Masih di istana raja. Duduk manis, lalu datanglah sang raja ditemani Chamberlain istana. Satella duduk disofa satu ruangan istana dengan beberapa bingkai lukisan dan poto orang dalam sejarah kerajaan. Ada cangkir teh panas tersedia, Satella duduk manis menunggu.
Hingga sambutan datang.
"Jadi, cucunya lord Sebastian berkunjung kemari."
"Selamat datang putri bangsawan yang nantinya menjadi menantuku."
Raja bergurau, tertawa kecil.
"Eh?" Satella yang semula melamun dan menyeruput teh, menoleh kesamping.
"Yang mulia raja Abraham ke empat, saya, terimalah hormat saya." Satella terkejut, memberikan sikap hormat sebagai anggota suatu klan Noble. Memberi gerakan yang anggun, yang diajarkan sejak masih kecil.
"Tidak, sebut saja aku ayahanda. Itu pun kalau kelak kamu menikahi salah satu dari empat putraku. Maksudku tiga, yang satu tidak masuk hitungan karena dia berparas buruk. Siapapun pasti bersanding dengan terpaksa dengan, kau tahu siapa. Ya ampun, ya ampun, anakku Philips dan Romane sampai bermusuhan gara-gara saling iri dalam memperebutkan waktu dan perhatian dari putri ketiga house of Charlotte. Hahahaha."
Raja tertawa gembira. Bagaimana tidak, ditengah-tengah kesibukan yang menjenuhkan telah bertemu hal-hal yang menghiburnya. Setelah Prestasi yang menurun, keluarga adalah hal yang telah membuat raja bahagia. Mendapat putri bangsawan sebagai calon pendamping anaknya adalah prestasi tersendiri.
Tentu raja tak mau sampai anaknya dapat pasangan yang sembarangan. Tapi, putri ketiga memiliki gen elves. Yang artinya itu membuat usianya secara mental masih setara dengan usia anak-anak dari ras manusia.
Atas candaan sang raja, Satella menunduk karena malu.
"Iya, ayahanda." Satella dengan nada yang malu-malu.
Hanya menuruti raja, karena harus seperti itulah etiket sebagai seorang putri ningrat terhadap seorang raja.
"Anu-- Sebenarnya. Aku kemari itu, dengan satu alasan," ucap Satella.
"Untuk dinner dengan Philips atau Roman? Katakan pada ayahanda mertua, fuhuhu." Candaan diberikan sang raja. Ia memotong Satella yang ingin menjelaskan.
"Bu-- bukan. Aku hanya, ini urusan kerja. Ia ... aku datang untuk tugas kerja. Ja-- jadi tolong Baginda raja, maksudku ayahanda raja tolonglah. Dengarkan dulu. Mohon maaf saya harus menyanggah ini." Satella pun menundukkan kepala, merasa malu atas candaan sang raja.
"Huh, padahal kan bercanda sedikit atau bercerita sedikit juga tidak ada salahnya. Baik, ceritakan padaku, putri calon menantuku." Raja sudah mengambil kursi yang berhadapan dengan Satella. Raja dengan mimik siap mendengarkan penjelasan.
"Ini tentang peristiwa time-rift. Aku butuh pengawalan untuk menutup celah time-rift. Berikan aku seorang kesatria untuk bantu tugasku," pinta Satella.
"Jadi begitu, masalah pekerjaan. Berapa pengawal istana yang bisa membantumu, putri menantu?" Tanya sang raja, diakhiri tertawa ringan.
"Tidak, saya mohon maaf. Berikan saya kesatria nomor satu. Yang nantinya saya hadapi, sangat kuat," kata Satella.
"Jadi begitu, ya." Raja diam sejenak. Raja terlihat seperti merenung diam, berfikir.
Tidak ada seorang pun yang dapat memberi sanggahan kepada raja. Di kerajaan ini. Tidak, kecuali putri ningrat yang satu ini. Seperti anak emas dikalangan rumah tangga keluarga kerajaan.
"Kalau begitu, akan aku berikan kepadamu hak untuk memanggil guardian. Sebenarnya hanya raja seorang yang memiliki wewenang memanggil guardian. Tapi, kali ini akan aku pinjamkan guardian pada putri menantu." Sang raja terlihat sedang menulis sebuah surat.
Kertas suratnya dilipat, diberikan pada Satella dalam kondisi dilipat empat. Suratnya bisa dimasukkan kedalam saku sekarang. Kemudian sang raja memberikan suratnya kepada Satella. Satella bingung.
"Ini apa?"
"Ini surat keputusan raja untuk memberi wewenang memanggil guardian. Apabila guardian yang kamu panggil memberikan protes, kamu tunjukkan surat keputusan dariku ini. Surat yang sifatnya memaksa."
Satella bertanya karena ia bingung. Lalu dijelaskan oleh sang raja.
Lalu raja memberikan sebuah gulungan. Gulungan sihir dengan lembaran yang terbuat dari kulit hewan, diujung atas dan bawah adalah batang kayu sekecil lilin.
"Ini adalah magic scroll, berfungsi untuk memanggil guardian." Raja memberikan gulungan sihir kepada Satella.
Lantas Chamberlain istana yang semula berdiri di sudut ruangan, mendekati raja tuk membisikinya. Chamberlain membisiki beberapa saat. Cukup lama dan gestur raja seolah memahami. Raja berbicara kepada Satella.
"Mohon maaf, saya harus bepergian. Apabila sudah tidak ada yang ingin dikatakan, saya akan pergi," kata raja.
"Tidak, itu saja," jawab Satella.
"Sampai bertemu dilain waktu. Saya pergi, putri Charlotte." Kemudian raja pun pergi. Meninggalkan ruangan ditemani seorang Chamberlain istana.
Satella masih duduk beberapa saat, dirinya terdiam melamun.
**************
Las Castella.
Perspektif waktu kembali ke saat Satella kembali dari time-rift yang menghubungkan dunianya dengan planet bumi.
Alun-alun ibu kota.
"Hai Kemarilah, mari duduk dulu. Aku juga penasaran dengan mahluk asing. Kata guru astronomi, time-rift akan membuat mahluk luar angkasa datang kemari. Ternyata itu menjadi kenyataan. Aku pengen deh, gimana rasanya bergaul sama alien." Satella pun terkikik setelah memberi nada bergurau.
"Jadi, bagimu aku ini alien?" Nirvana pun memberi nada suram.
"Kubilang duduk!" Satella dengan nada menasehati seorang anak.
Nirvana mengambil duduk.
Mereka duduk disebuah kursi di taman alun-alun kota. Sebuah kursi kayu panjang, ada besi sebagai kerangkanya.
Angin berhembus sejuk, langit setengah mendung walau cahaya sampai di tanah.
Beberapa saat berlalu....
"Kenapa kamu melihat kesana terus?"
"Itu, adalah pedang batu."
"Di sini juga ada legenda pedang batu yang mirip dengan duniaku?"
"Huh?"
Nirvana menyela lamunan Satella, Satella menjelaskan pedang batu. Nirvana bilang kalau didunia nya terdapat cerita serupa. Satella jadi terkejut mendengarnya, terkejut.
"Legenda pedang raja Arthur. Siapa orang yang menarik pedang dari sebuah batu, dialah raja Britania."
Nirvana menceritakan, Satella menyimak dengan anteng.
"Di sini beda, disini disebut justice sword. Siapa yang menarik pedang dari batu, ia adalah pengadil sejati. The ruller adalah sebutan bagi yang bisa menarik pedang. pengatur adil, dinanti oleh rakyat yang ada dikerajaan. Banyak Putra dan putri bangsawan mencoba menarik. Tapi tidak satupun yang bisa. Aku pun telah gagal."
Satella menceritakan dengan santai. Kala sampai pada kesimpulan gagal mendapat pedangnya, ia sedikit kecewa.
"Aku sering ke alun-alun ibu kota. Sering datang kesini, hanya untuk memastikan pedangnya sudah diambil atau belum?"
"Lantas, kenapa kalau sudah ada orang yang ambil?"
Atas perkataan Satella, Nirvana memberi tanggapan santai.
Lalu ekspresi Satella sedikit terkejut.
"Aku mau tau." Satella dengan nada suara anak-anak yang imut, beserta mimiknya yang lucu.
"Aku jadi ikut penasaran." Nirvana berdiri, mulai melangkah menuju monumen pedang batu. Satella menarik tangannya.
"Mau apa?"
"Mau coba ambil."
"Percuma saja, tapi silahkan kalau cuma pengen tahu. Tidak dilarang."
Akhirnya Nirvana benar-benar melangkah. Berjalan ke monumen pedang batu.
Berdiri disana.
Nirvana baru memegang gagang pedangnya. Mulai menarik pedang. Pada awalnya seperti gagal ditarik, Satella mencibirnya.
"Sudah kubilang kan...."
Nirvana tak mendengar, ia terus menarik pedangnya.
Cahaya mulai muncul.
"Excalibur...." Nirvana bergurau, dia angkat pedangnya keatas kala telah ditariknya dari batu karang. Satella memandang takjub.
"The ruller." Ceracau Satella, masih takjub.
Tiba-tiba Satella mengambilnya seperti seorang ibu menagih jatah uang belanja. Menyembunyikan pedangnya didalam kantung sihir hitam miliknya.
"Apa itu? Kenapa pedangnya bisa masuk kedalam kantung kain kecil itu? Sangat mustahil sekali, diluar nalar." Nirvana pun masih heran menanggapi peristiwa yang jarang terjadi di dunianya. Kalaupun ada, hanyalah trik sulap dari dunia asal Nirvana.
"Hanya benda sihir. Jangan bilang di dunia kamu gak ada sihir?" Satella dengan tatapan yang bete. Nadanya begitu datar.
"Oh, di dunia ini pedang dan sihir itu masih eksis." Pikir Nirvana, dengan nada pelan.
Satella menarik tangan Nirvana, seolah memaksa mengikutinya.
"Hei, kenapa tarik-tarikan?" Protes Nirvana.
"Sudah, ikut saja!" Satella hanya mengucapkan sedikit kata, namun nadanya cerewet.
Satella membimbing Nirvana melangkah ketempat lain.
***************
Taman hijau kota.
"Ini namanya taman Pramuka. Kita boleh kok mendirikan tenda disini. Kalau seandainya niat kabur, aku akan kesini. Tapi bukan ini tujuanku membawamu kemari," kata Satella.
"Kamu mau berkemah?" Tanya Nirvana.
"Cuma mau bikin kemah," ujar Satella.
"Kamu bisa mendirikan kemah?" Tanya Nirvana.
"Bisa lah, aku kan penyihir," kata Satella.
"Apa hubungannya?" Nirvana bingung.
"Udahlah jangan berisik!" Omel Satella.
Nirvana bingung.
Harusnya bisa bikin kemah karena aku seorang Pramuka.
Apa hubungannya membangun kemah dengan status penyihir?
Pikir Nirvana.
Nirvana bingung. Apa maksudnya berkata demikian.
Nirvana bertanya-tanya dalam hati.
Dari dalam kantung hitam tempat ia masukan pedang, ia mengeluarkan gulungan. Sebuah gulungan sihir berukuran besar. panjang gulungan setara lengan Satella, dari ujung jari hingga sikut tangan. Diletakan saja ditanah, lalu Satella mulai merapal mantra sihirnya.
Sebuah lingkaran sihir pun muncul dititik yang sudah ia tentukan.
"Apa kamu lagi sumoned monster?" Tanya Nirvana.
"Jangan ganggu, berisik!" Omel Satella.
Alih-alih memanggil monster, yang Satella panggil adalah bangunan.
Sebuah kemah yang besar.
Sumoned building !!
Sebuah bangunan yang telah disegel kedalam gulungan sihir. Berisikan tenda mewah, itu terbuat dari kulit hewan tebal sebagai dindingnya. Itu dilapisi kain bulu domba yang tebal dan hangat. Ada lapisan kain dengan benang mana yang mengandung sihir.
Tenda dengan perlindungan sihir ringan.
"Nani?"
Nirvana terkejut. Bagi Nirvana, ini pertama kali baginya melihat tenda didirikan dengan gulungan sihir. Sumoned monster adalah sesuatu yang biasa baginya, tetapi sumoned sebuah bangunan tenda? Itulah hal yang membingungkan bagi Nirvana.
"Ayo!"
Satella menarik Nirvana, memasuki area tendanya.
Tampak dalam.
Tenda yang cukup luas, nampak furniture layaknya ruang tamu. Satu meja, jajaran sofa-sofa kayu, satu meja mini dengan vas bunga diatasnya. Di belakang ruang yang mirip ruang tamu ada tirai yang berfungsi sebagai sekat. Ketika melewati sekat tirai, terlihat ruangan mirip kamar dengan kasur seperti tempat penginapan, seluruh ruang dalam tenda beralaskan karpet tebal yang hangat. Di dalam ruang kamar, ada sekat di sebelah kanan. Nampaknya ruang yang di penuhi peralatan sihir. Ada satu lemari.
Sebuah lemari?
"Bahkan ada kasurnya, kamu niat sekali." Nirvana mengedutkan alisnya.
"Bukan itu, ya!" Satella mengomel.
Satella membuka sebuah lemari.
"Ini namanya lemari pemindah."
Satella menarik Nirvana agar mendekat ke lemari pemindah.
"Lemari lainya hanya ada diruang kebutuhan. Ada banyak, aku minta saja beberapa untukku sendiri. Eris memperbolehkan." Ceracau Satella, mereka masuk kedalam lemari nya. Lemari tertutup, dibuka kembali berpindah ketempat lain.
Ketika lemari dibuka oleh Satella untuk kali kedua, mereka berada ditempat lain. Ini adalah sebuah ruangan yang mirip ruang VIP vila bangsawan. Ini sangat luas, segala furniture sangat mewah. Sepasang pintu kayu besar, tingginya tiga meter.
Mungkin....
Satu meja kayu dikelilingi oleh dua sofa panjang dan beberapa sofa singel. Banyak lemari kaca. Lemari pemindah berjumlah belasan disini. Gelaran karpet panjang berwarna biru, panjang dari tempat kumpul paling tengah sampai ke pintunya.
"Ayo, aku tidak punya waktu lagi." Satella menarik lengan Nirvana.
"Sudah lama tidak berkunjung." Sambut seorang wanita muda.
Adalah satu-satunya orang yang ada disini Sebelum Nirvana dan Satella. Gadis yang memakai gaun bercorak campuran biru dan putih. Rambutnya hitam terurai ditutup oleh selembar kain aksesoris kepala.
"Maaf dewi Eris. Aku harus cepat-cepat. maafkan aku, aku berjanji berkunjung loh nantinya."
Satella langsung pamitan, berjalan menuju ke pintu keluar.
"Tumben sekali dewi Eris tidak menyamarkan rambutnya dengan warna silver, pakai kekuatan sihir ilusi." Bisik Satella, bicara sendiri.
Mereka membuka pintu dan keluar dari tempat ajaib bernama ruang kebutuhan.
~Bersambung~