Chapter 5 - Bagian 4 (Menanti Hadirmu)

Malam itu pengunjung cukup ramai. Ada beberapa motor terparkir di luar toko. Pram baru saja menyelesaikan sebuah transaksi ketika dia melihat sebuah motor yang baru saja diparkir di luar sana. Dari sudut mata, Pram menyadari kehadiran pengemudinya adalah seorang yang familier.

Waduh! Dia datang lagi!

Setelah Pram bertemu dengan banci itu untuk pertama kalinya hingga sekarang, dia memang sudah datang beberapa kali ke S-Mart. Menurut penuturan Ricky, banci tersebut memang datang lebih sering dari biasanya.

"Sejak ada kamu di sini, Pram, rasa-rasanya pengunjung jadi lebih ramai, terutama kaum hawa dan juga kaum setengah hawa." Begitu komentar Ricky sebelum akhirnya dia tertawa terbahak-bahak.

Kata Ricky, nama banci itu Mirna. Nama aslinya Sumarno.

Mirna membuka helm dan menyangkutkannya di kaca spion. Menyadari Pram melihatnya dari dalam, tangannya lantas melambai dengan gemulai, sementara Pram tersenyum kaku membalas.

Mendadak terdengar suara gesekan besi dan seketika wanita jadi-jadian itu langsung menoleh. Ternyata, ada motor dari arah belakang Mirna yang tidak sengaja menyerempet penutup roda belakang kendaraan bermotornya.

"Aduh ...! Hati-hati dong, Mas! Ini motor masih kredit tahu enggak sih?!" sergahnya.

Lelaki yang mengemudikan motor di belakangnya itu mematikan mesin dan turun dari kendaraannya. Tubuhnya pendek kekar. Melihat kaus lengan buntung dan celana ketatnya, kemungkinan dia baru pulang dari tempat gym. Pria itu melepas helm dan mengamati penutup ban belakang motor milik Mirna.

"Ya, elah ..., cuma begitu aja. Itu mah dipoles dikit juga mulus lagi."

"Eh ...! Dasar Belatung! Bukannya minta maaf malah nyolot!" cerocos Mirna tanpa jeda.

Pram bimbang, apakah sebaiknya dia ikut campur dalam permasalahan tersebut.

Ah ... itu bukan urusanku, bukan?

Lelaki itu tampak tidak terima dirinya disebut Belatung oleh Mirna. Dia sontak berkacak pinggang dan memelototi pria setengah wanita itu.

Mau tidak mau, Pram akhirnya berdiri dan membuka pintu toko. Ia berlari ke tengah kedua orang tersebut dan menghadap ke arah si pria.

"Sabar, Mas ..., sabar."

"Ini loh, Mas! Banci ini ngatain saya Belatung!"

Mirna berusaha membela dirinya. "Dia nih, Mas Pram! Motornya nyerempet penutup ban akika! Siapa coba yang terima? Ini, kan, ibarat pantat akika ditabrak dari belakang. Helo ... emangnya kalo pantat si Belatung ini ditabrak, dia enggak bakal kesel apa?!"

"Tuh, Mas! Dia ngatain saya Belatung lagi! Dasar Ubur-Ubur!" balas pria itu tidak mau mengalah.

Kondisi memanas dan keduanya nyaris adu jotos.

Pram berusaha menengahi mereka dengan merentangkan kedua lengannya. "Sudah ..., sudah! Mas juga harus sabar, enggak baik kasar sama perempuan."

"Perempuan? Ini mah banci, Mas! Bukan perempuan!"

Pram lantas terdiam dan berpikir sejenak. "Iya, sih. Eh ..., maksud saya, terlepas dari perempuan atau laki-laki, alangkah baiknya kalau kita bisa saling mengalah. Mengalah bukan berarti kalah. Justru orang yang bersedia mengalah adalah orang yang lebih baik. Jadi, Mas sebagai pihak yang duluan menyerempet, akan lebih baik kalau berbesar hati meminta maaf. Mbak Mirna kalau berkenan, memberi maaf itu lebih baik. Urusan perbaikan, kalau Mbak enggak terbebani, saya lihat kerusakan tidak parah, tapi kalau misalnya kesulitan untuk biayanya, mungkin bisa rembukan sama masnya."

Mirna terlihat kesal, tetapi dia kemudian terdiam sembari meredam emosinya. "Tuh ..., kalau Mas Pram yang bicara, adem ..., deh. Tenteram hati akika," ujarnya.

Lelaki kekar itu lantas menghela napas panjang. "Saya minta maaf karena tadi buru-buru. Terus gimana soal perbaikannya? Apa saya perlu bantu?"

"Iya, saya maafin. Enggak perlu dibantu, saya bisa sendiri."

Tangan Mirna lalu mengelus pundak Pram. "Makasih, ya, Mas Pram. Berkat Mas Pram, jadi selamat deh akika. Soalnya, besok ada jadwal syuting sinetron. Gimana coba kalau wajah akika yang jelita ini sampai bonyok?! Ai ... bisa-bisa batal syuting! Ih ..., jadi makin gemes deh sama Mas Pram. Love you full, Mas Pram ...!"

Seketika, Pram merinding sekujur tubuh usai mendengar ucapan perempuan jadi-jadian itu.

***

Setelah kejadian dengan motor Mirna tersebut, satu jam kemudian pengunjung toko mulai sepi. Perlahan, Pram membuka kembali buku kumpulan puisinya yang sejenak ia simpan.

Gelisah menggelitik kalbu

Kala jarak menghalau temu

Menerbit harap 'kan tibamu

Tepis rasa tak teraih

Kuredam dalam lirih

Kerlip bintang kala itu, tak mampu terangi arti rindu

(Serpih, Kumpulan Puisi)

CRING!

Pram sontak menutup bukunya dan berdiri. "Selamat da ...."

Sepasang matanya langsung membulat sempurna tatkala melihat sosok yang telah lama ditunggunya.

Perempuan itu berdiri di sana. Wanita yang sudah lama dinanti kehadirannya oleh Pram. Kulitnya masih seputih pertama kali pria itu melihatnya. Pram juga merasa lega menyadari lebam di matanya sudah tidak nampak. Pria tersebut melengkapi salamnya yang sempat terputus sepersekian detik kemudian.

"Selamat datang."

Pelanggan istimewanya itu mengangguk sopan dan berjalan ke rak snack.

Pram sesekali mencuri pandang. Rambut perempuan itu masih dibiarkan terurai bergelombang seperti saat pertama kali mereka bertemu. Dia mengenakan blus hitam dengan lengan sepanjang siku dan celana jin tanggung. Dengan kemampuan imajinasinya, Pram membayangkan seandainya perempuan itu dipakaikan gaun panjang yang ujungnya menjuntai hingga menyapu lantai dengan pita dan renda khas pakaian bangsawan kerajaan abad pertengahan, pasti terlihat pantas. Mata Pram seolah tidak mau lepas dari perempuan itu. Dadanya berdesir. Tidak pernah sebelumnya dia memandangi perempuan mana pun dengan cara seperti ini, bahkan tidak juga dengan mantan-mantan pacarnya dulu.

Beberapa saat kemudian, dua potato chips dan sebungkus kacang atom diletakkan di meja kasir.

Pram tangkas memasukkan data, lalu berkata, "Semuanya dua puluh tiga ribu rupiah."

Perempuan itu menyodorkan selembar uang dua puluh ribu dan sepuluh ribu rupiah ke atas meja.

"Kembaliannya ambil aja, Mas. Minggu lalu, kan, saya dikasih es batu," ujarnya kemudian.

Pram tersentak. "Hah? Yang minggu lalu tidak perlu dihitung, Mbak," timpalnya setengah menahan tawa.

Lawan bicara Pram itu tersenyum dan menggeleng. "Enggak. Ambil saja kembaliannya buat Mas."

"Baiklah. Terima kasih."

"Sama-sama."

Beberapa saat kemudian, perempuan itu berlalu dari hadapan Pram. Dia membuka pintu dan seketika membuat lonceng berbunyi.

CRING!

Geming menguasai Pram sejenak. Ia merasakan desakan dalam hati untuk setidaknya mengatakan sesuatu pada wanita tersebut. Di bawah alam sadarnya, Pram berusaha membuat isyarat, tanda bahwa perempuan itu berbeda. Dia tidak sama dengan pelanggan lainnya.

"Silakan datang lagi," lirih Pram, padahal ia tahu kalau perempuan tersebut telah keluar dari toko.

Sepersekian detik kemudian, Pram tersentak. Tangannya sontak menampar pipinya sendiri.

Silakan datang lagi?

Hah?

Apa aku kelihatan terlalu berharap?

***

Puluhan tahun sebelum dimulainya abad Masehi di Romania, tersebutlah seorang pangeran termuda kerajaan bernama Ion, keturunan ke-5 dari Raja Andrei dan Ratu Elena. Keluarganya merupakan salah satu penguasa ternama di wilayah tersebut dengan daerah kekuasaan yang sangat luas.

Dimanjakan dengan segala bentuk kemewahan di istana dan terlahir dengan paras yang paling tampan di antara saudara-saudaranya, tidak membuat Ion menjadi pribadi yang sombong. Ketika dirinya mencapai usia sembilan belas tahun, Raja Andrei berencana menikahkan putranya itu dengan salah seorang putri dari kerajaan seberang.

Sang raja mengundang putri-putri kerajaan dan para wanita bangsawan ke sebuah pesta dansa yang mewah di istana. Putri Aurel, putri kerajaan terhormat yang di mata sang raja merupakan sosok pasangan paling sempurna untuk bersanding dengan Pangeran Ion. Mereka bertunangan tanpa ada yang tahu bahwa sang pangeran tidak sepenuhnya yakin ingin meneruskan kehidupannya sebagai seorang penerus takhta kerajaan.

Hati Pangeran Ion gusar. Menyadari bahwa semua harta gemilau kerajaan yang kelak akan jatuh ke tangannya sebagai putra mahkota, tidak membuatnya merasa bahagia.

Pangeran Ion akhirnya menyadari bahwa Putri Aurel hanya mampu memandangnya sebagai pemuda dengan bentuk fisik yang indah. Perempuan itu tidak mampu melihat dirinya sebagai seorang manusia yang utuh, melainkan sebagai simbol kekuasaan semata.

Pangeran Ion memiliki semuanya. Namun, hanya hampa yang dirasa.

Tidak sanggup menahan kekosongan dalam jiwa, dia memutuskan pergi, menjauh dari semua kemilau harta dan takhta serta dari segala riuh puji dan puja.

Dia ingin menyepi. Sendiri.

Derap tapak kaki kuda perlahan hilang ditelan gelap malam.

Menembus belantara ....

(Lumina oleh Pramudya Sakka)

***

Jaka baru saja selesai membaca delapan halaman sinopsis yang dikirim Pram kemarin siang. Raut wajahnya terlihat lebih rileks. Dia tersenyum puas sembari menatap pria yang duduk di seberangnya.

"Nah! Ini jauh lebih baik, Pram!" pujinya dengan sorot mata membinar.

Pram akhirnya bisa bernapas lega. Tidak sia-sia hasil begadangnya kemarin malam. Dia tidak tidur setelah pulang dari S-Mart. Ide-ide beterbangan di kepalanya dan dirinya merasa harus menulis malam itu juga.

"Roman dengan setting sebuah kerajaan di Romania sebelum Masehi. Aku suka ceritanya, tidak pasaran dan tokoh-tokohnya menarik. Kamu bisa melakukan banyak pengembangan karakter di sini," ujar pria itu antusias.

"Yah, tentu, aku juga menyukainya." Pram menanggapi dengan senyuman. Lingkaran hitam hampir nampak jelas di matanya.

Jaka lantas kembali menatap lembaran kertas yang ia pegang. "Apa kamu bisa mulai membuat prolog? Supaya kita bisa melihat nuansa ceritanya seperti apa, lalu kamu bisa mulai membuat kerangka chapter-nya."

"Oke."

"Aku paling suka karakter Lumina. Perempuan buta yang sanggup menjinakkan hewan buas di hutan."

Si penulis itu menjentikkan jemari sejenak. "Ah ..., ya. Aku juga suka. Aku membayangkan cast-nya akan cocok dengan seseorang," katanya.

"Temanmu?"

"Emm ..., aku ingin jadi temannya. Aku berharap bisa jadi temannya nanti," balas Pram ragu.

Jaka melirik pria itu sampai kedua matanya menyipit tajam. "Jangan bilang ... pelanggan toko?" desisnya.

Pram hanya menjawab dengan senyuman.

"Ah! Kubilang juga apa, Pram! Yang kamu perlukan adalah interaksi dengan manusia!"

Si penulis itu tertawa karena sebelumnya sudah menebak Jaka akan bilang seperti itu.

"Lalu, bagaimana di toko? Kamu mulai menyukai pekerjaanmu di sana?"

"Yah ..., kurasa bisa dibilang begitu. Di hari-hari awal, aku selalu melihat jam dinding dan tidak sabar ingin segera pulang, tapi belakangan aku menyadari tidak pernah lagi melakukan hal itu."

Seorang staf OB tampak menghampiri mereka dan meletakkan dua cangkir teh hangat di meja.

Jaka lantas menundukkan kepalanya sejenak. "Makasih, Mas Karyo."

"Ayo, diminum, Pram. Baguslah kalau kamu menyukai pekerjaanmu di toko. Lalu, bagaimana dengan perempuan itu? Ayolah, ceritakan padaku," lanjut editor tersebut usai sang OB berlalu dari mejanya.

Jaka menyesap teh hangat itu perlahan. Asapnya masih mengepul lembut di udara hingga meninggalkan aroma yang menenangkan. Pram juga ikut menikmati hidangan teh di hadapannya itu. Dia lalu menceritakan pertemuannya dengan perempuan yang ditanyakan pria berkacamata itu. Setelah Pram usai bercerita, dahi sang editor berkerut.

"Lalu, bagaimana, Pram? Apa dia memang korban kekerasan oleh seseorang?" tanya Jaka masih terlihat antusias.

"Aku tidak tahu. Aku tidak berani bertanya. Maksudku, aku bahkan tidak tahu namanya."

"Apa dia punya cincin kawin di jarinya?"

"Tidak."

Mendengar jawaban penuh keyakinan meluncur dari bibir Pram, muncul senyum nakal di wajah Jaka. "Oh ..., jadi kamu memperhatikannya, ya?"

Pram sejenak tampak menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. "Tentu saja aku memperhatikannya! Dia ...." Kalimatnya terputus. Pram mengulang kembali kata-katanya lebih pelan tanpa menambah kata lain. "Tentu saja aku memperhatikannya."

Jaka terlihat tertarik dengan kelakuan penulisnya itu. Pram baru bekerja sebulan di toko tersebut, tetapi sang editor sepertinya bisa melihat perubahannya dengan jelas.

"Kalau begitu, ajak saja dia minum kopi bersamamu."

Netra Pram membulat sempurna. "Bagaimana aku bisa melakukan itu? Aku takut. Bagaimana kalau dia akan menganggapku pelayan toko yang genit atau semacamnya? Aku tidak mau dia melihatku seperti itu!"

"Pram ..., jangan-jangan kamu ...."

"Jangan-jangan ... apa?"

Deretan gigi rapi dan putih milik sang editor tampak jelas setelah dirinya tersenyum lebar. "Ah, tidak apa-apa. Jangan lupa prolog dan kerangka chapter-nya, ya."

Pram menghela napas panjang lalu mengangguk.

"Jangan lupa, kalau ada update tentang perempuan misterius itu, kasih tahu aku," tambah Jaka diakhiri dengan kedipan mata.

***