Lima belas murid seni rupa Mr. Jung yang semuanya berasal dari kelas 3 sudah berkumpul di ruang kelas seni. Masing-masing sudah siap dengan peralatan lukis. Kanvas, pensil, kuas dan cat minyak. Raut muka mereka tampak tegang. Ini adalah seleksi pertama yang ada untuk mendapatkan beasiswa lukis di sekolah ini. Jadi wajar kalau semuanya begitu serius. Mr.Jung dan kepala sekolah memasuki kelas. Seketika, kegaduhan terhenti. Setiap pasang mata memperhatikan apa yang disampaikan guru seni rupa berkaca mata tebal di depan mereka. Setelah penjelasan,petunjuk dan sedikit nasehat, kompetisi kecil ini dimulai.
Hye Seon dengan hati-hati mulai menggoreskan gambar porselen yang telah ia simpan dalam otaknya.Untuk kompetensi kali ini,Pak Jung tidak memperbolehkan siswa untuk melihat gambar objek yang akan digambar. Ia menuntut setiap murid untuk menggunakan imaginasi mereka.Hal ini penting sekali bagi para calon pelukis.Sesekali beberapa murid yang agak iseng saling melihat pekerjaaan temannya. Pak Jung pun harus menenangkan dan memperingatkan mereka.
Kelas seni rupa di sekolah Hye Seon memang tidak terlalu populer dibandingkan dengan kelas musik atau sepak bola.Meski begitu, kelas ini mendapat perhatan serius dari pihak sekolah. Beberapa prestasi pun telah ditorehkan oleh siswa-siswa seni rupa. Park Ji Hoo, murid paling berbakat sekaligus saingan terberat Hye Seon dari kelas 3.1 sering mengikuti lomba lukis dan membawa pulang beberapa trophi kebanggaan untuk sekolah. Sedang Hye Seon baru tiga kali tercatat mengikuti kompetensi lukis dan hanya membawa pulang dua trophi, yakni juara harapan satu tingkat provinsi dan yang terakhir menjadi runner up untuk tingkat yang sama.
Setelah berkonsentrasi penuh dengan lukisan masing-masing, kelima belas murid ini menyelesaikan lukisan mereka. Hye Seon menoleh ke sekelilingnya. Semua murid tampak tegang. Hanya Ji Hoo yang tampak begitu santai di tempat duduknya. Mata sipit Ji Hoo tertutup kaca mata minus tebal yang bagi Hye Seon tak serasi dengan bakat luar biasanya.
"Kalian boleh meninggalkan kelas.Terima kasih atas kerja kerasnya. Pengumuman peserta yang lolos akan kami tempel besok pagi di buletin sekolah," Pak Jung mengakhiri kompetensi ini sambil mengucapkan salam perpisahan. Satu persatu siswa-siswa inipun meninggalkan kelas.
"Lee Hye Seon!" panggil Park Ji Hoo dari belakang. Hye Seon menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Bagaimana menurutmu kompetisi ini?" tanyanya langsung tanpa memberikan waktu bagi Hye Seon untuk mengetahui keheranannya pada sikap Ji Hoo yang tiba-tiba terdengar akrab.
"Oh… bagus," jawab Hye Seon sekenanya.
"Bagus? Hanya itu? Maksudku program beasiswa yang ditawarkan oleh sekolah seni di Seoul, bagaimana pendapatmu?" Ji Hoo meninggikan nada suaranya. Ia serius ingin mendengar jawaban Hye Seon.
"Bagus. Ini adalah kesempatan bagus bagi orang sepertiku. Semoga aku bisa lolos dan mendapatkan beasiswa itu."
Park Ji Hoo tersenyum puas mendengar jawaban Hye Seon. Ia mengulurkan tangan. Hye Seon semakin heran dengan sikap Ji Hoo. Ia tak menyambut uluran itu.
"Ayolah. Aku doakan semoga kita diterima nanti. Akan sangat menyenangkan jika kau bisa terpilih." Dengan ragu-ragu akhirnya Hye Seon menerima uluran itu."Semoga," sahutnya pendek. Ji Hoo langsung pergi tanpa menjelaskan maksud dari sikap akrabnya yang terkesan aneh pada Hye Seon.
.........
Nama Hye Seon tercantum dari lima siswa yang lolos seleksi pertama lomba lukis. Ini berarti kesempatan baginya untuk mendapatkan beasiswa terbuka semakin lebar.Kelima siswa yang lolos seleksi pertama kompetensi lukis adalah, Lee Hye Seon, Park Ji hoo, Lee Eun Yo, Kim Sang Wo, dan Jung Ki Sang.
Setelah memberikan pengarahan singkat tentang prosedur lomba tahap kedua, Pak Jung juga menjelaskan tentang Kim Art College, Institusi yang memberikan beasiswa. Kim Art College adalah akademi seni prestigious di Seoul yang juga masuk dalam kategori tempat belajar seni rupa paling diminati di Korea. Seseorang yang bisa masuk di akademi ini bisa memiliki kesempatan luas untuk mengembangkan dirinya menjadi pelukis professional. Kelima siswa yang terpilih begitu bersemangat mendengarkan setiap penjelasan yang disampaikan oleh Mr. Jung. Siapa pun yang memiliki cita-cita menjadi sebagai pelukis pastinya tak akan melewatkan kesempatan ini.
............
Lee Hye Seon berjalan cepat menuju ruangan yang sudah disediakan oleh panitia. Ibunya pagi-pagi sekali membangunkanya supaya ia punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri. Semua peralatan lukis sudah disiapkan pihak panitia, jadi ia tak perlu membawa kanvas besarnya dan juga kuas untuk melukis. Ruangan yang dipakai untuk melukis kali ini adalah ruang aula yang telah di tata menjadi tempat lomba.
Ada lima kanvas dengan lima kursi tinggi di depannya yang disiapkan bagi peserta. Hye Seon takjub melihat pemandangan yang tak biasa ini. Hampir semua peserta sudah datang. Mereka saling mengobrol untuk melepaskan ketegangan. Tepat jam sepuluh pagi lomba dimulai. Ada tiga orang utusan Kim Art College yang mengawasi jalannya lomba.Tema lukisannya tidak ditentukan. Setiap peserta bebas berimaginasi tentang objek lukisan mereka. Setelah mengucapkan beberapa kalimat doa, Hye Seon mulai membuat garis lembut di atas kanvas. Jari jemarinya terasa kaku dan bergetar. Ia tegang. Tapi semoga ketegangan ini tidak mengganggu.
Seperti pada lomba pertama, Hye Seon memutuskan untuk memakai porcelen sebagai objek lukisnya. Selain memiliki detail ornament yang bagus, benda ini juga menyimpan banyak kenangan bagi keluarganya.
Sesekali Hye Seon sedikit melirik ke arah lukisan peserta yang lainnya untuk memastikan sudah berapa jauh mereka melukis. Park Ji Hoo yang berada di depan, seperti bisa diprediksi, selalu saja tenang. Ia tak bergerak sedikit pun. Lee Eun Yoo, teman satu kelas Hye Seon, yang duduk disebelah Hye Seon serius menggambar sebuah lukisan bunga mawar kuning. Hye Seon tidak berani melihat lama-lama karena sang pengawas sepertinya mengetahui apa yang ia lakukan.
"Lima belas menit lagi !" Seorang laki-laki setengah baya dengan jenggot tipis mengingatkan para peserta bahwa waktu mereka tidak banyak. Semuanya kembali mengecek apakah ada yang kurang. Waktu lima belas menit sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan kekurangan yang kira-kira bisa terlihat oleh juri. Hye Seon menutup matanya, berdoa dalam hati berharap penuh Tuhan kan membaca isi hatinya dan mengabulkan doanya.
"Tett..Tettt!" Bel tanda lomba selesai terdengar nyaring berdering. Kelima anak inipun menyerahkan lukisannya dan bergegas pergi keluar ruangan. Dari arah kanan koridor So Jung berlari kecil menghampiri Hye Seon. Senyum sumringah gadis itu seketika menghilangkan kepenatan kepalanya.
"Apakah kamu baik-baik saja? Semuanya lancar?" tanya So Jung bertubi-tubi tanpa memberikan waktu bagi Hye Seon untuk berpikir lebih dulu. Meskipun begitu, Hye Seon tetap tersenyum menjawabnya.
"Kapan pengumumannya?"
"Ketika acara kelulusan nanti."
"Benarkah?"
"Kenapa kau kaget seperti itu?" Hye Seon merasa aneh melihat So Jung membelalakkan matanya setelah mendengar penjelasan darinya tentang pengumuman pemenang lomba.
"Apakah ada sesuatu So Jung?"
"Tidak,…Tidak ada apa-apa. Aku hanya kaget mendengarnya. Setahuku pada acara kelulusan nanti tidak hanya pemenang lomba lukis yang diumumkan tetapi juga daftar murid berprestasi dari angkatan kita. Kalau tidak salah, Woo Bin termasuk salah satu dari mereka. Dia kan satu-satunya murid SMA kita yang pernah mengikuti kejuaraan sains tingkat nasional. Walau pada akhirnya hanya mendapat juara dua, tapi menurutku tidak mengecewakan dan.. ada hal lain yang juga ingin aku katakan padamu…" So Jung urung melanjutkan kalimatnya.
Hye Seon berhenti melangkah dan menoleh kearah So Jung yang sama tinggi dengan dirinya. Mata sipit temannya itu bergerak-gerak memperhatikan reaksinya.
"Aku ikut pementasan seni di acara kelulusan nanti. Ehmm.. seperti drama musikal..dan.. kau pasti bakal terkejut mendengarnya karena Woo Bin juga ikut pementasan itu." Dan benar dugaan So Jung, Hye Seon memang terkejut sampai berhenti berjalan. Dengan lihai ia bisa menutupi kekagetannya dengan berpura-pura bersikap senormal mungkin.
"Oh.. begitu," tanggapnya datar.
"Hanya "Oh"? yak Hye Seon! karena nanti aku akan sering bertemu dengannya. Aku akan mencoba bertanya banyak hal mengenai kalian berdua." Untuk kedua kalinya Hye Seon menghentikan langkahnya. Ia melihat ke arah So Jung berharap temannya itu akan menarik kata-katanya kembali.
"Kalau kau tidak berani, aku bersedia--"
" Apa maksudmu? "
So Jung menarik nafas, menahannya dimuka sehingga seluruh pipinya memerah.
"Ada sesuatu yang belum kalian selesaikan. Entah apa itu aku juga tidak tahu. Walau seribu kali kau menyakinkan diriku bahwa tidak ada apa-apa antara kau dan Woo Bin, aku masih tidak akan percaya. Aku sudah cukup lama mengenalmu. Kau menyukainya."
"So Jung!" Hye Seon setengah berteriak memotong kalimat So Jung. Air matanya tanpa disadarinya menetes. Ia …entahlah. Ia merasa dirinya sangat lemah sekali menangis di depan So Jung tentang Won Bin. Padahal,bukankah selama ini ia sudah kuat untuk bersikap biasa-biasa saja.
"Hye Seon, kau menangis?" So Jung kaget melihat reaksi Hye Seon yang sepertinya terlalu berlebihan.