Chapter 6 - Bagian 5 (Luka Demi Luka)

Pangeran Ion berdiri di balkon kamarnya—satu dari ratusan kamar di sebuah istana yang sangat megah. Istana kokoh tersebut berdinding batu sewarna pasir, menjulang dengan atap beragam bentuk berwarna merah. Pemuda tampan tadi melayangkan pandangan ke seluruh penjuru negeri dari ketinggian 1.800 meter, puncak Gunung Harghita, satu di antara barisan Pegunungan Carpathian. Hijau rerumputan yang melapisi perbukitan nampak segar saat butiran embunnya disapa sinar pagi.

Dacia, sebuah kerajaan luas dengan kekayaan melimpah. Besi, tembaga, perak, platinum, emas, anggur, berbagai buah-buahan, domba, dan hewan ternak lainnya. Segala perlambang kejayaan zaman yang ada di bawah kekuasaan ayahnya, Raja Andrei, kelak semuanya akan menjadi milik sang pangeran.

Mentari mulai nampak di ufuk timur. Cahaya hangat itu menerangi dinding bebatuan istana, menghangatkan tubuh Pangeran Ion yang dibalut dengan baju lengan panjang bergaris abu maroon dengan kemeja putih dan kerah tegak menutupi sebagian lehernya. Celana panjang hitamnya berpadu dengan sepatu bot kulit hitam. Syal bulu serigala berwarna abu dan sebuah mahkota dari emas melengkapi tampilan mewahnya.

Perpaduan alisnya yang lebat dan mata birunya yang tajam seolah menggambarkan karakternya yang dingin. Hidungnya yang mancung, kulitnya yang putih cerah, dan rambut pirangnya yang panjangnya sedada, menyempurnakan deretan alasan mengapa kaum hawa banyak yang terpikat padanya. Kabar ketampanannya tersebar, bahkan hingga ke negeri seberang.

Matanya memejam selama beberapa detik sambil memikirkan sesuatu. Semestinya, dengan semua yang dimilikinya, dia merasa lengkap. Namun, itu tidak terjadi dan sang pangeran tidak tahu alasannya.

***

Hangat mentari menelusup kulitku

Namun, tak jua sampai ke jiwaku

Tapak kaki menjejak titik tertinggi dari tanah

Namun, aku merasa rendah

Mata memandang jauh

Berharap 'kan hadirnya celah

Yang hentikan semua gundah

Mengisi kosongnya relung hati

Yang kini bagai cangkang mati

(Lumina oleh Pramudya Sakka)

***

Pram sedang mengendarai motor Honda CBR-nya. Sekitar seratus meter lagi dia akan tiba di S-Mart. Mendadak ban belakangnya lebih berat. Dia menepikan motor di seberang sebuah pos jaga kecil yang nampak usang seperti lama tidak digunakan. Helmnya disampirkan di kaca spion sebelum ia turun dari motornya. Setelah memastikan bannya tidak bocor, Pram kembali menaiki kendaraan bermotornya tersebut.

Namun, dia melihat sesosok lelaki duduk di tepi pos. Motor Kawasaki hitam miliknya diparkir di samping pos. Sementara itu, di belakang pos ada sebuah rumah dengan pintu gerbang terbuka. Dalam hitungan detik, Pram menganalisa bahwa lelaki itu mungkin tinggal di sana dan baru saja mengeluarkan motornya, lalu entah kenapa memutuskan untuk duduk dulu di pos usang tersebut.

Suasana sangat sepi. Tidak ada seorang pun melintas dan lampu di pos tersebut. Namun, dari seberang, Pram masih bisa melihat lelaki itu memakai jaket hitam dan celana jin dan seperti sedang menghirup sesuatu ke hidungnya menggunakan lintingan dari kertas.

Hm? Apa yang dia lakukan?

Setelah selesai menghirup, pria itu sadar Pram mengamatinya. Dia menegur setengah berteriak, "Ngapain lihat-lihat?!"

Pria itu berdiri dan berjalan dua langkah mendekat ke jalan utama. Bot hitamnya sudah menapak di luar bayangan atap pos dan kini Pram bisa melihat wajahnya dengan jelas. Rambutnya bermodel jabrik pendek dicat pirang. Matanya agak kemerahan.

Narkoba? Bukan urusanku.

Pram tidak menjawab. Dia lantas menaiki motor dan mengenakan helm. Setelah menyalakan mesin, pria itu melanjutkan perjalanan.

***

Bel di atas pintu toko berbunyi dan seperti biasa Pram berdiri serta mengucap salam.

"Selamat datang."

Masuklah seorang anak lelaki yang biasa datang bersama neneknya. Namun, hari ini dia datang sendiri.

Pram bertanya padanya. "Nenekmu ke mana, Dek?"

Anak itu berjalan ke arah rak snack. "Nenek sakit," jawabnya dengan santai.

"Sakit? Sakit apa?"

Anak itu terlihat tidak acuh dan menjawab Pram sambil memilih cokelat dan permen. "Sakit nenek-nenek. Masuk angin."

Tidak lama kemudian, dia membawa dua permen dan satu cokelat ke meja kasir.

"Semuanya dua puluh tujuh ribu rupiah."

Bocah tersebut lantas merogoh uang di kantung celananya dan memberikannya pada Pram sejenak. Sebelum dia bersiap pergi, Pram berusaha mencegahnya.

"Tunggu sebentar, ya."

Anak itu mengernyit melihat si kasir tersebut berjalan ke rak obat. Pram kembali ke meja kasir dengan membawa empat saset obat masuk angin sirup, lalu memasukkan data obat itu ke komputer.

"Yang ini dari Mas, ya. Tolong berikan pada nenekmu." Pram memasukkan obat sirup saset itu ke kantung plastik digabung bersama cokelat dan permen.

"Makasih, Mas."

"O, iya, Dek, namamu Dio?" tanya Pram sambil menatap lurus bocah laki-laki itu.

Dio terlihat mengangguk.

"Kamu dulu waktu kecil pernah digendong nenekmu?"

"Iya. Dulu waktu aku kecil, Nenek sering menggendongku."

"Sekarang sudah tidak pernah lagi, 'kan?"

"Ya, kan, Nenek sudah tua," timpal Dio setengah ragu.

"Betul. Nenekmu sudah tidak kuat menggendong kamu lagi, tapi kamu sayang, kan, sama nenekmu? Apa kamu ingin membalas kebaikan nenekmu, Dio?"

Anak itu sempat terdiam dan mengerlingkan bola matanya ke arah atas. "Kurasa begitu. Aku sayang kok sama Nenek walaupun Nenek cerewet."

Pram tersenyum geli melihat reaksi polos bocah tersebut. "Dio, apa kamu kuat menggendong nenekmu?"

"Mana bisa? Biar Nenek kurus, aku, kan, masih kecil, Mas!" sangkal Dio dengan mulut sedikit mengerucut.

"Betul. Kamu memang enggak akan kuat gendong nenekmu, tapi kalau menggandeng tangan Nenek, kamu bisa?"

Anak itu mengangguk dengan yakin. "Kalau cuma gandeng tangan Nenek, aku bisa!"

"Nah, mulai sekarang, bagaimana kalau setiap kamu pergi ke luar rumah bersama Nenek, kamu menggandeng tangan nenekmu? Nenek, kan, sudah tua, matanya juga mulai rabun. Kalau kamu tidak menggandeng tangannya, nenekmu bisa menabrak barang atau jatuh terpeleset. Kamu tidak mau, 'kan?"

Anak bernama Dio itu menggelengkan kepala sejenak. "Iya, Mas. Nanti, lain kali kalau aku jalan sama Nenek, kugandeng tangannya."

Senyum Pram merekah sekejap. Jemarinya menjentik sebentar. "Nah. Gitu dong!"

"Aku pulang dulu ya, Mas. Makasih, ya, titipannya buat Nenek."

Dio melambaikan tangan dan Pram membalasnya. Setelah anak itu keluar dari toko, tangan pria tersebut terdiam kaku. Telapak tangannya masih terbuka di samping wajahnya.

Apa yang sedang kulakukan? Aku tidak biasanya mencampuri urusan orang lain.

Pram menyadarinya. Dia berubah.

***

Suara langkah kaki terdengar pelan dari belakangnya. Pangeran termuda itu menoleh ke arah seseorang di dekatnya. Seorang ajudannya yang usianya terpaut lebih tua sepuluh tahun dengannya sedang membungkuk hormat padanya.

"Kamu sudah datang, Diernaios?"

Dilihat olehnya, ajudannya itu nampak rapi dengan pakaian putih, celana panjang cokelat, dan syal berwarna pasir yang melingkari kerah dan memanjang hingga punggungnya. Sebuah lambang kerajaan Dacia yang terbuat dari perak berbentuk naga berkepala serigala tersemat mungil di dada.

"Iya, Pangeran."

"Maaf memanggilmu sepagi ini. Apa kamu sudah sarapan?"

Pertanyaan itu membuat Diernaios tersenyum. Di balik penampakan luar Pangeran Ion yang terkesan dingin, tidak banyak orang tahu bahwa dia sebenarnya berhati lembut, sangat pengertian dengan bawahannya dan rakyat kecil. Sang ajudan sudah menyaksikan sendiri Pangeran Ion turun gunung menuju pemukiman penduduk di lembah demi mengecek kehidupan mereka secara langsung, bahkan tidak segan berbincang dengan masyarakat. Tidak ada seorang pun di istana yang mengetahui hal itu. Pangeran Ion hanya mengajak dirinya saat mengerjakan hal-hal yang tidak lazim dikerjakan oleh seorang calon penerus raja.

"Saya sudah sarapan, Pangeran. Apa ada yang perlu saya siapkan untuk latihan berburu hari ini?"

Pangeran Ion melipat tangannya sambil bersandar di tiang balkon dan menghela napas. "Sebenarnya, Diernaios, aku sedang jenuh. Bagaimana kalau hari ini rute berburu kita pindah ke hutan sisi Barat? Kita belum pernah ke sana sebelumnya."

Ajudan setianya itu nampak heran. Bola mata berwarna cokelat miliknya memicing tajam bagai elang. "Tapi, hutan itu cukup jauh jaraknya, Pangeran. Untuk mencapainya, kita harus turun gunung dan melewati padang rumput. Lagi pula, kita tidak seharusnya ke sana. Hutan itu—"

"Ya ..., ya, aku sudah hapal. 'Jangan mendekati Hutan Hoia Baciu! Hutan itu angker dan banyak serigalanya!' Pfff ...," sela sang pangeran seraya menirukan mimik wajah ayahnya.

"Tolonglah, Diernaios. Kamu mulai terdengar seperti Baginda Raja," ujar Ion kemudian sambil mengerlingkan mata. Sebutan 'Baginda Raja' diucapkannya dengan penekanan tertentu seolah mengejek. Sementara itu, sang ajudan menatapnya datar, memahami betapa kakunya hubungan antara ayah dan anak tersebut.

Pria berambut pendek itu kembali menyunggingkan senyum. Pangeran Ion memang adalah yang termuda di antara pangeran lain dan masih berusia sembilan belas tahun, jadi jiwa kekanakannya terkadang muncul dan hanya Diernaios sebagai orang terdekat yang berkesempatan melihat sifat itu. Pangeran Ion bahkan tidak menunjukkannya di depan raja. Ada semacam persaingan di antara para pangeran. Untuk menjadi penerus takhta Kerajaan Dacia, mereka merasa harus saling berebut perhatian dari raja dengan berbagai pencapaian, seperti memenangkan kompetisi memanah, berburu, berkuda, dan sebagainya. Semuanya demi memperebutkan perhatian raja. Mereka berambisi kelak terpilih menjadi penerus raja. Semuanya, kecuali Pangeran Ion.

Sang pangeran ingat sekali kalau Diernaios pernah menanyakan suatu hal.

"Pangeran, kenapa tidak ikut kompetisi? Kalau Pangeran mau, saya bisa melatih Pangeran agar bisa menang. Bukankah bagus kalau Pangeran bisa mempersembahkan piala kemenangan untuk Raja? Kalau kelak Pangeran yang terpilih untuk meneruskan takhta, saya yakin Pangeran akan jadi seorang raja yang baik."

Jawaban Pangeran Ion saat itu membuat sang ajudan terkejut. "Aku tidak yakin ingin menjadi penerus takhta kerajaan Dacia."

Diernaios lantas menghela napas usai mengingat ucapan pangeran tersebut. "Ah, baiklah, tetapi di tepi hutannya saja, ya. Kita tidak boleh masuk ke tengah hutan. Raja akan marah kalau tahu saya menemani Pangeran ke sana."

Dengan gerakan mengejutkan, Pangeran Ion merangkul pundak Diernaios, seolah mereka sahabat akrab. "Nah, gitu dong, Diernaios!"

(Lumina oleh Pramudya Sakka)

***

Pram merasa puisi-puisi yang dibacanya ikut memengaruhi emosinya. Dia selalu kagum dengan para penyair walaupun penulis dan penyair memiliki kelebihan masing-masing. Tentunya, ia masih berpikir, seorang penyair kemungkinan besar bisa menulis cerita, tetapi seorang penulis belum tentu bisa menggubah sebuah puisi. Pendapatnya bisa salah, tetapi setidaknya itu yang dipikirkannya.

Seperti biasa, memasuki jam-jam tenang, Pram baru bisa membuka buku kumpulan puisi yang selalu dibawanya di tas.

Yang rangkulmu

Bukan yang kau mau

Yang jadi inginmu

Bukan yang kau perlu

Dia yang kau butuh

Tak mampu kau raih

Semua capaimu

Lebur bersama asaku

(Serpih, Kumpulan Puisi)

Tiba-tiba saja, pintu toko terbuka. Pram segera menutup bukunya itu dan memberi salam pada pelanggan.

"Selamat da ...." Ucapannya terputus.

Perempuan itu datang lagi. Ia yang selalu ditunggu kehadirannya oleh Pram. Dia yang kulitnya seputih susu dan belum juga diketahui namanya. Pertemuan kali ini, membuat hati Pram sakit, bahkan lebih dari pertemuan pertama mereka. Sebab kali ini, dia punya bekas lebam baru di dekat bibir dan juga di mata. Kali ini Pram yakin, luka-luka itu pasti bekas pukulan.

***