Sebagian wajah Woo Bin tertutup syal tebal yang melingkar di lehernya. Sekujur tubuh Hye Seon mulai terasa aneh. Kakinya terasa lemas dan jantungnya berdetak tak karuan.
"Ya Tuhan apakah aku sedang bermimpi?" kalimat itu memenuhi otaknya sekarang.
Hawa aneh yang sering ia rasakan sebagai campuran rasa senang, takut, cemas dan grogi kini menguasai dirinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Lari? jelas tidak mungkin. Akhirnya ia mematung menunggu reaksi lanjutan sang pemanggil.
"Kenapa kau tidak menjawab? Apakah tebakanku salah?"
Hye Seon memutar badannya dan melihat Woo Bin berdiri dan mulai berjalan mendekatinya. Baru pertama kali sejak Woo Bin bersekolah di sekolah yang sama dengan dirinya, dua tahun yang lalu, ia memiliki kesempatan bercakap-cakap dan berada sedekat ini dengan pemuda yang diam-diam ia kagumi selama kurang lebih separuh dari hidupnya.
"Annyeong," sapa Woo Bin pelan.Tubuhnya yang menjulang membuat ia harus menundukkan kepala ketika berbicara dengan Hye Seon. Dengan ragu Hye Seon membalas sapaannya. Ia bingung sendiri dengan keadaan yang sedang ia alami sekarang. Walau selama ini ia sangat ingin berbicara dengan Woo Bin, namun kenyataanya, berhadapan dan berbicara langsung dengan laki-laki ini terasa sangat tidak mudah. Lidahnya jadi kelu seketika. Ia tidak tahu harus berbicara apa.
"Apa kau kaget mendapatiku di tempat seperti ini ?"
"Ap..a? ehm..ehm… tidak .. hanya saja aneh sekali kau berada di taman di saat udara dingin seperti ini."
Kalimat yang keluar terdengar seperti orang menggumam. Hye Seon merasa kacau sekali.
"Apa kau kedinginan, gaya bicaramu aneh sekali?"
"Tidak…mantelku cukup tebal untuk menghangatkan badanku. Oh…tadi kau memanggil namaku. Apa kau ingin memastikan bahwa aku Hye Seon?" akhirnya kalimat itu meluncur dengan lancar dari mulut.Tangan Hye Seon masih menggenggam rantang makanan yang terasa mulai dingin. Ia sedikit melangkah mundur untuk menggerakkan badannya.
"Benarkah itu namamu?"
Anggukan Hye Seon membuat senyum Woo Bin terkulum manis. Brrrrr… Hye Seon merasa darahnya berdesir.
"Berarti aku benar selama ini. Sudah dua tahun ini aku ingin memastikan bahwa kau tidak salah. Hye Seon, senang bertemu kembali. Maaf kalau selama ini aku tidak pernah berbicara denganmu. Aku Yoon Woo Bin.Teman..hmmm..ya....temanmu yang hilang cukup lama."
Uluran tangan Woo Bin menggantung cukup lama di depan Hye Seon. Mata Hye Seon mengamati wajah Woo Bin dengan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Kenapa? Setelah kedatangannya dari Amerika dua tahun yang lalu baru kali ini Woo Bin mengakuinya sebagai teman?
butuh cukup lama bagi Hye Seon untuk pada akhirnya menjabat tangan pemuda ini.
"Kenapa baru kali ini kau berbicara padaku?"
Rasa penasaran yang sudah memenuhi kepalanya membuat Hye Seon tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan alasan Woo Bin melakukan perkenalan yang bisa dikatakan sudah sangat terlambat.
"Pertama kali aku melihatmu awalnya aku ragu itu adalah kau. Setelah tiga bulan, aku yakin gadis itu adalah dirimu. Sebenarnya waktu itu aku ingin sekali mengajakmu mengobrol hanya saja…." Woo Bin menghentikan kalimatnya. Ia berbalik arah membelakangi Hye Seon. Kakinya bermain-main dengan gundukan salju yang mulai menutupi rumput-rumput taman.
"Posisiku tidak tepat untuk melakukan hal itu. Jika aku melakukannya, teman-temanku pasti akan membuatmu tidak nyaman. Mereka cenderung mengkastakan siswa-siswa yang tidak termasuk dalam golongan mereka. Maaf bukan maksudku.."
"Aku tahu kalian memang berbeda," Hye Seon memotong kalimatnya.
Woo Bin merasa tidak enak dengan arah pembicaraannya yang menyinggung teman-temannya di sekolah. Mereka adalah golongan anak orang kaya yang tinggal di pusat kota Gangneung yang biasa disebut "Chaebol[1]". Mereka jarang sekali berinteraksi dengan siswa-siswa di luar golongan mereka. Ayah Woo Bin yang menjadi orang tua terkaya kedua setelah ayah Park Jo Han, yang adalah pengusaha perikanan terbesar di Gangneung, otomatis terdaftar dalam golongan itu. Hal ini membuat ia membatasi diri dalam bergaul.
"Ehm..tak ada gunanya membicarakan mereka. Ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana? Itu rumahku." Woo Bin menunjuk sebuah rumah besar bercat putih dengan pagar kayu rapi yang mengelilinginya. Hye Seon tidak merasa asing dengan rumah itu. Wajar, karena setiap hari kalau pergi ke sekolah ia selalu melewatinya. Bahkan ia sering memelankan sepedanya dan melihat pintu depan rumah berharap ada seseorang yang dikenalnya keluar.
"Aku tinggal tepat di luar komplek perumahan ini.Tidak jauh hanya sekitar 100 meter," terang Hye Seon. Bibirnya semakin biru menahan udara dingin. Rantang yang sedari tadi didekapnya terasa sudah sedingin es. Bibimbap[2] ini pasti sudah tidak bisa dimakan.
"Benarkah? Dekat sekali kalau begitu," timpal Woo Bin dengan nada agak heran.
"Rantang apa itu?" tanyanya lagi menunjuk box makanan yang didekap Hye Seon. "Apakah kau habis menemui seseorang?"
"Aku dari pasar malam. Ada seseorang yang ingin aku temui di sana.Tapi sayang orangnya sudah terlanjur pergi."
"Pacarmu?" Woo Bin mengajukan pertanyaan yang Hye Seon anggap konyol. Tidakkah dia merasa bahwa sedari tadi jantung gadis di depannya ini berdegup kencang tak beraturan? Tidakkah ia merasakannya sedikit pun? Hye Seon mengulum ludahnya dan berusaha bersikap senormal mungkin di hadapan Woo Bin.
"Bukan!" jawabnya singkat. Hye Seon merasa tak perlu harus menceritakan tentang kakek Kim kepada Woo Bin. Apalagi di "petemuan pertama" mereka.
Semilir angin yang menggerakkan ayunan di depan keduanya membuat malam yang semakin sunyi terasa agak hidup. Hye Seon sama sekali tak merasa kedinginan. Entah karena efek Woo Bin yang ada tepat di sampingnya sekarang atau memang udara memang telah sedikit menghangat.
"Apakah kau masih menyimpan gambarku?"
Hye Seon terperangah kaget. Ia tidak menyangka Woo Bin masih ingat dengan gambar itu. Lebih tepatnya gambar mawar merah yang pernah ia berikan delapan tahun yang lalu.
"Kau masih ingat? ..aneh sekali. Padahal kau memberikannya delapan tahun yang lalu. Aku masih menyimpannya karena aku berharap 'temanku' yang dulu memberikannya padaku mungkin akan menanyakannya lagi."
Woo Bin menatap Hye Seon dengan rasa bersalah. Ia tak mendapatkan jawaban untuk membalas perkataan Hye Seon.
"Maaf.. jika aku baru berbicara padamu sekarang. Setelah aku memberikan gambar itu padamu. Aku berharap esok paginya kita akan bertemu lagi. Aku hampir tidak bisa tidur semalamam membayangkan memiliki seorang teman.Tapi …bukan kau yang aku temui hari itu. Ayah membawaku ke Amerika untuk bertemu dengan ibu baruku. Aku menangis di sepanjang perjalananku ke sana karena aku tahu, aku pasti tidak akan bertemu dengan temanku lagi. Untungnya ayah bercerai dengan ibu tiriku. Jadi seperti yang kau lihat sekarang aku bisa bertemu denganmu."
Penjelasan Woo Bin sedikit banyak memperjelas alasan kenapa ia tiba-tiba menghilang waktu itu. Selama ini Hye Seon memang telah mendengar bahwa ayah Woo Bin membawa anak laki-lakinya ke Amerika. Namun baru kali ini penjelasan itu ia dengar langsung dari Woo Bin. Pandangan mata Hye Seon masih terasa gamang. Ia melihat ke sekitar. Woo Bin tepat berdiri di sampingnya menghadap ke depan, ke arah pohon-pohon taman yang memutih tertutup salju. Pemuda ini terlihat sangat nyata. Bukan dalam alam mimpi yang ia sering saksikan tiap malam. Ia bisa dipandang, didengar dan diajak bicara. Woo Bin memang telah kembali. Ia mengenalnya.
"Aku harus pulang. Ibuku pasti khawatir," pamit Hye Seon. Jam sudah menunjuk ke angka setengah sebelas. Ia takut ibunya khawatir karena ia belum pulang.
"Gomawo." "Untuk apa?" tanya Hye Seon heran. Woo Bin tersenyum sebelum menjawab.
"Karena kau mau menjadi temanku lagi."
Hye Seon tertegun sebentar. Teman? Meski terdengar aneh tapi mungkin mereka bisa mengawali semuanya dengan sebuah pertemanan. Ia hanya bisa memberikan sebuah senyuman sebagai tanda persetujuannya untuk menjadi 'teman' Woo Bin.
"Undangan ulang tahun…Ehm, apakah kau bisa datang?"
Hye Seon terperangah. Ia tak langsung menjawab. Hatinya ragu untuk mengiyakan.
"Aku tidak janji.Tapi…aku akan usahakan."
Woo Bin datang mendekatinya. Ia tersenyum lagi sebelum membalas kalimat Hye Seon.
"Tidak apa-apa kalau kau memang tidak bisa datang.Tapi..pestanya akan lebih berarti kalau kau ada di sana."
.................
Sore ini sepulang sekolah, Hye Seon langsung mampir ke toko kue ibunya. Ia berencana memberitahu ibunya perihal beasiswa lukis yang Pak Jung sampaikan pada jam seni lukis tadi. KIM ART COLLEGE, sebuah institusi seni di Seoul menawarkan 2 tahun beasiswa penuh pada dua murid. Akan ada kontes seni lukis yang harus para murid seni ikuti sebelum mendapatkan beasiswa itu. Ini adalah kesempatan langka yang tak sering muncul di sekolah Hye Seon yang nota bene tak begitu populer dengan seni lukis.Jika Hye Seon bisa mendapatkan beasiswa itu, ia tak akan merepotkan orang tuanya untuk membiayai kuliah di akademi seni lukis.
"Hye Seon!"
Panggilan ibunya membuat Hye Seon menoleh.Ia berhenti menyobek kertas kue dan langsung berjalan cepat ke arah ibunya yang menenteng satu box kue.
"Antarkan kue ini ke alamat ini," Nyonya Lee memberikan sebuah kertas kecil kepada Hye Seon. Hye Seon manggut-manggut mendengar penjelasan singkat tentang lokasi pemesan kue.
"Ibu, ini kan jauh?" protes Hye Seon setelah tahu bahwa rumah yang dimaksud ibunya berjarak sekitar tiga kilo meteran dari tempatnya.
"Tidak terlalu jauh jika kau tahu jalan pintasnya.Ibu sering kali lewat jalan itu untuk membeli obat buat Hye Bin.Kau bisa melewati jalan pintas. Sebelum taman,belok saja ke sebelah kiri. Di situ ada jalan kecil yang tembus ke jalan utama."
Gadis ini tak mendebat lagi. Dia bergegas untuk segera mengambil sepeda dan mengayuhnya. Ia berhati-hati sekali agar box kue yang ia taruh dikeranjang sepeda tidak tumpah atau rusak sebelum sampai tujuan.
Ternyata jalan yang dimaksud oleh ibunya adalah jalan yang ia sering lewati jika ada anjing galak mengejarnya dan So Jung dalam perjalanan pulang dari sekolah. Hanya saja sebelum sampai taman, ia dan So Jung biasanya langsung lurus ke depan mencari semak untuk bersembunyi, bukan belok ke kiri kearah gang yang ditunjukkan ibunya. Rumah si pemesan kue ada di urutan nomer 15. Nama orangnya adalah Oh Yong Jin. Setelah berputar-putar di komplek perumahan tersebut selama lima belas menit akhirnya ia berhasil sampai di depan rumah si pemesan kue. Hye Seon memarkir sepedanya di depan pintu gerbang. Ia menekan bel dan berbicara pada kamera camcorder yang tertempel di samping pintu. Sang pemilik rumah membukakan pintu otomatis dan menyuruhnya masuk. Ia pun melangkah memasuki halaman rumah itu sambil menjijing box kue. Ada Jalan setapak kecil terbentang dari depan gerbang sampai depan teras yang disambung dengan jalan tangga kecil.
'Ting ..tong" Bel berbunyi. Beberapa saat kemudian si pemilik rumah membukakan pintu.Hye Seon terbelalak kaget melihat Oh Yong Hee ada di depannya.
"Oh Yong Hee!" teriak Hye Seon kaget. Yong Hee justru kebingungan melihat reaksi Hye Seon.
"Apa aku mengenalmu?" tanyanya. Hye Seon merasa kesal melihat Yong Hee sama sekali tidak mengenal dirinya. Walaupun ia tidak termasuk anak populer di sekolah,setidaknya gadis ini seharusnya ingat wajahnya. Bukankah ia satu sekolah dengannya dan juga hampir setiap hari Hye Seon melihatnya di kantin sekolah?
"Namaku Lee Hye Seon.Kita satu sekolah.Aku anak kelas 3.3." Hye Seon terpaksa mengenalkan dirinya .
"Oh..maaf.Tapi aku sepertinya tidak pernah melihatmu..ehm sudahlah itu kesalahanku. Ada apa kau datang ke sini, Hye Seon."
Senyum Yong Hee membuat kesal Hye Seon agak mereda.'Senyum inikah yang membuat Woo Bin jatuh cinta padanya?' gumamnya dalam hati.
"Aku mengantarkan kue atas nama nyonya Oh Yong Jin. Ia memesannya dari toko ibuku.Apakah benar ini rumahnya?"
"Benar.Dia kakakku.Orangnya baru saja keluar.Berikan saja kuenya padaku."
Hye Seon menyerahkan box kue itu pada Yong Hee. "Baiklah kalau begitu aku permisi dulu."
"Tunggu..!" Yong Hee mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya kemudian menyerahkannya pada Hye Seon.Tahu kalau itu adalah uang yang akan diberikan kepadanya, Hye Seon cepat-cepat menolaknya.
"Kami tidak mengambil jasa antar, gratis kok, aku permisi dulu. Senang bertemu denganmu." Dengan terburu-buru Hye Seon berbalik arah mencoba menghindari Yong Hee. Entah karena gadis itu adalah pacar Woo Bin atau karena alasan lain, Hye Seon merasa tidak nyaman berada di dekatnya lama-lama.
"Braakkkk!"
Badan Hye Seon terbentur sesuatu. Ia sampai jatuh terjerembab. Sadar kalau yang ditabrak adalah orang, cepat-cepat ia berdiri minta maaf.
"Maaf."
Tanpa mendongak ke arah orang yang ditabraknya ia langsung berdiri bangun.
"Hye Seon?!"
Suara itu begitu familier di telinga Hye Seon. Suaranya sama dengan pemuda yang ia temui tadi malam di taman di mana ia merasa bahagia sekali. Yong Hee menoleh kearah Woo Bin dengan heran.
"Woo Bin?" Hye Seon kaget melihat Woo Bin ada di depannya. Ia semakin panik dan berusaha menghindari pembicaraan selanjutnya dengan Woo Bin atau Yong Hee.
"Kau mengenalnya?"
"Oh….Dia …teman SD-ku," Woo Bin menjawab sekenanya.Yong Hee melihat keduanya dengan ekpresi ingin tahu. "Kau tidak pernah cerita padaku ?" tanya gadis itu lagi.
"Ehm… kami sudah lama tidak bertemu jadi aku kurang begitu akrab. Kalau aku cerita, aku juga bingung apa yang aku mau ceritakan padamu nanti."
Yong Hee mengangguk seakan mengerti maksud ucapan Woo Bin meski tatapan matanya masih memincingkan kecurigaan.
"Hye Seon, karena kau teman Woo Bin oppa, maukah kau mampir sebentar. Minum teh? Aku punya teh enak dari Cina."
Hye Seon menggeleng menolak tawaran Yong Hee. Ada di rumah Yong Hee saja rasanya sudah seperti ini, apalagi ditambah ada Woo Bin. Ia pun pamit pulang. Berada diantara mereka bukanlah ide yang bagus. Hye Seon sepenuhnya sadar kelebihan Yong Hee yang membuatnya pantas bersanding dengan Woo Bin. Kecantikannya sungguh tak bisa dibandingkan dengan dirinya. Dia memiliki hampir semua hal yang diinginkan anak lelaki dari seorang gadis. Tinggi semampai dengan wajah semulus boneka Barbie.
....................
Hye Seon memutuskan untuk tidak pergi ke pesta ulang tahun Woo Bin. Ia merasa tidak cocok dengan lingkungan teman-teman Woo Bin dan ia juga sengaja menghindari menyaksikan momen romantis antara Woo Bin dan Yong Hee yang dia prediksi bakal menjadi highlight dari acara mewah pesta ulang tahun ke-19 nya. Dari sore hari sampai malam, Hye Seon sengaja pergi ke rumah So Jung sambil menyelesaikan tugas science yang sebenarnya masih seminggu lagi di kumpulkan. Ia tak menyahut pertanyaan So Jung yang terus-menerus membujuknya untuk datang ke pesta. Hye Seon tetap bergeming.
"Datang sendiri jika kau mau. Itu undangannya ada dalam tas," sahut Hye Seon enteng sambil meneruskan membaca buku science.
Malam berlalu dengan cepat. Hye Seon pamit pada So Jung untuk pulang dan sesampai di rumah langsung merebahkan diri di kasur empuknya. Ia menatap gambar sketsa wajah Woo Bin yang ia rencanakan akan ia berikan sebelum memejamkan matanya.Keesokan harinya Hye Seon merasa kepalanya pusing ketika bangun. Ia ternyata membawa Woo Bin dalam mimpinya.
....................
Sekolah berjalan seperti biasanya. Para murid yang datang ke pesta ulang tahun Woo Bin mulai bercerita dengan semangat tentang apa yang terjadi semalam. Dekorasi mewah, band yang bermain musik dengan hebatnya, dan tentu saja acara ciuman hadiah Yong Hee ke Woo Bin menjadi topik hangat di pagi hari yang dingin. Udara dingin yang semakin menyelimuti seluruh kota ini sepertinya kalah dengan 'panas' nya berita ulang tahun Yoon Woo Bin.
Langkah Hye Seon terhenti ketika bertemu dengan Woo Bin yang kebetulan sedang membereskan peralatan sekolah di dalam lokernya. Tak ada siswa yang terlihat di koridor di mana ia dan Won Bin berada sekarang. Ia berniat untuk memberikan lukisan yang telah jauh hari ia persiapkan dan meminta maaf karena tak hadir di pesta ulang tahun Woo Bin.
"Annyeong!" ucapnya pelan. Woo Bin agak kaget melihat Hye Seon ada di depannya. Ia berhenti membereskan barang-barangnya dan membalas salam Hye Seon.
"Woo Bin, aku minta maaf karena tak hadir di pesta ulang tahunmu. Ini." Hye Seon mengulurkan sebuah kado berbentuk kotak yang terbungkus rapi dalam kertas kado bermotif gambar Teddy Bear. Woo Bin bengong sesaat sebelum akhirnya menerima hadiah dari tangan Hye Seon.
"Apa ini?" tanya Woo Bin sambil memegangi kado itu dengan teliti.
"Sebuah lukisan. Mungkin tak terlalu istimewa. Meski begitu kuharap kau suka."
" Lukisan?"
"Aku membuatnya sendiri."
"Benarkah? Oia, aku tahu kau pandai melukis. Kau ikut kelas seni lukis Bapak Jung kan?"
Hye Seon hanya memberi sebuah anggukan untuk menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Terima kasih.Aku akan menyimpannya dengan baik."
Woo Bin memberikan sebuah senyuman tulus yang membuat Hye Seon semakin merasa tak karuan. Untunglah tak ada seorang siswa pun yang melihat mereka berdua. Hye Seon tahu Woo Bin selalu bermain sepak bola sampai sore hari pada hari Selasa. Pada waktu yang sama ia juga barusan keluar dari kelas seni tambahan Bapak Jung.Oleh karena itu, ia berani menemui Woo Bin dan memberikan hadiah.
"Selamat ulang tahun! semoga kau mendapatkan apa yang kau harapkan di tahun ini."
"Terima kasih," seloroh Woo Bin membalas ucapan Hye Seon. Keduanya tersenyum kikuk.
"Hye Seon!"
Pak Jung datang dari ujung lorong koridor sambil melambaikan tangan kanannya. Guru seni lukis Hye Seon itu sedikit berlari ke arah Hye Seon dan Woo Bin berdiri. Keduanya menjadi bingung seketika. Woo Bin cepat-cepat membereskan pakaian olah raganya. Ia berpamitan pada Hye Seon sebelum Mr. Jung sampai di depan lokernya.
................
"So Jung, tolong ambilkan buku itu!"
So Jung mengambil buku yang dimaksud Hye Seon. Gadis itu berdiri di atas kursi merapikan buku-buku perpustakaan yang berantakan. Hye Seon dan So Jung adalah petugas perpustakaan sejak mereka masuk sekolah ini. Nyonya Oh sering meminta mereka untuk merapikan buku. Kali ini ada seorang dermawan kaya yang menyumbangkan sekitar seratus buku baru. Jadi mereka berdua menghabiskan Jumat sore ini di perpustakaan sekolah sementara teman-teman yang lain sudah pulang.
"Ngomong-ngomong, setelah lulus kau mau ke mana?"
"Aku tidak akan pergi dari Gangneung. Aku mau sekolah di sini saja. Ayahku tidak mengijinkanku untuk pergi jauh. Nasib anak tunggal," So Jung menjawab dengan nada pesimis.
Hye Seon turun dari kursi, kemudian ikut membantu So Jung menyortir buku berdasarkan labelnya. Ia terlihat berbeda hari ini. Rambut sebahunya yang biasa dikuncir, kini dibiarkan terurai lepas.
"Bagaimana denganmu?" tanya So Jung membalas.
"Aku tetap ingin jadi pelukis. Beberapa hari yang lalu Pak Jung memberi tahu kalau ada institusi seni di Seoul yang menawarkan beasiswa seni lukis. Ada dua orang yang akan dipilih untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Aku akan berusaha untuk mendapatkannya. Ayah bilang, kalau aku bisa berhasil mendapatkan beasiswa itu, ia akan menitipkanku pada temannya di Seoul. Kalau tidak salah namanya paman Kang Il Bong. Apakah menurutmu aku terlalu bermimpi tinggi So Jung?"
So Jung menggeleng. Ia tersenyum mendengar Hye Seon masih bersemangat untuk melanjutkan cita- citanya jadi seorang pelukis.
"Kau tahu apa yang kau inginkan. Ini justru lebih baik dari pada aku yang masih bingung dengan cita-citaku sendiri. Asal kau berusaha kau pasti bisa. Hye Seon, semangat!"
Terdengar tawa geli Hye Seon ketika So Jung mengepalkan kedua tangan putihnya ke arah mukanya. Gadis ini kemudian meninju lengan Hye Seon dengan pukulan yang lumayan keras.Dia mulai tak 'waras.'
"Aku ingin berbicara denganmu!"
Terdengar suara derap langkah kaki memasuki ruang perpustakaan. Hye Seon dan So Jung saling pandang kebingungan. Seingat mereka pintu perpustakaan tadi sudah dikunci. Bagaimana bisa ada orang yang masuk. Kedua gadis ini menaruh telunjuk mereka di atas bibir masing-masing sebagai isyarat untuk diam. Hye Seon dan So Jung merapatkan badan mereka ke samping rak buku agar tidak terlihat.
"Apa yang harus dibicarakan?"
Hye Seon dan So jung langsung mengenali pemilik suara itu. Yoon Woo Bin? Gadis yang pertama berbicara pastinya Oh Yong Hee.
"Apa sebenarnya hubunganmu dengan gadis itu?"
"Gadis? Yong Hee apa maksudmu? Kau sangat aneh hari ini. Dari tadi kau selalu bertanya hal-hal yang aneh."
"Kenapa kau harus berpura pura seperti ini?"
Woo Bin sepertinya memang kebingungan dengan arah pembicaraan pacarnya. Gadis? Siapa yang ia maksud?
"Tolong jangan membuatku bingung. Siapa yang kau maksud?" Nada Suara Woo Bin terdengar meninggi. Ia kesal sedari tadi harus menebak orang yang ia tidak tahu.
"Kenapa kau tiba-tiba memintaku untuk mengakhiri hubungan kita? Karena gadis inikah?"
Di belakang rak buku So Jung komat-kamit sendiri memberi komentar pada percakapan Woo Bin dan Yong Hee. Dugaannya benar. Selama ini hubungan kedua 'idola sekolah' ini memang tidak baik. Ciuman yang diberikan Woo Bin pada Yong Hee di pesta ulang tahunnya pasti karena paksaan saja.
"Aku…., sudah kubilang bahwa aku tidak akan bisa membina hubungan jarak jauh. Bukan karena aku takut tidak akan setia tapi…ayahku, kau tidak tahu siapa dia? Ketika dia menyuruhku untuk melanjutkan kuliah di Amerika, aku sendiri pun tidak tahu ke mana hidupku akan berlanjut. Hari ini ke Amerika,mungkin besoknya lagi aku akan kembali ke Korea lagi atau ketempat asing yang tidak aku ketahui..dan…"
Raut muka Yong Hee terlihat sangat serius dan penuh dengan amarah.
"Aku juga tidak tahu jadi apa aku nanti, …Oh Yong Hee, aku tidak pernah bisa jadi diriku sendiri. Aku akan selalu bergantung pada ayahku seberapa tidak sukapun aku pada dirinya. Aku tidak ingin kau terbawa dalam masalahku ini."
Mata Yong Hee berkaca-kaca. Air mata beningnya luluh. Ia tidak bisa membayangkan harus berpisah dengan Woo Bin setelah apa yang mereka lalui selama kurang lebih satu setengah tahun ini.
"Siapa gadis yang kau maksud?"
"Gadis yang membawa kue kering ke rumahku. Yang kau bilang adalah teman SD-mu."
Woo Bin terbelalak mengetahui kecurigaan Yong Hee pada Hye Seon. Ia sama sekali tak menyangka Yong Hee akan berpikiran dia menyukai Hye Seon.
"Lee ..Hye. S..eon?" Woo Bin menebak nama Lee Hye Seon dengan terbata-bata.
Mendengar namanya disebut, jantung Hye Seon seperti digenjot palu yang beratnya berpuluh puluh kilogram. Badannya menjadi dingin dan seketika nafasnya menjadi tidak teratur. So Jung, sama kagetnya, melongo bingung. Oh Yong Hee mengira ada hubungan istimewa antara Hye Seon dan Woo Bin? Mata sipit So Jung mengamati Hye Seon yang menatap takut kearahnya. Ia langsung ingin sekali menanyakan banyak hal pada temannya itu.
"Oh… Dia… dia.. hanya teman," jawab Woo Bin ragu. Wajah pemuda ini terlihat memerah menahan sesuatu. Oh Yong Hee sepertinya tidak terlalu puas dengan jawaban yang ia dengar.
"Apakah Hye Seon tidak pernah terlintas dalam pikiranmu? Aku mengerti alasanmu pergi ke Amerika. Tentang Hye Seon, banyak hal yang kau simpan tentang gadis itu yang tidak aku ketahui. Apakah kau menyukainya?"
Hye Seon sekali lagi merasa dirinya benar-benar seperti dibangunkan dari mimpi atau entahlah..ini benar benar bodoh. Oh Yong Hee menanyakan hal seperti itu pada Woo Bin.Mencintai? ah…bagaimana bisa? Tangan So Jung mendekap pergelangan tangan Hye Seon. Ia berusaha menenangkan Hye Seon yang terlihat mulai panik. Keringat dinginnya keluar. Air matanya juga mulai membasahi pipi putihnya.
"Yong Hee? Apa kau serius menanyakan hal ini?"
Yong Hee mengangguk. Ia sepertinya sudah siap dengan apa yang akan Woo Bin ucapkan. Setelah beberapa saat tak ada kalimat yang keluar dari mulut Woo Bin, gadis itu beranjak dari tempat ia berdiri.
"Kau perlu waktu untuk menjawabnya. Itu sudah membuktikan kalau kau memiliki perasaan khusus terhadapnya. Kau tidak perlu menghiburku.Baiklah kalau ini yang kau inginkan. Selamat tinggal. Kita putus!"
Terdengar langkah kaki berdentum keras meninggalkan ruang perpustakaan. Oh Yong Hee pergi meninggalkan Woo Bin yang masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Apakah ia benar menyukai Hye Seon? entahlah ia sendiri kurang bisa memahaminya? Lantas kenapa kata "tidak" itu susah sekali untuk diucapkan."Brrrak..ahh..ahhh," sambil berteriak keras Woo Bin memukul meja perpus dengan tinjunya. Ia kesal sekali. Kenapa banyak sekali yang muncul dalam benaknya sekarang. Ia tidak mampu untuk memilah-milah perasaan yang sekarang berkecamuk dalam dirinya. Sementara itu dibalik rak besar, So Jung menatap Hye Seon dalam-dalam mengharap sahabatnya ini bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
[1] Orang sangat kaya
[2] .Nasi campur ala korea