Chereads / Night Shift (SUDAH TERBIT CETAK. Penerbit : CV Benito Group) / Chapter 7 - Bagian 6 (Bersamamu dan Secangkir Kopi)

Chapter 7 - Bagian 6 (Bersamamu dan Secangkir Kopi)

Dirinya seolah tidak melihat Pram. Ia berusaha menunduk, mungkin berharap tidak ada yang melihat luka-luka memar di wajahnya. Namun, dengan luka seperti itu, tentu akan sulit menyembunyikannya. Sementara itu, Pram masih berdiri dalam diam menatap perempuan yang sekarang sedang berada di rak perlengkapan rumah tangga itu.

Setelah agak lama memilih, akhirnya perempuan tersebut berjalan ke arah kasir. Matanya agak bengkak seperti habis menangis lama. Dia meletakkan barang-barang itu di meja kasir. Tiga botol racun serangga. Pram seperti tidak yakin dengan barang yang dipilihnya. Namun, perempuan itu menunduk, menghindari kontak mata.

Apakah ini suatu hal yang biasa membeli obat racun serangga menjelang tengah malam dan lagi ..., tiga botol?

Mungkinkah sedang ada serangan lipas di rumahnya? Atau, mendadak ada banyak nyamuk serentak muncul?

Pram belum juga memproses pesanan sampai akhirnya perempuan itu bertanya.

"Berapa?"

"Ah ..., iya. Maaf." Pram mulai memasukkan data ke komputer. Namun, pikirannya masih berkecamuk. "Semuanya enam puluh ribu rupiah."

Perempuan cantik itu sibuk merogoh dompet di kantung celana. Pram sendiri masih berusaha menebak-nebak.

Benarkah ini untuk serangga atau ..., mungkinkah dia ingin bunuh diri? Apa aku berpikir terlalu jauh?

Bagaimana kalau dia benar mau bunuh diri? Aku tahu ini bukan urusanku, tetapi ....

Pelanggan yang spesial bagi Pram itu akhirnya membayar dengan uang pas.

Kalau aku membiarkannya pergi dan ternyata dia benar bunuh diri, aku tidak akan bisa melihatnya lagi ….

Perempuan itu bersiap pergi. Tangannya menyentuh gagang pintu dan mendorongnya sampai bel di atas pintu berbunyi.

CRING!

"TUNGGU!"

Perempuan itu menahan pintu yang sudah setengah terbuka. Untuk pertama kalinya, dia memandang Pram sampai membuat hati pria itu terasa teriris. Ada keputusasaan yang nyata dalam sorot mata perempuan tersebut.

"Ah ..., eh ..., aku ... em ... apa kamu sedang terburu-buru? Maksudku, aku ingin mengajakmu minum kopi di teras. Eh ..., maksudku, aku yang akan traktir. Ah ..., maaf. Bukan karena aku kurang ajar atau apa, tapi aku lihat di jarimu tidak ada cincin kawin, jadi aku ...."

Pram menutup wajahnya dengan tangan. Entah ekspresi macam apa yang dia tunjukkan saat ini. Lagi pula, mengajak seorang perempuan yang bahkan dia tidak tahu namanya untuk minum kopi bersama dengan alasan perempuan itu tidak memakai cincin kawin di jarinya, itu agak ... aneh. Pria itu merutuki dirinya sendiri. Sekalipun ia bukan penulis yang spesialisasinya di genre roman, tetapi bagaimana bisa dia merangkai kalimat aneh macam itu?

Rasanya, ia ingin menghilang ditelan Bumi.

Reaksi apa yang akan ditunjukkan perempuan itu? Mungkinkah pelanggannya itu akan menuntut dirinya karena pelecehan?

Di luar dugaan, si perempuan mengangguk pelan pertanda setuju.

***

Pangeran Ion melaju kudanya di antara deretan batang-batang pepohonan tinggi. Derap langkah kuda putihnya itu menerbangkan daun-daun kering yang berguguran. Dia bersama Diernaios kini sedang menapaki tanah menurun dari puncak gunung karena istana Kerajaan Dacia terletak di puncak gunung dan dikelilingi oleh hutan. Untuk mencapai hutan sisi barat, terlebih dahulu mereka harus keluar dari hutan itu menuju daerah padang rumput yang luas.

Sinar mentari yang mulai meninggi, menyapu pepohonan, menjatuhkan bayang-bayang dari celah dedaunan, dan menyentuh kulit wajah Pangeran Ion.

"HYAH! HYAH!"

Demikian kencang laju kudanya hingga membuat Diernaios yang berkuda di belakangnya mulai khawatir.

"PANGERAN! PELANKAN KUDAMU! JANGAN TERLALU KENCANG!"

Mendengar teriakan ajudannya dari belakang, malah membuat sang pangeran terpancing ingin melakukan hal yang menantang. Perlahan, ia berdiri di atas pedal dengan bertumpu pada satu tangan di atas otot punggung kudanya. Setelah merasa cukup stabil, ia membentangkan kedua tangannya ke samping.

"LIHAT, DIERNAIOS! AKU BISA BERDIRI DI ATAS KUDA YANG BERLARI KENCANG! HA-HA! INI SERU SEKALI! YI ... HA ...!"

"HEI! ITU BERBAHAYA, PANGERAN!"

Peringatan Diaernaios tidak digubris. Pangeran muda itu malah tertawa membalasnya.

Ck. Bocah itu ....

***

Kuartikan kebebasan kala kuda kupacu

Derap dan terbang menyatu

Angin musim gugur menghias hutan

Dengan kuas cokelat dedaunan

Iringi bahagiaku

Kuartikan kebebasan saat mahkota kutanggalkan

Istana yang menjulang ... kutinggalkan

***

Cahaya terang terlihat jelas di ujung barisan pepohonan. Pangeran Ion merasa senang kali ini. Dia membetulkan posisi duduk dan memacu kudanya lebih cepat.

"HYAH!"

Pemuda itu semakin dekat menuju cahaya. Kudanya berlari di antara dua batang pohon tinggi, sesaat sinar matahari seolah mengepung hingga membuat matanya silau.

Sekejap kemudian, pemandangan yang luar biasa indah terbentang di hadapan Ion. Hamparan padang rumput yang sangat luas. Hijau sejauh mata memandang. Dirinya terpana hingga tidak lagi memacu kudanya. Kuda putih yang gagah itu pun lama-kelamaan berhenti berderap. Suara tapak kuda di belakangnya terdengar mendekat. Diernaios kini bersisian dengan sang pangeran.

"Aku tidak pernah melihat padang rumput seluas ini," ujar Ion.

"Padang rumput ini memang lebih luas dibanding sisi Timur."

Pangeran Ion menyapu pandangannya ke segala arah. Tampak di kejauhan sebuah pemukiman warga. Seorang pria desa terlihat sedang menggembala puluhan dombanya. Ada juga asap putih keluar dari jendela rumah-rumah warga yang dindingnya terbuat dari batu, pertanda istri atau putri mereka sedang sibuk memasak.

Diernaios mengamati tatapan hangat Pangeran Ion saat memperhatikan kehidupan orang desa. Dia menunjuk sebuah ladang tanaman. "Yang itu sebenarnya adalah kebun bunga bella donna dan chamomile. Namun, karena sekarang sudah musim gugur, bunganya tidak muncul," katanya.

Pangeran Ion mengangguk. Bella donna adalah tumbuhan yang bukan hanya berbunga, tetapi juga berbuah. Buahnya bulat dan berwarna hitam. Tetesan ekstrak buahnya biasa digunakan untuk tetes mata para bangsawan wanita. Sedikit saja tetesannya menyentuh pupil mata wanita, konon bisa menimbulkan efek seduktif—menggoda—bagi para pria yang menatapnya. Selain itu juga, buah bella donna bisa digunakan untuk obat pengurang rasa sakit. Namun, dalam jumlah besar, bella donna bisa menjadi racun yang mematikan.

Sementara itu, bunga chamomile biasa digunakan untuk teh dan obat sakit perut. Kelopak bunganya berwarna putih dengan putik kuning cerah. Di musim semi bunganya bermekaran. Sangat cantik.

"Di sebelah mana hutan itu?"

Jari telunjuk sang ajudan mengarah ke barat. "Ke arah sana. Mungkin tengah hari kita bisa sampai di tepi Hutan Hoia Baciu."

Mendadak air muka Pangeran berubah nakal. Dia menarik tali kekang kudanya.

"HYAH!"

Kuda putih itu meringkik dan berlari ke arah barat.

"HEI, TUNGGU, PANGERAN!"

"YANG DULUAN SAMPAI, MENANG! HA-HA!"

Diernaios berusaha menyusul sang pangeran dari belakang dengan menyimpan geram. Sementara itu, rambut pirang Pangeran Ion yang lembut berkibaran ditiup angin. Dia tampak begitu bersemangat hingga membuat ajudannya menghela napas.

Kapan dia akan berhenti bersikap kekanakan seperti itu?

(Lumina oleh Pramudya Sakka)

***

Pram bicara dengan Ricky di gudang, sekadar memberitahu kalau dia akan minum kopi sebentar di teras. Tidak enak kalau rekannya itu tiba-tiba menemukan dia sedang duduk-duduk santai dengan seorang perempuan cantik. Staf senior toko itu melirik ke arah teras, mendapati seorang perempuan yang duduk di sana menunggu Pram.

"Wah, hebat sekali kamu Pram! Semoga sukses! Semangat!" ujarnya sambil menepuk lengan Pram berkali-kali.

"Kamu salah paham," balas Pram menangkap maksud Ricky yang menggodanya.

Pria itu tertawa sebentar. "Ya, sudah cepat sana keluar. Bawa kopinya. Dia sudah menunggumu. Santai saja. Jam segini, kan, pengunjung sepi."

"Thanks, Ki."

"No problem, Bro!" Ricky menepuk pundak Pram sebelum akhirnya kembali ke gudang.

Beberapa detik setelahnya, Pram menyeduh dua gelas kopi dan membawanya ke teras. Perempuan berambut gelombang itu tersenyum ke arahnya. Sepasang gelas putih berisi kopi Aceh itu diletakkan di meja dan Pram duduk dengan hati-hati di seberangnya. Kecanggungan di antara mereka terasa kental. Sebagai laki-laki yang mengajaknya ngopi bersama, Pram merasa sebaiknya dirinyalah yang memulai percakapan.

"Boleh aku tahu namamu?"

Lebam di sudut salah satu mata perempuan itu tidak dapat menyembunyikan binar indah di antara iris netranya. Ia menatap Pram dengan campuran ragu dan malu, membuat hati pria mana pun akan berdesir karenanya. Kepulan asap hangat dari kopi perlahan bersenyawa dengan dinginnya malam, menyempitkan ruang di antara dia dan lelaki di seberangnya.

"Andhita," jawabnya.

Setelah sekian lama, akhirnya Pram tahu namanya. Pram menyebut nama perempuan itu dengan sangat lembut, seolah nama tersebut adalah sesuatu yang paling penting dalam dunianya hingga kini.

"Andhita ...."

"Kamu bisa memanggilku ... Dhita,��� tambah perempuan itu dibalut senyum.

"Dhita, kamu tidak perlu memaksakan diri tersenyum. Luka di bibirmu masih sakit, 'kan?"

Perempuan itu refleks menutupi memar di ujung bibirnya, sementara Pram tersenyum seolah simpatinya adalah hal yang wajar dilakukan oleh siapa pun.

"Silakan diminum kopinya," ajaknya kemudian.

Mereka menyesap cangkir kopi masing-masing. Hangatnya kopi dan kenyataan bahwa Pram sedang duduk bersama perempuan yang selalu ditunggunya sudah lebih dari cukup bagi dirinya untuk menghilangkan dinginnya malam. Pria itu berusaha memikirkan pembicaraan ringan dan tidak ingin mengungkit penyebab luka di wajah Dhita. Setidaknya, tidak untuk saat ini.

"Jadi ..., Dhita, apa kamu baru pindah ke daerah ini?" tanyanya ragu.

"Ya. Aku baru pindah di rumah kontrakan dekat sini."

"Dengan keluargamu?"

Perempuan bersurai gelombang itu terlihat ragu, tetapi dia kemudian mengangguk.

"Apa kamu selalu keluar rumah semalam ini?"

"Ya. Aku baru bisa keluar rumah malam hari."

Pria tersebut menunggu penjelasan, tetapi Dhita tidak menuturkan sebab kenapa dia baru bisa keluar rumah malam hari. Pram mulai berpikir mungkin perempuan itu punya penyakit yang membuatnya tidak bisa terkena sinar matahari. Logikanya berusaha membuang jauh-jauh dugaan bahwa perempuan itu adalah seorang vampir.

Gadis cantik itu kembali menyesap kopinya dengan gerakan yang anggun, lalu untuk pertama kalinya, ia berinisiatif bertanya.

"Kamu ... anak kuliahan?"

"Bukan. Aku sebenarnya ..., penulis novel," jawab Pram sedikit ragu. Sebenarnya, dia ragu dengan respons Dhita.

"Penulis novel? Benarkah? Apa judul novel yang kamu tulis?"

Pram tersentak dan langsung merasa senang melihat sorot mata perempuan di hadapannya berubah lebih ceria.

"Emm ..., ada beberapa, di antaranya ada 'Kekasih Angin', lalu—"

Dhita tangkas menutup bibirnya. "Kamu ... Pram yang itu? Aku punya novel itu!"—Dia menyatukan jemari tangannya—"Oh, maaf! Aku senang sekali bisa bertemu langsung dengan penulis novel 'Kekasih Angin'."

Reaksi ini sungguh di luar dugaan Pram. Gadis di hadapannya tidak henti menceritakan potongan-potongan adegan di novel "Kekasih Angin" yang membuatnya terkesan. Perlahan, bibirnya menyunggingkan senyum. Ia menopang wajah dengan tangan di meja dan memperhatikan ekspresi wajah perempuan di hadapannya yang mimiknya berubah-ubah dengan mata berbinar senang itu. Seolah di momen ini, Dhita melupakan masalah yang sedang menimpanya hingga menimbulkan bekas luka di wajah cantiknya itu.

Sepasang mata Pram mengamatinya dengan lembut. Telinganya mendengarkan celoteh perempuan berkulit seputih susu yang selama ini mengusik alam pikirannya, menghangatkan hatinya yang selama ini membeku.

***