dengan erat.

"Ada apa, Nek?"

Wajah nenek itu mendekat ke arah Pram. Kacamatanya dinaikkan sedikit dan alisnya berkerut.

"Anak muda, kamu mirip ... sangat mirip dengan cucuku yang satu lagi. RIKO!"

Eh?

Pram memberikan tatapan tidak percaya. Tidak yakin rasanya karena cucu sang nenek itu juga berada tidak jauh darinya.

"Riko adalah anak yang pengertian. Sekarang, dia sudah kuliah di luar negeri, jadi Nenek sering kangen. Padahal kalau ada dia, biasanya Nenek selalu diantarnya ke mana pun Nenek mau. Zaman sekarang ini, susah menemukan anak muda seperti dia. Kamu tahu? Dulu itu, Riko ...." Nenek itu terus mengoceh tanpa jeda.

Sementara itu, Pram hanya bisa berdiri terdiam mendengarkan ucapan wanita tua itu. Cucunya yang bernama Dio sama sekali tidak membantu.

Anak itu tampak menggoyangkan tangan sang nenek. "Nek ..., Nek ..., aku mau, ya, jelly yang ini tiga! Nek ..., Nek ...!"

Pram menengok ke arah Ricky yang kemudian menarik ujung bibirnya dengan jari.

Ya ..., ya ..., baiklah ....

Pram tersenyum mendengarkan ceramah sang nenek yang akhirnya memakan waktu sekitar sepuluh menitan. Setelah selesai, akhirnya mereka membeli tiga buah jelly dan satu balsam yang dipilih secara acak oleh cucunya itu.

***

"Fiuhh ...." Tidak disangka oleh Pram, larut malam pun ternyata pembeli di toko tersebut masih ramai.

CRING!

Masuklah dua orang banci dan tangkas membuat Pram berdiri. "Selamat datang."

Banci yang sebelah kiri berambut ikal, entah itu rambut asli atau wig dan yang sebelah kanan berambut lurus, nampaknya yang ini benar-benar rambut palsu.

Banci berambut ikal itu tersenyum pada Pram. "Owh ..., ya, ampyuun! Ada staf baru toh di sindaang!"

Tubuh Pram mendadak langsung kaku. Matanya menatap wanita jadi-jadian itu. "Eh ..., iya, Om."

Suara berat nan keras langsung keluar dari mulut banci itu. "APA?! OM?! OM?! OH-EM-JII!! Emangnya akyu ommu apa?!"

"Err .... Maaf, Tante—"

"TANTE?!"

Muka Pram mulai pucat. Ingin rasanya dia lari menjauh dari sana sekarang. "Eh ... Maaf, Mbak!"

Banci itu lantas tersenyum puas. "Nah, gitchu dong. Baru cucok deh."

Keduanya lalu melangkah melewati meja kasir. Sebelum berbelok ke rak kosmetik, mereka sempat menyapa Ricky yang sedang duduk di samping lemari pendingin, kemudian sepasang sahabat itu berjalan ke rak kosmetik dan sibuk berdiskusi tentang make up.

"Say, akika cucoknya pakai foundation yang mana, ya?"

"Kulitmu, kan, berminyak, Say. Cucoknya pakai yang ini nih. Kalau pakai yang ini, enggak perlu lagi pakai bedak, Say," balas banci satunya.

"Ih ..., tapi kok rada mahal, ya, Say." Banci berambut ikal itu tampak merengut, memajukan bibirnya hingga sekitar dua senti.

"Ai ..., kalo demi kecantikan mah ini murce keles .... Masa kita kalah sama banci Thailand."

Pram berusaha mengabaikan percakapan mereka, tetapi volume suara keduanya cukup keras untuk tidak bisa diabaikan. Tidak lama kemudian, mereka mendatangi meja kasir.

Banci yang berambut ikal berbicara pada Ricky setengah berteriak, "Mas Ricky! Ih ..., sombong deh enggak ngasih tahu akika kalo ada barang bagus di sindang!" Ia setengah melirik ke arah Pram.

Ricky tergelak setengah merasa kasihan pada Pram. "Ya ..., gimana? Staf yang satu ini masuknya dadakan, jadi, ya, enggak sempat cerita," balasnya.

Pram heran bagaimana Ricky bisa begitu santai menghadapi para banci tersebut. Namun, dirinya berusaha mengabaikan hal itu. Dia cepat-cepat memasukkan data belanjaan ke komputer. "Semuanya lima puluh enam ribu rupiah."

"Ai, cepet bingits, ya? Akika paling suka sama yang gesit!" Banci itu mengedipkan matanya ke Pram dan membuat kaki pria di depannya gemetaran seketika.

"Mas, namanya Pram, ya? Aduh ..., ganteng bingits, Mas. Makan apa sih bisa ganteng gini mirip pemain film Taiwan yang main bareng San Chai itu loh."

Pram melirik ke arah Ricky dengan wajah tegang dan seperti biasa, seniornya itu hanya memberikan isyarat yang sama. Muka pria tersebut masih pucat. Salivanya tertelan sempurna melewati kerongkongannya.

Aku juga harus tersenyum sekarang? Bagaimana caranya?

"Akika bakalan sering-sering datang kemari, ah. Selama ada Mas Pram di sindang."

OH, TUHAN ... TOLONG ...!

***

Ponsel Pram tiba-tiba saja bergetar. Setelah pulang dari sif malam, Pram langsung tidur dan dia nyaris tidak salat subuh. Setelah beribadah, dia melanjutkan tidurnya lagi. Tangannya sejenak meraba nakas di samping tempat tidur, mengambil sebuah ponsel, dan melihat layarnya dengan sebelah mata.

JAKA CALLING!

Pram lantas menjawab panggilan tersebut dengan dehaman serak.

"Pram, kamu masih tidur, ya?" Suara sahabatnya itu terdengar nyaring.

"Bangunlah. Kalau aku tidur, enggak akan bisa angkat teleponmu," jawab pria itu setengah malas.

"Pram, kemarin kamu bilang mau hunting novel. Ke toko buku, yuk!" ajak editornya itu antusias.

"Um ..., iya. Satu jam. Satu jam lagi deh."

"Satu jam lagi ketemu di toko buku?"

"Bukan. Satu jam lagi aku mandi." Pram langsung mematikan sambungan telepon dan kembali tidur. Ia tidak peduli jika saja Jaka mengomel karena kebiasaannya yang suka mengulur waktu itu.

***

Suasana mall di akhir pekan ramai seperti biasanya. Pram dan Jaka tampak berjalan di koridor menuju pintu masuk ke sebuah toko buku. Pria yang wajahnya mirip pemain film itu masih saja menguap sambil menutup mulutnya.

"Kamu masih ngantuk setelah tidur selama itu? Aku harus meneleponmu lima kali sampai kamu benar-benar bangun." Pria berkacamata itu mengomel seraya menggeleng.

Pram terlihat menyeka ujung matanya. "Uh, maaf ..., aku memang biasa begadang, tapi yang ini beda. Ini bukan hanya terbangun saat malam, tapi juga menguras fisik dan mental. Eh ..., sebenarnya lebih ke mental."

"Memangnya apa yang terjadi di hari pertamamu?"

"Nanti saja kuceritakan pas kita makan."

Keduanya memasuki pintu masuk toko buku dan langsung berjalan ke barisan rak novel. Jaka menunjuk ke area di mana biasanya novel-novel psikologi ditempatkan.

"Pram, aku ke sebelah sana dulu, ya."

Pram mengangguk membalas. Pria itu berjalan tanpa tujuan, lalu berhenti di salah satu rak buku. Dia berdiri menatap beragam warna sampul buku dengan cap best seller di sana.

Apa yang kulakukan? Saat membuat "Kekasih Angin", sedikit pun tak terbersit niat untuk membuat sesuatu yang akan menjadi best seller.

Pria itu berdiri diam di sana, lalu berbalik dan menjauh dari deretan buku-buku best seller tersebut. Dia membaca beberapa buku sastra kuno dan setelah berpindah-pindah dari rak satu ke rak yang lain, dirinya memutuskan memilih sebuah buku.

Satu jam kemudian, mereka sudah berada di sebuah food court di lantai atas mall. Tentu saja untuk alasan apalagi selain masih ingin berlama-lama di sana selepas makan?

"Kumpulan puisi?" Jaka heran melihat buku dengan warna background hitam dan sampul bergambar kaca retak berjudul "Serpih".

"Ya. Kumpulan puisi," jawab Pram sekenanya.

"Bukan novel?"

"Bukan. Aku perlu sesuatu yang singkat, tapi bisa menajamkan sensitifitasku terhadap kata dan rasa. Berhubung aku akan membuat novel genre roman yang pendekatannya mirip 'Kekasih Angin', berarti aku perlu mendalami perasaan perempuan ...."

".... Tadi ada buku itu yang tanpa plastik. Aku sudah membaca puisinya beberapa lembar pertama dan aku menyukainya."

Pria berumur 38 tahun itu memperhatikan mimik wajah Pram yang tampak serius berbicara. Dia lalu tersenyum tipis.

"Baiklah ..., aku percaya pertimbanganmu, Pram."

Menurut Jaka, Pram adalah seorang penulis berbakat dan dia sudah menunjukkannya melalui banyak karya. Lima novel genre roman-psikologi, dua novel genre roman-thriller, dan "Kekasih Angin" adalah satu-satunya novel murni roman. Keduanya sangat menyukai hasil kerjasama mereka, novel "Kekasih Angin".

Setelah itu, Pram memutuskan ingin membuat lagi novel roman, tetapi kemarin di mata Jaka, pria itu seperti tidak tahu harus memulai naskah dari mana. Melihat Pram yang sekarang, Jaka merasa penulis muda satu ini mulai nampak memiliki semangat mencari ide segar.

"Lagi pula, kalau sudah di atas tengah malam, pengunjung agak sepi, jadi aku kemarin agak bosan dan hampir tertidur. Makanya, kupikir aku perlu membawa buku untuk kubaca di toko," lanjut Pram usai bercerita sedikit tentang pekerjaan barunya.

"Oh, ya? Gimana hari pertamamu di S-Mart?" selisik Jaka penuh keingintahuan.

"Hmm ..., ada tiga pelanggan yang tidak biasa. Seorang gadis SMA genit, seorang nenek dan cucu bandelnya, dan sepasang banci."

Editornya itu nampak antusias. "Oh, ya? Ceritakan detailnya padaku, Pram!"

"Yah ..., singkatnya, mereka agak nyentrik. Selain mereka, normal."—Pram meneguk es teh di mejanya—"Ah ..., Mas tahu, kan, aku buruk dalam berinteraksi dengan manusia."

Jaka terlihat tersinggung. Ia mengerucutkan bibirnya sejenak. "Pram, kamu mau bilang aku bukan manusia?"

Pram sepertinya tidak mendengar komentar temannya itu barusan. Matanya terbelalak melihat ke arah belakang Jaka.

"Ada apa, Pram?"

Jaka menoleh ke belakang. Ternyata ada Diana di sana. Ia adalah mantan pacar Pram. Perempuan cantik berambut pendek itu sedang berjalan dengan seorang lelaki berpakaian formal, lengkap dengan dasi dan jas. Jarak mereka sudah dekat. Diana tersenyum kepada Pram, tetapi pria itu masih bergeming.

Sekian detik kemudian, pasangan itu sudah berdiri di samping Pram dan Jaka.

"Hai, Pram. Apa kabar?"

Diana terlihat lebih cantik dari dekat dan mengingatkan Jaka pada Bunga Citra Lestari. Dia memakai baju terusan lengan pendek, sepatu hak tinggi, dan giwang berbentuk cincin besar di telinganya. Gincunya berwarna merah menyala. Parfum aroma mawar tercium, bahkan ketika jarak mereka masih satu meter lebih.

Pram masih menatapnya dingin. "Baik."

Pria di belakang Diana mengerutkan kening, terlihat penasaran. "Siapa dia, Sayang? Temanmu?"

Diana lantas tersenyum. "Mantanku," jawabnya amat santai.

"Oh, Pram yang penulis novel itu?"

Pria itu terlihat bersemangat dengan sorot binar di matanya. Ia lalu menyodorkan tangan hendak berjabat tangan. Pram membalasnya.

"Saya penggemar novel-novel Anda, Pram! Ah ..., kenalkan, saya Bobby. Saya punya koleksi empat novel Anda, roman-psikologi. Saya suka sekali! Menurut saya, Anda sangat cerdas!" ujarnya berapi-api.

Diana lantas menyikut dada pria malang itu. Bobby meringis dan berhenti bicara seolah tahu maksud pacarnya tersebut.

"Kamu sedang hang out dengan editormu, Pram?" tanya Diana terdengar menyindir.

"Kelihatannya gimana?"

"Luar biasa, Pram! Akhir pekan begini kamu bahkan berekreasi bersama editormu. Sangat khas Pram. Sayang sekali, editormu laki-laki. Seandainya editormu perempuan, kalian mungkin bisa menikah."

Diana sontak tertawa sambil menutup mulutnya, sementara Jaka merasakan ketegangan antara sepasang mantan kekasih itu. Ia hanya bisa terdiam. Namun, kemudian Diana berkata sambil melirik ke arah editor tersebut.

"Aku cuma bercanda, loh. Jangan diambil hati. Aku pergi dulu, ya. Selamat bersenang-senang."

Diana melirik pacarnya sejenak. "Ayo, Sayang ...."

Pria jangkung itu menunduk sedikit pada Pram. "Mari ..., kami permisi dulu. Pram, saya menantikan karya terbaru Anda. Saya adalah fans—" Belum selesai dia bicara, tangannya ditarik oleh Diana dan mereka pun pergi dari sana.

Pram terlihat lega dengan kepergian mereka, sementara Jaka nampak merasa bersalah.

"Maaf, Pram. Aku jadi tidak enak. Kamu jadi diledek karena pergi bersamaku," ucapnya.

"Ah, jangan dengarkan dia. Kami dulu berpisah tidak dengan cara baik-baik. Itu hanya kebiasaan buruknya, nyinyir."

Jaka melihat ekspresi murung Pram yang menandakan mood-nya memburuk. "Kalau ada yang mau diceritakan, kamu bisa cerita kapan saja. Oke?"

Respons itu membuat Pram tersenyum. Jaka memang bukan hanya seorang editor baginya, tetapi sudah seperti saudaranya sendiri.

Editor berewokan itu melihat ke sekeliling. "Banyak orang pacaran. Ha-ha ... nasib jomlo ya begini ini. Cepatlah dapat pasangan baru, Pram. Wajahmu, kan, ganteng. Kamu bisa dengan mudah cari pacar baru," ujarnya.

"Enak aja ..., memangnya gampang? Mas sendiri gimana setelah waktu itu batal nikah?" cerocos Pram tidak mau kalah.

Langsung saja, pria berkacamata itu menghela napas panjang. "Memang sulit. Sulit ..., bohong kalau aku bilang tidak mau menikah."

Pram lantas menepuk pundak Jaka, berusaha mengalirkan energi positif padanya. "Jangan khawatir, Mas. Belum saatnya. Insyaallah nanti ketemu. Kita tunggu aja. Pokoknya, nanti siapa yang duluan nikah, harus traktir makan!"

"Ha-ha! Oke siap!"

"Ayo, kita toast, Pram!"

"Toast pakai es teh?"

TRING!

Dua gelas es teh itu bertemu. Jaka lantas berteriak sekencang-kencangnya. "HIDUP JOMLO!"

"Mas, mulutmu! Didengarin orang banyak!"

***