Chapter 4 - Bagian 3 (Pertemuan)

Bermula dari kisah yang tiada sempurna

Di awali luka yang bangkitkan iba

Bukan simpati semata, kurasa

Di detik temu kumenyadarinya

Dalam ombakmu, kutergulung di dalamnya

***

Pram melihat Ricky muncul dari gudang dengan gagang sapu dan serokan. "Ki, biar aku aja yang sapu!"

Ricky terlihat ragu sembari menatap karyawan baru itu. "Enggak apa-apa nih?"

"Iya, santai aja. Jam segini, kan, biasanya udah mulai sepi."

Ricky lantas menyerahkan alat bersih-bersih dengan suka cita. Sekian detik kemudian, Pram menyapu lantai dan mengarahkan sampahnya keluar pintu. Dia juga membenahi beberapa kursi di teras dan membersihkan bagian bawah meja. Setelah kotoran dan debu dikumpulkan di serokan, pria itu melangkah menuruni beberapa anak tangga ke tempat parkir dan membuang semuanya ke tempat sampah berwarna hijau.

Pram berjalan menaiki anak tangga ke teras, lalu membuka pintu toko.

CRING!

Tanpa pertanda, mendadak hujan deras turun dari langit seketika.

"Hah? Hujan?"

"Wow! Hujan turun persis setelah kamu selesai bersih-bersih, Pram!" sahut Ricky sambil menghampiri teman barunya di toko tersebut.

Pram tersenyum menimpali. "Ya. Untung sudah selesai."

"Sini biar kutaruh sapunya di belakang."

Pram memberikan alat-alat yang dipegangnya itu pada Ricky sebelum akhirnya berjalan ke meja kasir, duduk, dan menatap hujan dan teringat sesuatu.

Waktu itu juga hujan. Rintiknya mirip seperti ini. Turun mendadak deras.

***

Pram seolah masih bisa mendengar gema suara Diana saat itu. Ketimbang sedih, wanita itu lebih terdengar seperti marah.

"Aku lelah, Pram! Semuanya selalu soal kamu! Tulisanmu, novelmu, survey-mu, deadline-mu, editormu!"

"Kamu tidak benar-benar peduli padaku, 'kan, Pram? Aku bahkan tidak yakin kamu cinta padaku!"

Setelah misuh-misuh seperti itu, Diana melangkah menjauh. Keduanya berpisah di trotoar dekat pelataran parkir. Pram bahkan tidak sekali pun memanggil wanita itu agar kembali. Dia masih berdiri di titik yang sama saat perempuan tersebut meninggalkannya, lalu hujan deras turun seketika.

Diana benar tentang satu hal.

Pram memang tidak pernah benar-benar cinta padanya dan pria itu mengakuinya dalam benak.

***

CRING!

"Selamat da ...."

Dahi Pram mendadak muncul kerutan usai menatap pelanggannya kali ini.

Uh ..., si Anak Genit datang lagi.

Gadis itu sekarang mengenakan kaus ketat berwarna putih dan celana pendek hitam. Dia meringis, menunjukkan deretan giginya ke arah Pram.

"Halo, Mas Pram. Aku datang lagi," sapanya penuh binar.

Sementara itu, Pram hanya tersenyum sinis. Sekian detik setelahnya, gadis itu berjalan ke rak obat. Dia tampak sedikit ragu. Beberapa menit sebelum akhirnya ia memilih satu benda.

Pram terpaku dalam geming melihat benda yang dibawa pelanggannya itu ke atas meja kasir.

KONDOM?

Gadis itu heran melihat barang yang dipilihnya belum juga diproses oleh kasir baru tersebut. "Hei, Mas Pram! Kenapa? Belum pernah lihat kondom, ya? Ayo, cepat! Aku buru-buru!"

Bagaimana ini?

Pram terdiam sambil berusaha mengingat peraturan toko tentang pelarangan penjualan beberapa barang kepada pembeli.

Tidak. Tidak ada. Kalau rokok dan minuman keras, untuk pelanggan berusia di bawah tujuh belas tahun memang dilarang, tetapi kondom dan lagi ... anak ini kemungkinan sudah tujuh belas tahun.

Ini tidak ada hubungannya denganku, 'kan? Tugasku hanya memasukkan data ke komputer dan terima uangnya. Selesai!

Situasi yang dilematis ini membuat keringat mengalir di dahi pria tersebut. Setelah lama diam, akhirnya dia menjawab, "Aku tidak akan menjualnya padamu."

Gadis itu sontak terlihat kesal. "Kenapa?! Aku punya uang! Aku akan bayar!" ketusnya.

"Aku tidak menjual kondom pada anak ingusan seperti kamu."

"Hah? Memangnya Mas Pram tahu dari mana kalau aku beli kondom untukku sendiri atau orang lain?"

Pram tersenyum seolah meledek lawan bicaranya itu. "Oh, ya? Lalu, kalau bukan untukmu sendiri, kamu mau beli untuk siapa?" selisiknya.

"Bapakku yang memintaku membelikan ini," sangkal gadis tersebut.

"Oh, benarkah? Kalau begitu, bilang pada bapakmu, kalau dia harus membelinya sendiri ke sini. Aku akan sabar menunggunya datang."

Wajah gadis itu langsung memerah. Manik matanya tidak kuasa menatap pria di depannya, bahkan selama beberapa detik pun.

Sementara itu, Ricky muncul dari pintu gudang. "Ada apa, Pram?"

"Bocah ini ..., dia ...."

Pram lantas menatap pelanggannya tersebut. Wajah gadis itu terlihat semakin merah padam karena kemungkinan besar Pram akan menceritakan hal itu pada staf lain di toko.

Tangan Pram sontak menutupi kondom di atas meja. Tanpa komando, dirinya tersenyum pada Ricky sambil menggeleng. "Tidak ada apa-apa, Ki. Kami cari barang, ternyata tidak ada stoknya," katanya.

Tiba-tiba gadis tadi membuka pintu. Dia keluar dan berjalan cepat menjauh dari toko tanpa permisi. Namun, usai Pram memasukkan kondom di tangannya ke laci meja kasir, ia berlari keluar mengejar pelanggannya tersebut.

"Hei! Tunggu!"

Gadis itu berhenti berjalan. Dia masih memunggungi pria yang detik ini menghampirinya.

"Maaf ..., tapi aku tidak bisa menjual benda itu padamu," ucap Pram usai jarak mereka dirasa hanya tinggal satu meter.

Gadis itu masih bergeming.

"Siapa namamu?" tanya Pram setengah melirih.

"Via."

"Via, aku tidak bermaksud menceramahimu. Kamu masih sangat muda. Mungkin beberapa tahun dari sekarang, kamu baru akan menyadarinya kalau kamu sebenarnya tidak memahami banyak hal yang dilakukan saat ini. Kamu bisa jadi keliru mengartikan nafsu sesaat dengan cinta. Kamu sebenarnya pantas untuk dimuliakan oleh orang yang benar-benar mencintaimu. Waktu tidak bisa ditarik mundur kalau kamu terlambat menyadarinya."

Via perlahan berbalik. Matanya lurus memandang Pram dengan mulut yang kembali terkunci rapat. Dia tidak pernah mendengar ucapan yang dilontarkan orang lain seperti apa yang didengarnya barusan dari pria tersebut. Sekian detik kemudian, ia tersenyum.

"Terima kasih sudah menyembunyikan kondom itu tadi."

Gadis itu kembali memunggungi Pram dan melambaikan tangan tanpa menatap pria tersebut sebelum akhirnya berlalu dari sana.

Pram berdecak. Perasaannya seolah teraduk menjadi satu. Setelahnya, dia hanya bisa tersenyum seorang diri.

"Dasar bocah."

***

Pram kembali ke toko usai melepas kepergian Via. Bel di atas pintu menimbulkan bunyi berisik kala pria itu membukanya.

"Ada apa, Pram?" tanya Ricky tiba-tiba.

"Ah, tidak ada apa-apa. Anak itu ketinggalan barang," jawab Pram sekenanya.

"Oh ..., aku ke belakang dulu kalau begitu."

Pram mengangguk. Selama beberapa menit dirinya memastikan rekan kerjanya itu benar-benar lenyap dari pandangannya, lalu ia segera membuka laci meja kasir, mengambil kondom yang tadi hampir dibeli Via, dan segera meletakkannya kembali di rak obat.

Seharusnya aku merekam kata-kataku sendiri tadi. Aku bukan orang suci, pikirnya.

Pram melihat bungkus kondom itu sejenak. Ingatannya melambung kembali ke masa lalu di mana barang tersebut sama persis dengan yang dibawa Diana.

***

"Pram, tebak kejutan apa yang kubawa untukmu hari ini?" Wanita itu menatap Pram yang masih menjadi kekasihnya dengan pandangan binar.

"Apa?"

Tangan Diana—pacar Pram—lantas merogoh tas mungilnya sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan sesuatu dari sana. "Taraaaa ...!"

Dahi Pram sontak mengerut seolah paham dengan maksud Diana membawa barang tersebut. "Kondom? Diana, aku ...."

Diana lantas mencengkeram lengan pacarnya itu. "Pram, minggu lalu pas hari jadi kita, kamu nolak. Ayolah, Sayang ..., kita bukan anak kecil lagi. Kita sama-sama sudah dewasa," rajuknya.

"Aku juga sudah pernah bilang berapa kali, kita memang sebaiknya ketemuan di luar saja daripada di sini. Bagaimana kalau kita ke luar saja hari ini? Hm? Kamu mau ke mana? Boling? Nonton? Ah, ya. Hampir lupa. Aku mau kirim email dulu ke Mas Jaka. Sebentar, ya, sepuluh menit." Pria itu berusaha mengelak sambil sesekali menyingkirkan cekalan Diana.

Nahas, Diana yang memang sudah terlanjut dimabuk oleh nafsu kemudian melakukan sesuatu yang menarik paksa perhatian pria tersebut. Mereka bermesraan, saling melumatkan bibir selama beberapa menit, dan nyaris saja Pram kehilangan kesadarannya.

Nyaris.

Sebelum akhirnya Pram menarik lepas Diana dari kuasanya.

"Diana, aku tidak bisa seperti ini terus," lirih pria itu.

Sang kekasih mendadak mengernyit. "Apa maksudmu? Ini hal yang normal, Pram."

Pram duduk tegak dan menatap Diana amat serius. "Kalau kamu mau, aku bisa menemui orang tuamu dan kita rencanakan pernikahan kita."

Netra Diana terbelalak. Setelah beberapa saat tertangkup dalam hening, dia tertawa. "Ha-Ha-Ha!! Nikah, Pram? Kamu serius? Yang benar saja, Pram. Kita masih muda. Kenapa harus terburu-buru menikah?"

Pria berambut hitam itu tampak kesal dengan reaksi Diana yang seolah menyepelekan keseriusannya.

"Benarkah kita terlalu muda? Aku punya beberapa teman yang sudah lebih dulu menikah. Bukankah kamu sendiri yang bilang kita sudah dewasa?"

Diana masih terkekeh membalas. "Pram, Pram ..., kamu lucu sekali. Lantas, kamu pikir karierku sebagai marketing executive mau diapakan?"

Pram sontak berdiri dan memakai kausnya yang tadi sempat dilepas. Dia berlalu masuk ke kamar. Tidak lama kemudian, terdengar suara kucuran air shower dari kamar mandi. Ketika keluar dari ruangan pribadinya itu, ia sudah mengenakan kaus berbeda dan terlihat lebih segar dengan rambut yang masih setengah basah.

"Kamu mau ke mana?" tanya Diana dengan dahi berkerut.

"Mau jemaah ke masjid. Kamu mau ikut?" Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dilontarkan, tetapi Pram tetap merasa perlu melayangkannya pada sang kekasih.

"Enggak ah. Aku mau di sini saja."

***

Telapak tangan mendarat dengan kasar di dahi Pram. Ia berdecak kasar setelahnya.

Kenapa seharian ini sudah dua kali aku mengingat Diana? Ini pasti efek ketemu mantan di mall. Huh!

Sepuluh menit kemudian, dia menguap dan baru ingat kalau dirinya membawa buku kumpulan puisi di dalam tas. Pram langsung membuka tas, mengeluarkan buku berwarna hitam, dan mulai membacanya.

Rinai hujan menirai temu

Saat perihnya hati kasat di matamu

Dingin malam mematikan rasaku

Tatapmu cairkan beku

Kala jiwa lelah berlari, kau tawarkan jeda 'tuk berhenti

Pelepas dahaga ini, buatku enggan pergi

Lagi ...

Tuangkan ...

Asaku mati ...

Mati asaku ...

(Serpih, Kumpulan Puisi)

CRING!

Pram tersentak dan refleks berdiri. "Selamat da ...."

Pria itu tidak bisa melanjutkan salam. Sosok yang memasuki pintu sekarang adalah seorang perempuan yang mata kirinya lebam. Perempuan cantik itu berambut panjang agak bergelombang. Beberapa helai rambutnya di-highlight berwarna cokelat. Bibirnya mungil merona alami. Bentuk alisnya lengkung. Dia terlihat berusaha menutupi matanya yang lebam dengan poni sampingnya, tetapi Pram sudah terlanjur melihatnya. Tubuh semampai perempuan tersebut dibalut sweter abu-abu dan celana jin selutut.

Satu hal yang paling menarik perhatian Pram adalah perempuan ini memiliki kulit yang sangat putih. Seputih susu, membuat dia tampak seperti seorang aktris film Eropa di abad pertengahan. Rambut gelombangnya yang halus semakin menguatkan kesan seorang tuan putri kerajaan pada dirinya.

Namun, lebam di mata perempuan itu sungguh mengganggu, terlalu menyakitkan untuk dilihat oleh setiap orang yang tidak sengaja menatapnya. Bagaimana bisa ada orang yang tega menorehkan luka di wajahnya?

Pelanggan yang cantik itu kini berjalan ke mesin pendingin. Dia tidak sadar bahwa salam Pram tadi terpotong. Sesampainya di depan mesin pendingin, ia tampak sedikit kebingungan.

Pram berjalan ke luar dari meja kasir dan menghampiri perempuan itu. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Ah ..., emm ...." Setiap gerakan perempuan tersebut menggambarkan kegelisahan. Pram berpikir mungkin dia merasa tidak nyaman jika ada orang melihat bekas lebam di matanya.

"Ada es batu di sini?" tanyanya kemudian.

"Es batu di pendingin yang sebelah sana." Pram menunjuk ke tempat tidak jauh dari mereka berdiri.

Perempuan itu lantas menunduk. "Terima kasih."

Tidak lama setelahnya, es batu sudah mendarat di meja kasir. Pram kembali menatap mata perempuan itu selama beberapa detik sampai membuatnya salah tingkah karena pria tersebut belum juga memberitahukan harga es batunya.

"Berapa?" tanyanya ragu.

"Silakan dibawa saja esnya."

"Ha?"

"Ya. Esnya untuk Mbak saja. Untuk kompres, 'kan? Semoga cepat sembuh," ucap Pram tanpa sedikit pun membuang muka dari perempuan di depannya.

Perempuan cantik itu nampak ragu, tetapi sekian detik kemudian, ia kembali menunduk. "Terima kasih."

Pelanggan tersebut keluar toko sampai Pram menatap hingga sosoknya tidak terlihat lagi.

Pria itu kembali tertegun. Luka lebam tadi bisa saja karena jatuh atau terbentur. Namun, dia menebak, itu adalah bekas pukulan dan sejujurnya ia berharap tebakannya salah.

Perempuan itu baru pertama kali ia lihat, mungkin orang baru yang pindah ke daerah ini. Dua sampai tiga hari kemudian, setiap pintu berbunyi karena dibuka, Pram berharap perempuan itu yang masuk. Namun, dia tidak kunjung muncul juga.

Pram merasa aneh. Tidak mungkin, kan, dia merindukan seseorang yang baru sekali ditemuinya?

***