"Jam berapa kereta berangkat?"
"Sekitar jam dua belas..Ayah, aku cemas sekali."
Hye Seon berulang kali mondar mandir di depan ayahnya. Berat sekali untuk meninggalkan orang- orang yang ia sayangi. Apalagi ini adalah kali pertama Hye Seon akan tinggal sendiri dan jauh dari orang tuanya.
Tuan Lee mendekati putrinya dan mengelus kepalanya dengan lembut. Ia tersenyum menenangkan. "Semua akan baik-baik saja. Walau ayah juga berat melepaskanmu, kamu harus tahu ini memang harus dijalani. Tak apa-apa bersusah dulu, nantinya kau juga akan merasakan hasilnya jika sudah berhasil mencapai cita-citamu."
Mata Hye Seon berkaca-kaca menatap sorot lembut mata ayahnya. Ingin sekali ia menangis, merengek supaya ayah dan ibunya bisa menemaninya ke Seoul.
"Ayah, terima kasih, karena sudah percaya padaku. Aku tidak akan mengecewakanmu. Dan juga Ibu," ucap Hye Seon bersemangat sambil menoleh ke arah ibunya.
Nyonya Lee duduk di bangku tunggu bersama Hye Bin, dan So Jung. Mukanya tertunduk, menyembunyikan air mata yang sedari tadi sudah terasa penuh di pelupuk mata. Mendapati istrinya dalam keadaan seperti itu, Tuan Lee mendekat menenangkan. Hye Bin dan So Jung yang duduk di sampingnya juga ikut membantu.
"Istriku,kalau kau seperti ini, Hye Seon tidak akan tenang. Kau bilang ingin mendukung cita-citanya? maka biarkanlah ia pergi. Ia sudah dewasa, dia bisa menjaga diri. Dan juga, dia kan nanti tinggal dengan keluarga Kang Il Bong, dia pasti akan baik-baik saja."
"Betul, Ibu. Kalau kau seperti ini aku tidak akan pergi dengan tenang." Hye Seon ikut bergabung dengan ayahnya.
"Tapi....Hye Seon, ini pertama kalinya kau pergi jauh dari kami. Bagaimana nanti jika ....terjadi apa apa denganmu. Siapa yang akan menolongmu? Walaupun keluarga Kang memiliki hubungan yang baik dengan keluarga kita, tetap saja mereka adalah orang asing."
"Ibu, kalau Ibu percaya padaku, maka aku pasti akan baik-baik saja."
"Sudahlah... kenapa semua jadi seperti ini. Eonni (Panggilan untuk kakak perempuan) pergi saja, jangan hiraukan masalah ibu. Nanti biar aku yang urus dia." Hye Bin yang sedari tadi diam ikut juga menengahi suasana sentimentil di stasiun kereta api ini. Senyumnya yang tulus terukir manis di wajah sayunya. Dia terlihat sangat kuat walau badannya tersandar pada kursi roda.
"Terima kasih. Kau juga harus tetap semangat. Eonni selalu akan mendukungmu. Semangata!" Kepalan tangan Hye Seon bertubrukan dengan tangan Hye Bin di udara. Semua yang ada di situ tersenyum bahagia menyaksikan semangat dua gadis kakak beradik ini. So Jung pun ikut menghamburkan dirinya dalam keriangan ini.
Tepat jam 12:30, KTX (kereta express Korea) sudah siap untuk berangkat. Hye Seon akan menempuh perjalanan enam jam untuk sampai di kota Seoul. Sesampai di sana, nanti ada orang yang akan menjemputnya, jadi ia tak perlu khawatir berkeliaran sendiri di ibukota yang baru dua kali ini ia datangi. Terakhir kali, Hye Seon pergi ke Seoul ketika masih TK.
Dengan derai air mata, nyonya Lee melepas kepergian putrinya.Tangisnya justru semakin menjadi ketika Hye Seon naik ke gerbong kereta. Hye Bin dan So Jung harus berusaha keras menenangkannya. Tuan Lee mengantar Hye Seon sampai ke dalam gerbong. Mereka membawa dua koper barang yang dibawa Hye Seon. Satu koper berisi barang pribadi, sementara satunya lagi adalah titipan tuan dan nyonya Lee untuk keluarga Kang.
Perlahan ,kereta berwarna putih itu bergerak. Hye Seon melambaikan tangannya kepada semua orang yang telah mengantarkannya sampai di stasiun ini. Hatinya sebenarnya berat untuk meninggalkan kota tempat kelahirannya dan orang-orang yang telah bersama dirinya selama ia hidup dikota ini. Namun, ia tak memiliki pilihan lain. Inilah mungkin yang harus ia korbankan demi mewujudkan cita-citanya. Dua tahun lagi, ia pun akan pulang dengan membawa prestasi yang membanggakan bagi mereka. Ia akan buktikan pada orang orang yang telah mendukungnya kalau ia memang tidak main main dengan keinginannya.
Pohon pohon dan semua benda yang ada di luar kereta terlihat bergerak cepat ke belakang seiring laju supercepat kereta ini. Hye Seon merebahkan kepalanya yang terlalu penat dengan banyak hal yang kini mengisi otaknya. Woo Bin..hmmm....semua memang telah berakhir...ia tak akan lagi memimpikan pemuda itu.
...........
Hye Seon mengabiskan waktunya di kereta dengan memandangi pemandangan indah di sepanjang jalan menuju Seoul. Gunung-gunung yang menjulang tinggi, sawah sawah yang terbentang luas dan keaneka ragaman alam yang ia saksikan dengan mata penasarannya. Korea memang negara yang indah. Ibukota Seoul adalah magnet bagi hampir semua orang di negeri ginseng ini. Di kota megapolitan ini banyak harapan dan mimpi yang sudah terwujud, dan semoga Hye Seon juga mendapat keberuntungan yang sama untuk merealisasikan mimpinya menjadi seorang pelukis yang hebat setelah bersekolah di Kim Art College.
Seorang wanita paruh baya seumuran nyonya Lee nampak tertidur pulas di samping tempat duduk Hye Seon. Ia tak menikmati pemandangan di sepanjang jalan seperti yang ia lakukan.
"Nyonya, tas anda jatuh."
Dengan hati hati Hye Seon membangunkan wanita itu. Agak kaget, wanita itu langsung bangun dan menanyai Hye Seon apa yang sedang terjadi. Jari telunjuk Hye Seon menunjuk ke bawah tempat duduk. Nyonya itu langsung paham dengan maksud Hye Seon setelah medapati tas tangannya tergeletak di bawah kakinya.
"Terima kasih."
"Sama sama, ehm...nyonya mau ke Seoul juga kan? Ini adalah pertama kalinya sejak 14 tahun lalu aku ke Seoul,jadi aku tidak bisa tidur. Pemandanganya terlalu indah untuk dilewatkan."
Nyonya tadi tersenyum melihat keluguan Hye Seon. Ia pun menceritakan tentang dirinya dan sedikit alasan kenapa ia tertidur pulas sekali dikereta. Rupanya, ia adalah orang Gangneung yang menikah dengan orang Seoul. Ia pulang karena ibunya sakit. Suami nyonya itu tidak ikut karena ia tidak mendapat ijin cuti kerja dari kantornya.
"Ketika kita hidup dikota besar, waktu luang adalah hal berharga yang jarang kita dapatkan. Semuanya tergantung pada uang. Kalau kau pernah mendengar istilah bahwa uang bisa membeli segalanya. Itu tidak sepenuhnya salah. Kenyataannya memang seperti itu." Nyonya tadi sambil tertawa menjelaskan arti uang yang nampaknya telah merenggut waktu paling berharga yang seharusnya ia habiskan dengan suami dan orang tuanya. Hye Seon ikut tertawa saja mencoba menghargai penjelasan nyonya itu. Hatinya mulai cemas membayangkan kehidupan di Seoul yang bisa jadi tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Benarkah kota besar begitu menakutnya?
Karena asik mengobrol tak terasa kereta cepat ini mulai bergerak pelan masuk ke dalam stasiun.Dari peta yang Hye Seon pegang, ia tahu nama Stasiun kereta tempat ia turun adalah Cheongnyangni. Di sini nanti akan ada orang suruhan paman Kang yang sudah menunggunya kemudian membawanya ke rumah keluarga Kang di tengah kota Seoul.
Hye Seon menarik nafas dalam dalam sebelum keluar dari gerbong kereta. Ia menyakinkan dirinya bahwa semua akan baik baik saja. Nasehat ayahnya untuk percaya diri dan tidak perlu khawatir menggaung cukup keras di telinganya. Nyonya, yang Hye Seon akhirnya tahu bernama Shin Ma Ri, mengucapkan selamat tinggal padanya.
Stasiun kereta ini terlihat sangat ramai sekali. Jauh lebih ramai dari stasiun di Gangneung. Ribuan orang berlalu lalang masuk dan keluar gerbong sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Hye Seon celingukan mencari orang yang mungkin bisa terlihat seperti orang suruhan paman Kang. Katanya ia nanti akan membawa plank namanya. Namun setelah lima belas menit ia berjalan ke sana kemari tak terlihat tanda tanda ada orang yang seperti itu, ia pun mencari tempat untuk duduk. Dua koper yang ia bawa cukup membuatnya kelelahan.
"Ayah, kenapa tidak ada orang yang menjemputku?" keluh Hye Seon pada ayahnya di telepon genggamnya.Tuan Lee berusaha menenangkan Hye Seon yang terdengar mulai panik dan khawatir.
"Tunggu sebentar lagi. Tadi ayah sudah telepon Kang Il Bong, katanya ia sudah berangkat. Kamu sabar sebentar ya?"
"Sabar?" Hye Seon menoleh kesekelilingnya. Ia merasa seperti gelandangan yang tidak tahu harus berbuat apa. Kenapa ia harus menderita seperti ini di hari pertama ia menginjakkan kaki di Seoul.
"klek" telepon genggam Hye Seon mati.Ternyata baterainya habis.
"Mati? Aduh...bagaimana aku ini?"
Kali ini Hye Seon benar-benar dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Bagaimana jika orang itu tidak datang? Apakah ia harus terus menunggu di stasiun ini? Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, ia pun memutuskan untuk menunggu. Perut Hye Seon mulai terasa keroncongan. Ia makan roti kering yang Hye Bin jejalkan dalam tas ranselnya sebelum berangkat tadi pagi. Atap stasiun tiba tiba bergemuruh dengan suara rintik hujan yang mulai menetes deras. Kekhawatiran Hye Seon semakin menjadi. Ia memang sepertinya harus menunggu orang itu sampai ia datang.
"Permisi, apakah kau Lee Hye Seon?"
Hye Seon mendongak mencari asal suara. Air matanya yang mulai menetes cepat-cepat dihapusnya. Gadis itu nampak tertegun sesaat melihat seorang cowk berparas menawan dengan topi baseball hitam tersenyum di depannya.
" Ya...siapa...?"
"Maaf, aku adalah orang yang seharusnya menjemputmu. Sekali lagi aku minta maaf karena datang telat. Kau pasti sudah menunggu sangat lama."
Cowok itu berbicara kepadanya. Walau hatinya sangat kesal sekali, Hye Seon tak berniat untuk memarahinya karena sudah menunggu sangat lama.
"Oh... jadi...begitu."
"Nanti aku akan ceritakan kejadiannya di dalam mobil. Sebaiknya kita masuk mobil sekarang. Apakah ini kopermu?"
Cowok itu melihat ke arah dua koper yang Hye Seon sandarkan pada kursi didepannya.
" Iya" " Kalau begitu biar saya yang bawa. ayo!"
Dengan sigap cowok ini menarik dua koper Hye Seon ke arah jalan menuju pintu keluar. Hye Seon dengan ragu-ragu mengikuti pemuda itu dari belakang. Ia merasa aneh berjalan di belakang orang asing ini. Ia masih meragukan status orang ini sebagai suruhan Paman Kang Il Bong.
Dia memasukkan dua koper Hye Seon kedalam bagasi sedan Hyun Dai merah. Ia mempersilahkan Hye Seon untuk masuk ke dalam mobil.
"Namaku Kang Hyung Won. Aku adalah anak dari Kang Il Bong."
Ternyata dia adalah anak dari paman Kang? Karena merasa agak kikuk, Hye Seon hanya mengangguk saja. Ia duduk kedinginan karena sebagian bajunya agak basah.
Hyung Won sekali lagi meminta maaf pada Hye Seon dan menjelaskan kenapa ia bisa telat menjemputnya. Hye Seon memakluminya. Ia tak merasa harus memaafkan Hyung Won karena jelas tidak ada kesalahan yang ia buat.
Mobil Hyun Dai merah itu pun melaju kencang keluar area stasiun dan masuk kejalan besar Seoul yang dipenuhi dengan banyak sekali kendaraan yang berlalu lalang. Hari sudah terlihat agak gelap. Lampu lampu jalan yang berjajar disepanjang lintasan terlihat sangat mengagumkan. Ditambah lagi gedung gedung tinggi yang memenuhi Seoul ikut berwarna dengan cahaya lampu yang gemerlapan. Hye Seon terpana melihat hal yang sepertinya jarang sekali ia lihat. Matanya tak henti hentinya menatap keluar mengamati "keajaiban" ini.
"Apakah ini pertama kalinya kau ke Seoul?" tanya Hyung Won memulai pembicaraan. Hampir tak ada kata yang terlontar dari mulut keduanya sejak dari stasiun tadi.
Hye Seon terhenyak dari keasyikannya. Ia sedikit malu menyadari sifat kampungannya yang terlalu berlebihan.
"Tidak juga.Dulu waktu kecil aku pernah berkunjung kekota ini,tapi itu sudah lama sekali."
" Apakah Seoul begitu indah?"
"Lebih indah dari Gangneung."
"Banyak hal menarik yang bisa kau saksikan di kota ini nantinya.Tapi kau juga harus hati-hati. Tak semua yang terlihat indah itu baik untuk kita."
Hye Seon tampak kebingungan dengan maksud perkataan Hyung Won.Ia mengernyitkan dahinya. "Tak usah seserius itu. Semua akan baik-baik saja."
Hyung Won tersenyum melihat muka bingung Hye Seon yang membuat pipi putihnya berubah jadi merah. Dia merasa begitu " udik". Walau ini bisa dianggap pertama kalinya ia ke Seoul, tak seharusnya ia bersikap terlalu ingin tahu. Ia seharusnya bersikap tenang saja dan mengamati Seoul dengan "gaya yang elegan." Dari kaca spion depan, Hye Seon dengan jelas bisa melihat wajah Hyung Won tanpa harus menoleh pada pemuda itu. Ada sesuatu yang sepertinya cukup familiar dengan wajahnya.
Hyundai merah Hyung Won melaju semakin kencang melewati jalan tol yang lebar. Ketika ia memasuki jalan dalam kota, ia harus merengsek menerobos padatnya lalu lintas kota Seoul. Semakin malam bukannya semakin sepi, kota ini justru terasa semakin ramai. Inilah ciri khas kota kota besar.Tak ada jam mati bagi penduduknya. Selama dua puluh empat jam mereka hidup dengan pekerjaan mereka, bahkan kadang sampai melupakan keluarga yang sedang menanti resah dirumah. Setelah percakapan singkat itu, tak banyak obrolan ringan yang terjadi diantara keduanya. Hyung Won sepertinya juga tak terlalu supel terhadap orang yang baru dikenalnya, sedangkan Hye Seon, diam baginya adalah hal paling bagus yang bisa ia lakukan saat ini.