"Li Yan sangat menyukai warna pemerah pipi itu," kata Zhang Xiao, setelah diam seribu bahasa akhirnya dia membuka suara. Dia membuka ceritanya kepada Ning Huanxin seorang diri, dia pun merasa beruntung bahwa hanya dia lah yang menjadi pendengar atas kisah antara Zhang Xiao dan Li yan.
Tiga puluh tahun yang lalu, hanya ada satu orang lulusan universitas di desa Zhangjia dan desa Lijia. Juga lulusan dari suatu universitas terkemuka, orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Zhang Xiao.
Zhang Xiao adalah pemuda yang lumayan pintar, selain itu dia juga belajar dengan serius. Karena kepintarannya, dia menjadi seperti anak dari surga yang berasal dari sebuah desa kecil. Saat itu belum ada yang namanya desa Zhangjia dan desa Lijia, tidak jarang orang-orang sering membandingkan remaja-remaja yang ada di sana dengannya. Tapi pada dasarnya, saat itu remaja di desa itu terbilang masih sedikit.
Zhang Xiao sejak kecil sudah berbeda dengan orang-orang lainnya, tapi dia sama sekali tidak pernah menyombongkan dirinya. Sekalipun dia tidak pernah terlihat arogan maupun bersikap keras kepala. Justru kebalikannya, dia merupakan orang yang sederhana, kesehariannya membuatnya sangat mudah untuk akrab dengan orang lain. Dia memperlakukan orang lain sangat hangat dan sopan, membuat siapapun merasa nyaman untuk berteman dengannya.
Saat itu, anak-anak dari desa Zhangjia dan desa Lijia berada di satu sekolah yang sama. Zhang Xiao dan Li Yan pun juga sempat berada di satu sekolah yang sama. Karena umurnya lebih tua dari Li Yan, jadi dia duduk di bangku sekolah menengah pertama, dan Li Yan duduk di bangku sekolah dasar. Anak-anak yang bersekolah di desa itu pun terbilang tidak banyak, bahkan yang tetap melanjutkan sekolahnya juga lebih sedikit.
Li Yan juga perempuan yang sangat pintar, hanya saja karena saat itu keluarganya masih membedakan derajat antara perempuan dan laki-laki. Ditambah dengan kondisi keluarga yang juga kurang bagus, jadi setelah lulus sekolah dasar, dia memutuskan untuk berhenti sekolah.
Tapi Li Yan bukanlah seseorang yang mudah menyerah, meskipun dia telah berhenti sekolah, tapi itu sama sekali tidak mematahkan semangatnya untuk tetap belajar. Dia secara diam-diam tetap belajar, hingga suatu ketika dia tertangkap basah oleh Zhang Xiao. Zhang Xiao pun menawarkan diri untuk menjadi seorang guru untuknya.
Karena waktu itu Zhang Xiao sudah duduk di bangku sekolah menengah atas, dia hanya bisa kembali selama seminggu sekali. Setiap kali dia kembali, dia pasti diam-diam langsung pergi menemui Li Yan untuk menjelaskan pelajaran, dan memberikan materi belajar untuknya. Sampai di kemudian hari, ketika dia telah memiliki sedikit uang, dia membelikan barang-barang kecil ataupun hadiah dari kota khusus diberikan kepada sang pujaan hatinya itu. Kisah cinta yang mereka jalin di era itu sangat suci dan indah, Zhang Xiao benar-benar menghargai setiap detik dan setiap menit yang dia habiskan bersama Li Yan.
Hingga tahun dimana Li Yan berusia 16 tahun, penduduk desa memilihnya untuk menjadi Dewi bagi Dewa Sungai itu. Saat itu, dia sama sekali tidak sependapat dengan penduduk desanya. Karena, dia telah mempelajari banyak pengetahuan sains bersama Zhang Xiao, lebih-lebih dia terus tertarik dengan indahnya dunia luar.
Di mata Li Yan, apa yang dilakukan oleh penduduk di desanya untuk menyembah Dewa Sungai sangatlah tidak masuk akal, karena benar-benar tidak ada penjelasan ilmiah tentang itu. Dia percaya, kalau di dunia ini dari awal tidak ada yang namanya kekuatan supernatural. Menurutnya, orang-orang itu lebih baik berdoa kepada Buddha untuk meminta segalanya, dan mereka seharusnya lebih mengandalkan dirinya sendiri untuk melakukan apapun.
Sejak Li Yan sudah dipilih menjadi seorang dewi, banyak orang yang datang untuk melamarnya, tapi dia menolak mereka semua. Terkadang, dia tidak setuju dengan segala rayuan yang diberikan oleh orang tuanya kepada dirinya. Dan dia hanya bisa menggunakan pengorbanan ke Dewa Sungai itu sebagai alasan. Hingga masalah pelamar yang terakhir, sudah dengan natural pasti akan ditolak olehnya.
Beberapa bulan sebelum ritual Dewa Sungai itu, Zhang Xiao memutuskan untuk kembali ke rumah ketika liburan musim panas. Dia membawa sekelompok teman-teman universitasnya untuk pergi ke rumahnya. Beberapa teman sekelasnya, merupakan anak-anak kota yang belum pernah melihat desa tradisional dan indah. Dengan santainya mereka bermain-main, hingga melupakan batas-batas norma yang ada.
Saat itu, ada salah satu teman Zhang Xiao yang berkecukupan, dia membawa beberapa makanan enak dan beberapa anggur merah. Pada suatu malam, mereka telah berjanji untuk bertemu di tepi sungai, lalu diam-diam mereka melakukan pesta minum anggur merah. Mereka yang terlalu asik bermain, membuat Zhang Xiao berpikiran untuk membawa Li Yan. Dengan senang dan keadaannya yang setengah mabuk, dia membawa Li Yan untuk bergabung bersama mereka.
Tapi tidak disangka hal itu terjadi…
Lalu, kisah itu terhenti, Zhang Xiao tiba-tiba tidak bisa berkata sepatah kata pun, hatinya seolah-olah tidak sanggup untuk mengingatnya kembali. Bibirnya kaku, karena itu adalah kesalahan terbesar yang pernah dia lakukan sepanjang hidupnya. Kemudian, dia memperhatikan botol bir yang terletak di atas meja, tiba-tiba dia tertawa, namun tawanya terlihat sangat getir.
"Kakak Zhang, kamu…" kata Ning Huanxin, dia merasa kalau saat itu Zhang Xiao tidak sadar atas apa yang telah dia perbuat. Mungkin karena saat itu dia terlalu banyak minum, dan akhirnya membuat pikirannya tidak terkendali. Saat ini Ning Huanxin juga terkejut setelah mendengar penjelasannya.
Menurut Ning Huanxin, tidak ada pria lain yang melebihi cinta seorang Zhang Xiao kepada Li Yan. Sepanjang hidupnya, dia tetap dan akan selalu mencintai Li Yan, bahkan dia juga yang selalu membakar uang kertas untuk Li Yan.
Tapi, jika saat itu janin yang dikandung oleh Li Yan memang benar anak Zhang Xiao, mengapa dia harus berpura-pura tidak mengenalnya? Mengapa dia menutup matanya dan membiarkan perempuan yang paling dia cintai, jelas-jelas meninggal bersama anak yang ada di dalam perutnya! Saat itu, mengapa dia tidak menampakkan batang hidungnya? Ini sama sekali tidak masuk akal! kata Ning Huanxin dalam hati...