Chereads / Night Shift (SUDAH TERBIT CETAK. Penerbit : CV Benito Group) / Chapter 8 - Bagian 7 (Yang Mencipta Luka)

Chapter 8 - Bagian 7 (Yang Mencipta Luka)

Langkah kaki kuda sang pangeran berhenti tidak jauh dari hutan lebat di hadapannya. Kuda sang ajudan sendiri sudah berhasil menyusul dan kini berdiri di samping kuda milik Ion. Pangeran itu menelan ludah. Dia mengerti sekarang kenapa Hutan Hoia Baciu disebut-sebut sebagai Hutan Angker, bahkan di tengah hari bolong seperti sekarang ini, siluet batang-batang pohon kering yang rapat satu sama lain itu, entah bagaimana menciptakan suasana ngeri. Di dalamnya seolah ada kabut tipis yang akan meneror siapa pun.

"Ini dia. Hutan Hoia Baciu yang terkenal itu. Nah, sekarang Pangeran sudah melihatnya. Tolong diingat, Pangeran, bahwa kita tidak akan masuk terlalu dalam, tapi hanya di tepian hutannya saja. Kalau sampai Raja tahu saya membawa Pangeran ke sini, beliau pasti akan ...."

Belum usai ajudannya bicara, sudut mata Pangeran Ion menangkap seekor rusa merah berlari di antara batang pepohonan. Dia sontak mengambil anak panah dari punggungnya dan memacu kudanya berlari.

"HYAH!"

Kuda putih itu berdiri mengangkat kedua kaki depannya sebelum memelesat masuk ke hutan.

"RUSA MERAH, DIERNAIOS! DI DALAM HUTAN!" jelas Ion tanpa komando.

Diernaios sempat ternganga satu detik sebelum terburu-buru mengejar sang pangeran.

Ck! Menyebalkan! Kenapa dia tidak pernah mendengarkanku?!

Rusa merah itu bertubuh ramping. Dia berlari dengan gesit, melompat zig-zag dari satu batang pohon ke batang pohon yang lainnya. Dengan sabar, sang pangeran menunggu saat di mana hewan bertanduk itu berlari di jalur lurus. Kudanya berlari melewati entah berapa banyak batang pohon tinggi. Dia memasang anak panah dan menariknya ke belakang, lalu menahannya cukup lama hingga saat rusa itu berlari lurus, dengan cepat panah itu dilesatkan.

Sepersekian detik kemudian, panah itu tepat mengenai punggungnya dan membuat rusa itu terjatuh ke tanah.

BRUK!

"YEAH!!!" pekik gembira Ion sampai setengah bergaung di hutan. "DIERNAIOS, KAMU LIHAT ITU?!"

Saat Ion menoleh ke belakang, tidak ada siapa pun di sana. Kosong. Yang nampak hanya cabang batang-batang pohon yang meranggas seperti jemari yang terbuka. Kabut tipis yang terasa ganjil itu menambah kesan misteri seolah dirinya berada di dimensi lain.

Dengan susah payah sang pangeran menelan ludah. Ini jelas tidak sama dengan hutan-hutan lain yang biasa menjadi tempat berburunya.

"D-DIERNAIOS ...?"

Diernaios ....

Diernaios ....

Suara Ion bergema. Gema yang membuat siapa pun akan bergidik mendengarnya. Namun, masih juga tidak ada tanda-tanda kehadiran sang ajudan, padahal Ion yakin pria itu sejak tadi melajukan kuda di belakangnya.

(Lumina oleh Pramudya Sakka)

***

Setelah lama membahas novel "Kekasih Angin", Dhita kembali menyesap kopinya. Pram tersenyum menatapnya selama itu pula.

"Aku senang melihatmu bisa tersenyum seperti ini. Tadi di dalam, sorot matamu terlihat kosong," kata Pram padanya.

Perempuan itu sontak menunduk salah tingkah dan merapikan anak rambut di dekat telinganya.

"Em ..., kalau boleh kutanya, untuk apa kamu membeli tiga botol racun serangga?" Pram bertanya hati-hati.

Wajah Dhita seketika berubah tegang. Hening sesaat merengkuh dia dan pria tersebut.

"Maaf. Mungkin aku berlebihan, tapi ... aku sempat berpikir kamu mungkin mau bunuh diri," lanjut Pram.

Perempuan itu masih terdiam.

"Apa itu benar?"

"Enggaklah ..., di rumah sedang ada banyak kecoa, jadi aku sengaja beli banyak karena punyaku sudah habis sebotol," jawabnya tanpa menatap Pram sambil setengah terkekeh dipaksakan.

"Aduh ..., maaf, aku sudah menuduhmu yang tidak-tidak."

Perempuan itu tersenyum sembari masih menghindari kontak mata. "Enggak apa-apa."

"Aku cuma … khawatir karena yang aku yakini, bunuh diri adalah dosa besar. Kita manusia dilarang menyakiti diri sendiri karena tubuh adalah anugerah sekaligus amanat dari Tuhan. Syukurlah ..., aku senang ternyata kamu tidak berpikir begitu tadi."

Sebuah senyuman merekah tipis di sudut bibir Dhita yang masih menundukkan kepalanya. Matanya melihat ke arah lantai seolah banyak hal tengah menggelayuti pikirannya kini.

Sementara itu, Pram segera mengubah topik pembicaraan. Dia membahas novelnya yang lain dan Dhita nampak merespons dengan senang. Mereka cukup lama mengobrol. Tidak terasa kopi keduanya habis tidak bersisa.

"Kita tidak harus membahas novelku. Aku jadi tidak enak. Apa kamu bosan?" ujar Pram.

Dhita segera menukasnya. "Apa maksudmu bosan? Aku tidak akan bosan membahas novelmu."

Kalimat itu sukses membuat Pram malu. Selama hidupnya, baru kali ini ada perempuan yang bilang begitu padanya. Tiga kali pacaran dan ketiganya meninggalkan Pram dengan alasan yang sama—mereka lelah selalu dinomorduakan setelah novelnya.

"Sudah jam segini. Kamu mau kuantar pulang?" Pram bertanya sembari melirik ke jam tangannya.

"Ah ..,. aku tidak enak merepotkanmu," jawab Dhita malu-malu.

"Enggak repot kok. Aku cuma perlu izin sebentar ke temanku di dalam. Sebentar lagi aku keluar, ya. Tunggu aku di sini."

Beberapa menit kemudian, Pram sudah kembali ke teras usai masuk ke toko dan meminta izin pada Ricky.

"Kamu mau naik motorku atau kita jalan kaki?" tanya Pram dengan jari menunjuk motornya di parkiran.

Gadis itu menjawab tanpa berpikir lama. "Jalan saja. Dekat kok."

"Oke."

***

Malam ini, mereka berjalan berdampingan. Pram tegang sekali, butir keringat mengalir di dahinya. Ia terdiam sejak keluar dari toko tadi karena bingung harus mengutarakan apa lagi untuk dibahas di perjalanan.

Mimpi apa aku semalam? Oh, jantungku ..., tenanglah ..., tenang.

Dhita memperhatikan pria di sampingnya yang tengah meremas jemarinya itu. "Kamu sakit, Pram? Mukamu agak pucat."

"Oh ..., enggak kok. Aku sehat. Ha-ha," jawab Pram diselingi tawa kaku. Canggung rasanya berjalan dengan gadis secantik Dhita detik ini.

Pikiranku mungkin yang sakit, batinnya.

Pram menatap ke langit. Bintang-bintang terlihat jelas berhamburan di balik kabut awan yang tipis. Sementara itu, perempuan yang berjalan di sampingnya juga ikut melakukan hal yang sama.

"Cantik, ya?"

Pram sontak menatap wajah perempuan itu. "Iya. Cantik."

Bahkan, saat wajah Dhita memar seperti sekarang, Pram tetap merasa dia cantik, amat cantik mengalahkan wanita manapun yang pernah dikenalnya.

Di manakah rumahnya? Semoga masih jauh.

Pram tidak ingat pernah sebahagia ini saat berjalan bersama seseorang. Dia kembali memandangi memar di wajah perempuan itu. Dia berpikir akan bersabar, menunggu waktu yang tepat, mungkin nanti Dhita akan terbuka padanya menjelaskan duduk perkara soal lebam di wajahnya tersebut.

"Di sini rumahku," ucap Dhita sambil menunjuk ke sebuah rumah di sisi kanan jalan.

Pram lantas terdiam. Rumah Dhita berada di samping pos jaga yang pernah dilihatnya saat berangkat kerja. Sambil agak ragu, dirinya bertanya, "Aku pernah lihat ada lelaki berjaket hitam duduk di pos ini. Rambutnya dicat pirang. Apa dia saudaramu?"

Dhita diam sesaat sebelum menjawab, "Itu mungkin ... sepupuku. Di rumah ini hanya ada kami berdua."

Pernyataan gamblang itu membuat Pram agak bingung, tetapi dia menahan diri untuk langsung bertanya. Tentu saja dia lebih baik mengutarakan pertanyaan itu kepada dirinya sendiri

Mereka berdua saja di rumah ini?

"Pram, seandainya kamu tidak berpikir aku akan bunuh diri, apa kamu akan mengajakku minum kopi?" Sorot mata Dhita nampak serius saat menanyakan hal tersebut.

Pria itu lantas menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "Ehm ..., mungkin aku tidak akan memberanikan diri mengajakmu," katanya ragu.

"Terima kasih sudah mengajakku minum kopi bersamamu, Pram."

Dhita memungkasi percakapan mereka dengan kalimat tersebut sebelum akhirnya dia menutup pintu gerbang. Kata-katanya itu membuat hati Pram semakin menghangat.

Malam itu, Pram resmi insomnia karena tidak berhenti memikirkan Andhita, gadis yang baru saja dikenalnya.

***

Matahari mulai condong ke arah barat. Siluet burung-burung nampak beterbangan di tengah sang bola api tersebut. Sang pangeran merasa lelah dan lapar. Kuda putihnya juga mulai rewel. Menyadari hewan tunggangannya itu mungkin juga sama lelah seperti dirinya, akhirnya Ion turun, lalu mengelus punggung kuda itu.

"Maafkan aku. Kamu lelah juga, ya, Niveus?"

Pangeran Ion punya kebiasaan menamai benda-benda dan juga hewan tunggangannya. Niveus—kudanya—sendiri, bermakna putih salju dalam bahasa Latin.

"Ini, minumlah."

Ion menuangkan botol air minum ke telapak tangannya dan membiarkan si kuda meneguk air itu hingga habis.

Namun, perhatiannya kali ini justru terpaut pada sebuah batu berundak berwarna keabuan di antara rerumputan. Ion lantas mengikat tali kudanya di sana dan membiarkannya merumput, sementara dirinya sendiri duduk di batu. Helaan napas panjang lolos dari mulut dan hidungnya sejenak.

Aneh, pikirnya.

Sebelumnya, Ion datang dari arah timur dan dia mengejar rusa itu ke arah barat. Secara logika, semestinya jika dirinya berjalan kembali ke arah semula, tentu akan bisa keluar dari hutan ini. Namun, ternyata Ion malah kembali ke titik yang sama saat dia memanah rusa buruannya tadi.

Sang pangeran juga mencoba mematahkan dahan pohon di sekitarnya demi menandai jalur yang dilewati. Namun, hal yang sama tetap terjadi. Ion tetap tidak bisa menemukan jalan keluar dari hutan ini.

Matanya melirik kantung kain cokelat yang disampirkan di kuda. Kantung itu berisi rusa yang telah mati. Ion mendengkus merutuki diri. Pantas saja kudanya lelah karena ia membawa beban yang cukup berat. Akhirnya, dia berdiri dan menurunkan kantung besar itu dari punggung Niveus dan meletakkannya di tanah. Tangannya mengusap kepala si kuda putih tersebut.

"Nah, terasa lebih baik sekarang? Maaf, ya, aku membebanimu," ucapnya lembut.

Kuda itu meringkik pelan seolah membalasnya.

Saat Ion akan duduk kembali di tempat tadi, dia menyadari ada yang janggal dengan batu yang tersusun rapi itu. Matanya menyusuri susunan batu yang sebagian sudah mulai ditumbuhi rerumputan tersebut. Bebatuan itu ditanam berbaris membentuk persegi panjang dan di ujungnya sebuah batu berbentuk kotak berdiri, seperti prasasti. Dia mendekat dan membaca tulisan Latin yang dipahat di permukaannya.

Sihir telah menyesatkannya.

Siapa pun yang berani berurusan dengan ilmu sihir, akan bernasib sama dengannya.

Sebuah lambang naga berkepala serigala tergambar di bawah tulisan itu. Lambang Kerajaan Dacia. Ion kembali membaca tulisan itu dalam benaknya sembari menyentuhkan jemarinya ke pahatan huruf Latin.

"PANGERAN ION!!!"

Akhirnya, suara manusia terdengar di telinga setelah sekian lama Ion berputar-putar di dalam hutan sendirian. Saat menoleh, dilihatnya Diernaios datang dengan kudanya. Wajahnya berkeringat seperti habis berlari, penuh dengan kecemasan. Dia menghampiri sang pangeran dan tangkas menarik tangan pemuda tersebut.

"Astaga! Saya mencari Pangeran ke mana-mana! Ayo, kita harus cepat pergi dari sini! Hutan ini bukan hutan biasa! Ini sebuah kesalahan! Semestinya, saya tidak membawa Anda ke sini!"

"Aku tadi berusaha keluar, Diernaios, tapi aku tidak juga menemukan jalan keluar dari sini. Tiga kali aku berputar-putar dan kembali ke tempat yang sama," balas Ion.

Ajudan tersebut menatap sang pangeran tajam. "Saya juga tadi tersesat, padahal kuda saya berlari persis di belakang kuda Pangeran. Namun, tiba-tiba saja saya kehilangan jejak. Sudah banyak warga yang hilang di hutan ini. Mereka masuk ke hutan dan tidak pernah keluar lagi. Dan lagi, di sini banyak serigala. Ayo, kita kembali ke istana! Mumpung hari belum gelap!"

"TUNGGU!" Ion menahan tarikan paksa dari ajudannya itu. "Ada yang menarik perhatianku. Apa kamu pernah lihat batu ini sebelumnya?"

Dia mengajak Diernaios mendekati batu yang dimaksud. Setelah membaca tulisan yang terpahat di permukaannya, seketika wajah ajudannya itu pucat.

"Kenapa? Ada apa, Diernaios? Kamu tahu batu apa ini? Apa maksud tulisan di atasnya?" Ion mencecar Diernaios dengan berbagai pertanyaan.

Pria itu diam saja sambil membuang muka.

"Kalau kamu tidak mau cerita, kamu bisa pulang sendiri ke istana. Bawalah rusa buruanku bersamamu. Aku akan menyelidikinya sendiri. Mungkin di tengah hutan aku akan menemukan—"

Mendadak, Diernaios beralih posisi berdiri persis di hadapan sang pangeran. Dengan gerakan cepat, pedang Kerajaan Dacia dikeluarkan dari sarungnya yang tersemat di pinggang dan dipukulkan di atas batu tersebut.

"Sudah cukup petualanganmu, Pangeran! Saya diamanatkan oleh Raja untuk menjagamu! Kalau tetap nekat ingin masuk ke hutan lebih jauh, silakan kalahkan saya dulu! Duel pedang dengan saya! Kalau menang, silakan lanjutkan petualanganmu di hutan ini."

Pangeran Ion terkejut. Ia tidak menyangka Diernaios akan bertindak sejauh ini hanya untuk mencegahnya masuk ke tengah hutan. Ilmu pedang pria tersebut sebenarnya lumayan, tetapi Ion tentunya tidak akan mampu mengalahkannya. Ajudan setianya itu memiliki kemampuan fisik terbaik dibanding para ajudan lain di Kerajaan Dacia. Setiap kali ada kompetisi para pengawal dan ajudan kerajaan, Diernaios seringkali menang. Berkuda, berburu, duel pedang, semuanya itu dipelajari Ion dari Diernaios. Bagaimana mungkin dia bisa mengalahkan gurunya sendiri? Itu sangat mustahil!

(Lumina oleh Pramudya Sakka)

***

____________________________

Bagian ini adalah yang terakhir di webnovel. Untuk membaca versi lengkapnya, silakan order novel 'Night Shift' melalui inbox.

Terima kasih & salam.

____________________________