Chereads / Cinta Segi Empat / Chapter 3 - Kakek Kim

Chapter 3 - Kakek Kim

Hye Seon dan So Jung masih berjalan pelan melewati deretan kios kecil sampai mereka berhenti di sebuah kios lukis sederhana di pojok yang di tempati oleh seorang pelukis tua. Rambut putih laki-laki tua itu menyembul dari kepalanya yang kecil. Kaca mata minus tebalnya tergantung menjuntai di leher. Dia sedang sibuk melukis sebuah potret anak kecil. Ada sebuah papan berukurang 30 cm persegi digantung di dinding bertuliskan "melayani jasa lukisan".

"Apakah anda ingin saya lukis nona?"

Hye Seon terperangah kaget mendengar tawaran ramah kakek itu. Ia menoleh ke arah So Jung seolah meminta bantuan untuk menjawab.

"Ah tidak. Kami hanya ingin melihat-lihat. Lukisan kakek bagus sekali. Bolehkah kami melihat kakek melukis?"

"Terima kasih atas pujiannya. Silahkan duduk disitu jika kalian mau melihat orang tua ini melukis."

So Jung dan Hye Seon duduk di kursi kecil di samping deretan lukisan kakek itu.Tangan tuanya tampak gesit menggores gambar anak kecil yang ia lihat dari foto di depannya. Ia sama sekali tidak menggunakan cat lukis melainkan bubuk hitam yang dioleskan dengan tangan sebagai pewarna. Hasilnya, lukisan itu hanya seperti sebuah sketsa saja, namun terlihat sangat hidup dan sederhana.

"Ini bubuk grafit."

"grafit?" Hye Seon dan So Jung heran dengan penjelasan kakek ini tentang pewarna yang ia gunakan untuk lukisannya.

"Bahan pembuat pencil. Jika kau bisa mengoleskannya dengan baik, kau bisa mendapatkan degradasi warna yang bagus.Ini untukmu." Kakek itu memberikan sebuah kaligrafi karakter huruf cina kepada Hye Seon. Dengan ragu Hye Seon menerimanya.

"Kakek.tapi..Apa artinya?." "Ini karakter cina yang berarti cinta. Sepertinya kau suka melukis. Semoga kau diliputi dengan kebahagiaan dan cinta dalam hidupmu. Jika kau ingin menjadi pelukis professional, kau harus berlatih dengan keras. Yakinlah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kita mau berusaha."

Hye Seon tersentuh mendengar nasehat sederhana kakek ini. Dia bahkan sama sekali tidak mengenal Hye Seon.

"Gamsahamnida[1]. Saya sama sekali tidak tahu harus berkata apa. Anda baik sekali. Saya berjanji akan mengikuti nasehat kakek. Sekali lagi terima kasih."

Hye Seon dan So Jung pun berpamitan dan tak lupa terus mengucapkan banyak terima kasih. Nama kakek itu Kim Dong Jun. Bagi Hye Seon, pertemuannya dengan kakek Kim adalah pengalaman yang sangat mengagumkan.

...............

Pada jam istirahat So Jung tiba-tiba memberikan Hye Seon sebuah undangan ulang tahun berwarna biru. Ia mendapatkan undangan itu dari teman Woo Bin.

"Apakah kau yakin ini untukku?" tanya Hye Seon memastikan.

"Siapa lagi kalau bukan kau. Namamu Lee Hye Seon kan? Lihat, di situ tertulis Lee Hye Seon. Apa menurutmu aku salah?"

"Bukan begitu.Tetapi setahuku ada juga anak dari kelas lain yang memiliki nama yang sama denganku."

"Aku yakin undangan ini pasti untukmu," So Jung membolak-balik kartu kecil itu dan membacanya berulang-ulang.

"Benarkah? Kau yakin? Aku sendiri tak merasa seyakin itu." Muka Hye Seon terlihat tak bersemangat. Syal tebalnya dibiarkan saja menjuntai sampai ke lutut. Dia nampaknya tak bersemangat memperhatikan penampilannya yang agak berantakan.

"Kenapa kau tak begitu yakin?" So Jung bertanya khawatir.

"Banyak hal yang membuat aku tidak yakin. Dia sama sekali tidak pernah menyapaku. Dia tidak pernah berbicara denganku. Dan melihatku saja tidak. Bukankah aneh jika ia tiba- tiba mengundangku ke pesta ulang tahunnya?"

So Jung diam. Otaknya berpikir keras menganalisa kalimat Hye Seon. Jika selama ini tak ada hal yang menunjukkan kedekatan Hye Seon dan Woo Bin kenapa cowok itu berani mengundangnya ke pesta ulang tahunnya yang nota bene bukanlah pesta ulang tahun biasa. Bakal ada banyak siswa-siswa borju yang sangat suka mengkastakan diri mereka di pesta seperti ini. Hye Seon mungkin benar, ada yang tidak beres dengan undangan itu.

"Apakah ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?" selidik So Jung curiga.

"Maksudmu?" Hye Seon menoleh ke arah wajah So Jung, heran.

"Kau selalu menghindar setiap aku menyebut nama Woo Bin. Dan sekarang sama sepertimu yang begitu penasaran dengan maksud Woo Bin memberikan undangan ulang tahunnya padamu, aku juga bingung kenapa kau tiba-tiba menceritakan hal ini padaku. Apakah kau akan menceritakan kisahmu dengan Woo Bin? Ada yang belum kuketahui tentang dirimu, Lee ...Hye.... Seon?"

So Jung tak perlu menunggu lama untuk melihat reaksi Hye Seon.Temannya itu masih tetap sama. Menghindar dari percakapan tentang Woo Bin dan pergi begitu saja meninggalkan tanda tanya besar dalam kepala So Jung.

"Sebaiknya kau tak usah berbicara mengenai Woo Bin jika sikapmu seperti ini," So Jung menggerutu sendiri. Hye Seon benar-benar menyebalkan kali ini.

....

Hampir empat puluh lima menit Hye Seon memandangi kartu undangan ulang tahun dari Woo Bin. Dia masih susah mempercayai kalau Woo Bin mengundangnya.

"Apa maksud Woo Bin?" gumamnya dalam hati. Sambil berguling gelisah di atas tempat tidur, pandangan mata Hye Seon beralih pada dua lukisan yang terpajang tepat di hadapannya. Satu adalah gambar mawar sederhana yang diwarnai dengan krayon dan yang satunya lagi adalah kaligrafi karakter cina "ai" yang berarti cinta. Ada maksud dari setiap pemberian. Kakek Kim memberikan Hye Seon lukisan itu dengan harapan supaya Hye Seon lebih giat menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang pelukis professional. Dan Woo Bin? Hye Seon tersenyum sinis tidak mendapati alasan yang jelas kenapa Woo Bin memberinya gambar itu. "Sebagai tanda pertemanan mungkin," tebaknya dalam hati..

"Kakek Kim!"

Hye Seon setengah meloncat bangun dari tempat tidurnya. Disambarnya jas tebal, topi rajut dan sarung tangan hitam dari gantungan baju di dekat pintu keluar. Sebelum pergi ke toko, nyonya Lee mempersiapkan sebuah rantang berisi makanan yang diperuntukkan untuk kakek Kim. Ia meminta Hye Seon untuk mengirimkan makanan itu sebagai ucapan terima kasih karena telah memberinya sebuah lukisan indah. Setengah berlari Hye Seon mendekap rantang makanan itu di dadanya. Tidak seperti malam minggu biasanya, tidak banyak orang yang Hye Seon temui sepanjang perjalanan menuju pasar malam. Gundukan salju terlihat disana sini. Jalan terasa membeku terguyur salju yang baru berhenti sekitar sejam yang lalu. Udara dingin menerjang semua yang dilewati. Ranting ranting pohon pinus terdengar menggeretak menahan dingin yang amat sangat. Dengan bibir biru menggigil Hye Seon berjalan cepat menuju arena pasar malam. Ia berharap bisa bertemu dengan kakek Kim lagi. Ia ingin sekali mempelajari tehnik arsir grafit yang kakek Kim tunjukkan padanya dan So Jung seminggu yang lalu.

Pasar malam sangat sepi pengunjung kali ini.Tak banyak orang yang ia temui disana.Wahana-wahana bermain tampak lengang. Beda sekali dengan yang ia lihat seminggu yang lalu. Udaranya terlalu dingin. Mungkin orang enggan keluar. Hye Seon berjalan menuju kios dimana kakek Kim berada. Namun bukannya orang tua itu yang ia temui, ia mendapati kios kecil itu sudah kosong.Tak ada satu barangpun yang tersisa disana. Hye Seon mulai bingung. Ia mencari cari kakek Kim ke kios kios disamping kanan kiri. Barangkali ia menuju kios yang salah atau kakek itu sudah pindah ke kios yang lainnya. Setelah beberapa kali berputar-putar ia belum juga mendapati kakek Kim.

"Annyeong haseyo.Ahjussi[2] maaf…apakah kau tahu dimana kakek yang punya kios ini?" tanya Hye Seon pada seorang laki-laki sebaya ayahnya yang berjualan permen kapas tak jauh dari kios kakek Kim.

"Dia sudah meninggalkan tempat ini beberapa hari yang lalu.Udaranya terlalu dingin."

"Apakah ahjussi tahu kemana ia pergi?"

"Kalau tidak salah ke Seoul! " jawab ahjussi itu tanpa basa-basi.

"Seoul!" Hye Seon terhenyak kaget mendengar penjelasan paman tadi. Bagaimana mungkin ia harus mengejar kakek Kim kalau sekarang orangnya ada di Seoul? Dengan perasaan kecewa Hye Seon pun mengucapkan terima kasih pada paman itu dan pamit pulang. Sebenarnya ia sangat ingin belajar melukis dengan tehnik arsir grafit yang baru pertama kali ia temui selama ia mengenal seni lukis. Apalagi setelah bertemu dengan kakek Kim, Hye Seon merasa seperti menemukan kembali semangatnya untuk tetap meneguhkan cita-citanya menjadi seorang pelukis.

"Semoga aku bisa bertemu lagi denganmu kakek Kim," bisiknya dalam hati sambil melangkah meninggalkan area pasar malam.

Sekali lagi Hye Seon harus menerobos dinginnya angin malam yang membekukan tulang melewati jalan yang ia lalui tadi. Jalanan masih lengang dan penuh dengan gundukan salju. Sesekali Hye Seon berpapasan dengan orang yang tampak terburu-buru. Dinginnya udara terasa mulai menyusup ke sum-sum tulang. Ketika melewati sebuah taman kecil, sekilas Hye Seon melihat seseorang yang tampak familier di matanya. Orang itu duduk di atas ayunan membelakangi jalan. Hye Seon menghentikan langkahnya. Ingin sekali ia kesana dan menyapanya namun sesuatu yang aneh dalam hatinya melarangnya untuk melakukan hal itu. Bagaimana jika kehadirannya tidak diinginkan atau untuk apa ia harus kesana? Belum sempat ia berpikir untuk meneruskan langkahnya terdengar suara laki-laki itu memanggil namanya.

"Lee Hye Seon, benarkah itu namamu?"

Sebagian wajah Woo Bin tertutup syal tebal yang melingkar di lehernya. Sekujur tubuh Hye Seon mulai terasa aneh. Kakinya terasa lemas dan jantungnya berdetak tak karuan.

[1] Terima kasih (formal)

[2] Ahjussi : paman