Chereads / Liburan Ter - Angker / Chapter 11 - sosok tanpa wujud

Chapter 11 - sosok tanpa wujud

Pernah kah kamu terjebak dalam keangkuhan? Angkuh pada Tuhan yang menciptakan langit bumi dan isinya? Tak percaya adanya makhluk lain selain manusia. Mereka jelas ada dan nyata.

Ini kisah tentang ayahku, sosok lelaki dan cinta pertamaku. Wajahnya tampan, senyumnya yang selalu menggoda dan keramahannya, membuat orang di sekitarnya selalu merasa nyaman.

Ayahku, salah satu manusia yang tak pernah percaya akan hal ghaib, baginya mereka itu tidak ada dan tidak nyata. Tak ada sedikitpun rasa takut di hatinya.

Suatu sore, ibu berpesan. "Kalau pulang kerja jangan malam malam ya yah, daerah sini masih rawan. Maklum ini desa kecil, bukan kota." Kami saat itu masih tinggal dengan kakek, nenek dan para sepupu di desa kecil, di ujung kota malang.

Jika siang desa itu begitu indah, adem, pemandangan dengan hamparan sawah menghijau. Warga warganya pun ramah, saling bantu membantu.

Namun jika malam menjelang, kampungnya serasa kampung mati. Tidak ada satu orang saja yang berani keluar kecuali keadaan darurat. Karena kepercayaan mereka, banyak makhluk halus yang sering menggoda mereka jika keluar selepas adzan Maghrib.

"Iya, ayah siang sudah pulang kok mi." Ayahku pun mengecup keningku dan memeluk ibuku seraya berpamitan.

Setelah berpamitan, ayahku pun pergi. Hingga siang menjelang sore, ayah tak kunjung pulang. Ibu sudah resah, hatinya tak tentram. Sebentar sebentar menoleh pada arah jam dinding yang terpasang di ruang keluarga.

"Bojomu Nandi mi kok durung muleh ( suamimu kemana mi kok belum pulang?) Tanya si Mbah sambil mengupas singkong sore itu.

"Tirose Ten malang Mak, wau sanjang mantuk siang. ( Katanya ke malang Bu, tadi bilang pulang siang.)"

" Bojone Mbah mariem Sedo mau awan, kesamber petir pas angon bebek nek mburi omah e. ( Suami Mbah mariem meninggal tadi siang, kesambar petir waktu ternak bebek di belakang rumahnya.)"

Kulihat raut wajah ibuku begitu tegang, kata si mbah, orang yang meninggal kesambar petir matinya tak wajar.

Adzan Maghrib sudah berkumandang, tapi masih tak ada tanda tanda ayahku pulang. Hingga ibu pun menyerah pasrah.

"Nek ancen moleh mengko lak moleh, tapi nek ancen ga moleh mugo mugo selamet nek ndalan. ( Kalau emang pulang nanti juga pulang. Tapi kalau emang gak pulang, semoga selamat di perjalanan.)" Doa ibu lirih di atas sajadahnya.

Brak..brak..brak..

Ibu terbangun, berlari menuju pintu ruang tamu. Tanpa sepatah kata, ibu kembali ke dapur dan mengambilkan air minum untuk tamunya. Aku yang ketakutan dengan suara gedoran pintu hanya bisa mengintip dari balik selambu ruang tengah.

"Ya Allah.. teko ndi toh yah? Jare muleh awan, kok Yo malah balek subuh. ( Ya Allah, darimana toh yah? Katanya pulang siang, kok malah pulang subuh.)" Seru ibuku kala itu, aku mengerti keadaan hatinya yang resah, gelisah, karena semalaman ayah tak ada kabar.

Ku beranikan diri berjalan menuju ruang tamu, kala itu aku kelas 5 SD. Melihat ayahku berwajah pucat, aku hanya terdiam dan kembali ke dapur mengambilkan air minum lagi.

"Sek toh, tak critani. ( Sebentar, aku ceritain.)" Ayah meneguk lagi air putih pemberianku.

"Wingi awan aku wes moleh mi, wes numpak angkot. Kok ndelalah dompetku keri nek nggon kerjo, dadi aku balek maneh njupuk dompet. Pas mari njupuk, aku ga Nemu angkot sampe sore. Akhire aku numpak bis. Lah neng bis Kuwi, aku keturon. Sampe di gugah supir e, tibak e kebablasen. ya wes aku nyegat truk sek sak jurusan arah moleh.

( Kemaren siang aku sudah pulang mi, sudah naik angkot. Lakok malah dompet ketinggalan di tempat kerja, jadinya aku balik lagi ambil dompet. Setelah ambil dompet, aku ga dapat angkot sampai sore. Akhirnya aku naik bis. Lah di bis aku ketiduran. Sampai di bangunkan pak Supir, ternyata tujuanku sudah kelewatan. Ya sudah aku pulang nebeng truk.)

"Lah terus kok sampe isuk ngene yah?" ( Lah terus kok sampe pagi begini yah?)

"Lah jam songo bengi aku sampe pinggir Embong clum**, aku se santai AE. Dalanan isih rame. Lah kan ngerti , teko dalan gede Nang omah 4km. Lumayan toh nek mlaku, dadi aku mlaku Alon Alon. Eh lakok pas sampe mburi omah, pas ngelewati omah e Mbah mariem, Ono wong tenguk tenguk nggo klambi Ireng kopyahan. Nek tak was i koyok bojone Mbah mariem, dadi tak sopo."

(Lha jam 9 malam aku sampai pinggir jalan besar clum**, aku santai saja. Jalanan juga masih ramai. Lah kan tau,dari jalan besar ke rumah itu 4km. Jadi aku jalan pelan pelan. Eh lah pas sampe belakang rumah, pas lewat depan rumah Mbah mariem, ada orang duduk duduk pakai baju hitam berkopyah. Seperti suami Mbah mariem, jadi aku sapa)"

"Terus?" Tanya ibu mengamati wajah ayah.

"Lah pas tak salam mi, gak jawab. Padahal wong e lungguh Karo rokok an sedal sedil. Berhubung salam ku ora di jawab, ya aku bablas AE. Lah pas oleh petang langkahan paling, lakok aku krungu suara wong njaluk Tulung."

( Lah pas aku ucapin salam mi, ga di jawab. Padahal orangnya duduk sambil rokok an sedal sedil. Berhubung salamku gak di jawab, aku jalan lagi. Lah pas dapat empat langkah an, aku dengar suara orang minta tolong )"

"Aaaaaduuuuuuuh.." lanjut ayahku menirukan suara tanpa rupa.

"Sinten nggeh ? ( Siapa ya ?)"

Tapi ga Ono jawaban, dadi aku mlaku maneh.

"Aduuuuuuuuuuuuuuh... Suarane tambah cidek, dadi tak toleh. Tapi ora Ono sopo sopo"

( Aduuuuuuh.. suaranya semakin dekat, jadi aku toleh. Tapi gak ada siapa siapa)

"Sinten nggeeeeeeh..( siapa yaaa??) " Suarane kok ke arah isor wet klopo mburi omah e Mbah mariem mi, dadi tak tutne.

( Suaranya kok ke arah bawah pohon kelapa belakang rumah nya Mbah mariem mi, jadi aku ikuti kesana )

"Aaaaaaaaduuuuuuuuuuuuhhhh... Suarane tambah cedak, pas Nang kuping ku mi. Rasane kupingku koyok di sebul. Saking kaget e aku Melayu, kudu ne mlayu arah ngomah wong garek pirang meter AE, malah mlayu mbalek Nang baledeso cedak dalan gede clum**, aku mlebu pendopone baledeso, kok pas akeh arek turu, aku mlasak turu tengah tengah. Moleh Iki mau aku Alon Alon Karo nggolek i sandalku ilang siji tak nggo mlayu mau bengi."

( Aaaaaaduuuuuuuuuuuuuu.. suaranya semakin dekat, pas banget di telingaku mi. Rasanya telinga seperti ada yang niup. Karena kaget banget aku lari, harusnya lari ke arah rumah yang jaraknya tinggal beberapa meter aja. Eh malah lari balik ke balai desa dekat jalan besar clumm**, aku masuk pendopo balaidesa , kok pas banyak orang tidur, aku ndusel aja ke tengah tengah. Pulang ini tadi aku pelan pelan sama nyariin sandalku yang ilang satu tak pake lari semalam."

"Wakakakaka... Makane talah nek di kongkon moleh awan iku moleh awan, ayah kan biasa janjine ngaret. Saiki percoyo kan nek demit iku ono?" Tanya bunda bersungut-sungut.

( Wakakakkaak... Makanya kalau di suruh pulang siang itu, ya pulang siang. Ayah kan biasa janjinya ngaret. Sekarang percaya kan kalau makhluk halus itu ada)

" Gak.. paling kupingku krungu krunguen efek luwe Karo ngantuk."

( Gak.. mungkin telinga ku bermasalah efek laper dan ngantuk )" jawab ayah meninggalkan kami di ruang tamu.

"Yah.. semalam suami Mbah mariem emang meninggal, kesamber petir."

"Innalilahi wa innailaihi rojiun.. mosok arwah e gentayangan?"

"Makane talah, percoyo o." Ucap ibu masuk kamar membawa celana robek pemberian ayah, sepertinya saking takutnya semalam ,ayah gak sadar kalau celana bagian tengah nya robek. Hahahaha...