Chapter 2 - Bagian 1 (Awal)

Tiap musabab yang mengantarkanku pada perjumpaan denganmu adalah awal dari sebuah perjalanan dalam memahami definisi bahagia

Segala tawa, rindu, bahkan air mata ..., hanyalah cara agar cinta berbahasa

Demi terangkum dalam rangkaian kisah bersamamu, aku rela tenggelam di dalamnya

***

Jaka bergumam di balik print out lima sinopsis novel yang diserahkan oleh Pram. Kacamata tebalnya menyembul dari balik lembar kertas. Alisnya berkerut dan sesekali jemarinya menyentuh dagunya yang sedikit berewokan. Satu sinopsis sekitar 3-5 lembar dan total semuanya 21 lembar.

"Aku sudah baca semuanya semalam."

Jaka menunjukkan sinopsis pertama. "Yang ini ... ceritanya jelek. Sama sekali tidak membuatku penasaran ingin membaca detailnya."

Ia kemudian membalik beberapa lembar kertas. "Yang kedua, karakternya kurang menarik. Aku tidak menemukan hal yang spesial dari tokohnya."

Dia membalik beberapa lembar lagi. "Yang ketiga, plot ceritanya terlalu dibuat-buat. Sepertinya ada yang rusak dengan logika berceritamu, Pram."

Kata-kata yang dipilih editor tersebut beragam hingga sinopsis terakhir, tetapi maknanya serupa dan setiap kata yang ia ucapkan terasa perih di hati penulisnya.

Jaka tidak pernah berkata sesingkat itu pada penulis baru karena penjelasan dari ceritanya jelek sama sekali tidak menjelaskan apa pun. Ini hanya karena Pram dan dirinya sudah bekerja sama lebih dari tiga tahun.

Sebenarnya, sebelum Pram mengirim sinopsis itu lewat surel kemarin sore, dia sudah menebak Jaka tidak akan menyukai apa yang ditulisnya. Namun, itu adalah yang terbaik yang bisa dia kirimkan sejak kemarin.

Pria berkacamata itu menghela napas. Lembaran kertas yang dipegangnya ditumpuk dan diletakkannya di meja.

"Pram, tidak bisakah kamu menulis sesuatu seperti novel 'Kekasih Angin'-mu itu?"

Dari semua novel yang dibuat Pram, "Kekasih Angin" adalah salah satu yang berhasil menjadi best seller kala itu.

Pram mengerutkan dahinya. Pria berambut semi gondrong yang paras tampannya sebelas-dua belas dengan aktor Jepang Naohoto Fujiki itu tersenyum kuda. "Aku harus jawab apa, ya? Apa jawaban 'tidak semudah itu' bisa diterima?"

Jaka menggeleng. Dia mengetuk jari telunjuknya ke meja. "Hmm ..., ini tidak bagus, tidak bagus. Sudah dua minggu dan kita belum dapat ide yang fresh dan cukup menjual."

Pria di depan sang editor itu nampak murung. Dia sudah bergelut lama dengan pikirannya walaupun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Tidak mudah untuk menghasilkan 21 halaman sinopsis itu.

"Pram, boleh aku bertanya tentang novel 'Kekasih Angin'?"

Pram hanya mengiyakan dengan mengangkat sebelah alisnya.

"Bagaimana caramu bisa membuat 'Kekasih Angin'? Apa kamu mengangkat kisah seseorang? Teman mungkin?" tanya Jaka.

"Ya, novel itu memang terinspirasi dari kisah nyata temanku, tapi aku kembangkan ceritanya."

Pram sontak kaget karena melihat editornya itu tiba-tiba menjentikkan jarinya.

"Pram, coba ke sini sebentar." Jaka menggerakkan jari telunjuknya, meminta Pram mendekat. Si penulis menurut pada editornya, lantas mencondongkan tubuh ke depan.

Jaka berbisik, "Selama hidupmu, apa kamu pernah jatuh cinta?"

Sekejap saja, Pram memundurkan badannya. "Mas! Aku ini sudah pernah pacaran beberapa kali selama hidupku!"

Si editor menggeleng. "Bukan. Bukan itu yang aku tanya. Aku tahu wajahmu lumayan ganteng, tidak seperti aku yang pas-pasan. Tinggimu semampai dengan postur tubuh proporsional. Lihat! Semua cewek di luar sana pasti tergila-gila denganmu. Namun, apa kamu pernah benar-benar jatuh cinta?"

Wajah Pram begitu terlihat serius sekarang. "Entahlah. Memang ada bedanya? Sama saja, 'kan?"

"Pram, kamu sedang bosan, 'kan? Makanya kamu tidak bisa memikirkan satu ide pun yang bagus?" Jaka menjawab pertanyaan itu dengan muka datar.

Pram menghempaskan punggungnya kembali ke sandaran kursi. "Mungkin iya, tapi aku baru kembali dari liburan ke Bali bulan lalu. Aku sengaja mengambil liburan itu karena kupikir aku akan bisa melepas kepenatanku, tapi ternyata ...."

"Pram, kamu mau melakukan hal yang tidak biasa?" Jaka mengedikkan kedua alisnya dengan satu tangan tampak memegangi kacamatanya, memicing kepada rekannya itu.

Mata Pram turut memicing curiga. "Seperti apa contohnya?"

"Entahlah. Kegiatan yang bisa membuatmu berinteraksi dengan beragam orang, misalnya bekerja menjadi penjaga toko, mungkin?"

"Hah? Penjaga toko?"

"Ya. Maksudku, kamu jangan terlalu kaku. Aku perhatikan kamu tipe yang betah berhari-hari mengurung diri sendirian di rumah. Aku yakin seharian ini manusia yang berinteraksi denganmu cuma aku, ya, 'kan?"

Pram lantas mengangkat alisnya. "Itu karena aku sedang tidak ada urusan dengan yang lain."

Jaka menatap Pram seolah pria itu mengidap penyakit anti sosial akut, kemudian dia menekan layar ponselnya sejenak.

"Penjaga toko, oke? Sepertinya aku ada kenalan yang mungkin bisa—"

"Hei! Aku belum bilang setuju!" potong Pram cepat. Ia hampir saja merampas ponsel Jaka, tetapi gagal.

"Sudah, nurut aja."

Pram menghela napas kasar. Percuma menentang editor antik macam Jaka. Dia hanya bisa berharap pria yang lebih tua delapan tahun darinya ini tidak serius dengan ide penjaga tokonya itu.

Namun, harapan Pram kandas. Ternyata, pria berkacamata itu benar-benar serius.

***

"Halo, Pram! Kamu mulai kerja hari ini, 'kan? Gimana? Kamu suka suasananya?" Suara Jaka terdengar ceria dari speaker ponsel Pram.

Pram kini duduk di belakang meja kasir. Dia mengenakan seragam hijau muda-putih dengan tulisan S-Mart di dada kanannya. Rambut gondrong tipisnya terurai hingga di bawah pundak. Mood-nya hari ini jelas berbeda dengan Jaka. Pria itu menjawab setengah berbisik, tetapi dengan penuh penekanan karena kesal terhadap editornya tersebut.

"Mas! Kenapa Mas baru bilang kalau aku dapat shift malam?!"

Namun, Jaka terdengar tidak menggubris kekesalan pria terseut. "Ha-ha! Iya, maaf aku lupa bilang. Tak apalah, Pram. Kamu, kan, sehari-harinya sudah seperti kalong. Sama saja, 'kan?"

"Interaksi macam apa Mas yang terjadi di sif malam begini?"

"Eh! Jangan salah lho, Pram! Justru malam-malam itu suka ada yang aneh-aneh," canda Jaka tampak terdengar bahagia.

"Yang aneh-aneh gimana, Mas? Pocong belanja ke toko?" Pram bersungut-sungut. Memang, selama ini ia juga terbiasa menulis di malam hari, tetapi pekerjaannya kali ini justru berbanding terbalik dengan kebiasaannya itu.

Sekian detik kemudian, pria itu menghela napas panjang.

"Ya, sudahlah tak apa. Toh, Mas sudah repot mencarikan aku tempat kerja yang tak terlalu jauh dari rumah. Tadi aku naik motor cuma lima belas menitan sudah sampai. Makasih, ya, Mas," ucapnya masih menahan kekesalan.

"Santai aja, Pram. Bosmu teman kuliahku dulu, makanya kamu bisa masuk tanpa perlu interview, tapi tetap ikuti aturan mereka, ya, Pram. Ada senior di sana yang men-training kamu?" timpal Jaka dari balik telepon.

Pram lantas melirik seorang pria berusia sekitar dua puluh tahunan yang sedang mengecek barang. "Ada," jawabnya singkat.

"Oke. Selamat training kalau begitu!" Terdengar suara cekikikan Jaka yang semakin memperkeruh suasana.

Tidak lama, keduanya menyudahi pembicaraan dan Pram langsung memasukkan ponselnya ke kantung celana. Pria yang tadi dilihat Pram, kini mendekati meja kasir. Dia tersenyum pada anak baru yang ada di belakang meja tersebut.

"Pram, aku ajarin dulu cara masukin data ke komputer, ya," katanya.

Pram mengangguk dan memperhatikan penjelasan Ricky, seniornya. Setelah pria tersebut mencontohkan, ia mencoba memraktekkan ilmu barunya dan langsung berhasil.

"Cukup mudah, 'kan?" Pria itu menepuk pelan punggung Pram. "Aku ke gudang sebentar, ya."

"Iya. Thanks, Ricky."

"Panggil 'Ki' aja, Pram."

Pram bersyukur seniornya adalah orang yang ramah seperti Ricky. Sejujurnya, dia sangat alergi pada orang yang sok menekan pendatang baru di kebanyakan tempat selain toko tempatnya bekerja sekarang. Ia lantas melirik ke jam dinding bulat berwarna hitam yang tergantung di dinding belakang meja kasir.

Pukul 10.10 malam.

CRING!

Pintu depan terbuka. Pintu itu berbunyi setiap dibuka atau ditutup karena ada bel kecil tergantung di bagian atasnya. Pelanggan pertama sejak satu jam terakhir. Pram refleks berdiri dari kursinya dan tersenyum.

"Selamat datang."

Dua orang remaja putri tampak masuk ke toko. Pram menebak usia mereka di kisaran 17-18 tahun. Remaja sebelah kiri berkulit putih, dikepang panjang, dan kepangannya disampirkan ke bahu kanan. Tinggi sekitar 165 cm dan cukup jangkung untuk seorang remaja putri. Ia memakai kaus merah lengan pendek dan celana tanggung katun hitam. Remaja sebelah kanan lebih pendek, tingginya sekitar 155 cm, berkulit sawo matang, dan berambut pendek di atas bahu serta memakai baju terusan motif bunga sepanjang lutut. Dia memiliki tahi lalat di atas bibirnya.

Gadis yang di sebelah kanan terkejut melihat Pram. "Staf baru, ya?"

Pram agak canggung saat menjawab. "Eh? I-iya."

"Ooh ...." Gadis itu tersenyum membalas.

Dia dan temannya berjalan ke arah lemari pendingin dan memilih dua kaleng minuman soda. Setelah itu, mereka berjalan ke rak snack dan mengambil dua potato chips. Ricky muncul dari gudang sekian menit kemudian. Dia berdiri di depan rak perlengkapan rumah tangga dan mencatat beberapa kode barang yang akan habis stoknya. Dua gadis tadi berjalan ke arah meja kasir dan meletakkan barang belanjaan di sana. Pram mulai men-scan barcode barang satu per satu.

Gadis berambut pendek melirik papan nama di dada Pram. "Hmm ..., Mas Pram, anak kuliahan, ya?"

Pram berhenti men-scan barang. Dia menjawab dingin tanpa menatap anak itu. Matanya menatap layar komputer. "Bukan, saya sudah 35 tahun."

Gadis itu lantas mencondongkan tubuhnya ke arah Pram. "Mas Pram ..., sudah punya pacar?"

Pria yang ditanyai tersebut memelotot kaget dan melihat anak gadis yang masih tersenyum nakal di hadapannya itu.

Di sudut matanya, Pram melihat Ricky memberi isyarat tangan. Jari seniornya itu tampak menarik bibirnya ke atas. Pram mengerti, pria yang memiliki tampang tengil itu mengingatkan dirinya untuk tersenyum.

Dengan terpaksa, ia tersenyum. "Maaf, saya tidak bisa jawab pertanyaan itu."

Bibir remaja perempuan itu manyun sekitar dua senti. "Hmm .... Payah. Enggak seru!"

Pram mengabaikan komentar itu dan buru-buru menyelesaikan tugasnya. "Semuanya dua puluh enam ribu."

Sang gadis menyerahkan dua lembar uang dengan jumlah total tiga puluh ribu rupiah. Tangan Pram menerima uang itu, tetapi tiba-tiba gadis itu menempelkan telapak tangannya ke telapak tangan Pram.

"Nih, kembaliannya buat Mas Pram aja." Matanya sembari dikedipkan sebelah.

"Hah ...?" Pram spontan menarik tangannya hingga uang itu jatuh ke lantai.

"Ha-ha-ha! Maaf, ya. Uangnya jadi jatuh deh, Mas!"

Gadis itu tertawa sambil keluar pintu bersama rekannya. Temannya terlihat mencubit lengannya, tetapi kemudian ikut tertawa cekikikan. Terdengar suara pintu saat ditutup usai keduanya keluar dari toko.

Wajah Pram semakin pucat. Dia memegang tangan kanannya.

"Ha-ha-ha! Coba lihat wajahmu, Pram!" seru seseorang dari sudut ruangan.

Rupanya sedari tadi Ricky memperhatikan dirinya. Pram heran melihat seniornya itu tertawa.

Apa yang tadi itu lucu?

Apa anak SMA zaman sekarang seagresif itu?

Hidup di zaman apa aku?

Ke mana saja aku selama ini?

Pram tiba-tiba teringat kata-kata Jaka. Aku perhatikan kamu tipe yang betah berhari-hari mengurung diri sendirian di rumah.

Pria itu menghela napas. Ia membenarkan ucapan sang editor.

Oh, iya. Selama ini aku mengurung diri di rumah menulis novel-novel itu dan bekerja sebagai illustrator freelance secara online.

Tak kusangka ternyata dunia luar sudah seliar ini.

***