Chereads / Liburan Ter - Angker / Chapter 15 - Suara tanpa Rupa

Chapter 15 - Suara tanpa Rupa

Lantunan ayat ayat Alquran itu membuatku tak berdaya, Yach.. ternyata bukan hanya suamiku yang di buat mabuk oleh ayat ayat suci tersebut, aku pun tak henti hentinya merintih,bahkan teriak kesakitan, tubuh ini seakan di hantam api, kepanasan.

Di sisi lain suamiku sudah tak berdaya, dia muntah sejadi jadinya. Aku kira muntahannya biasa saja. Setelah selesai kami ruqyah, dia bercerita bahwa isi muntahannya adalah darah dan rambut.

Ustadz yang meruqyah kami memberikan wejangan, mengajarkan pada kami bagaimana cara ruqyah mandiri dirumah. Berminggu-minggu kami masih mondar mandir ke tempat Ruqyah tersebut, perlahan tapi pasti kondisi suami semakin membaik.

Dia sudah bisa bangun dari tidurnya, sudah mulai bisa makan meski harus makan bubur, wajahnya sudah mulai cerah lagi. Aku dan keluarga sangat bersyukur melihat suamiku kembali sehat meski keadaannya belum pulih benar.

Di Griya Ruqyah kami di ajarkan bagaimana cara mendekatkan diri pada Sang Illahi, kami sadar bahwa selama ini kami begitu jauh dari Tuhan. Kami belajar menata kembali rumah tangga yang nyaris berantakan, kami belajar ilmu untuk memperkuat iman.

***************

Hari hari berganti, bulan pun berlalu, tak terasa rumah kontrakan ini sudah mau habis dan waktunya memperpanjang lagi atau pindah. Keadaan rumah kontrakan ini tetap saja seperti itu, tak luput dari gangguan gangguan mereka. Terlebih lagi suara hentakan kaki yang semakin hari, semakin intens dan semakin keras di setiap malamnya dan aku mulai terbiasa dengan suara itu. Hanya saja yang membuat ku tak nyaman, rewelnya si kecil setiap suara itu datang.

"Selamat pagi Bu Awi.." sapa tetangga kiri mengagetkanku yang sedang sibuk menenangkan si kecil pagi itu. Wajahku kusut karena tidak bisa tidur, si kecil rewel semalaman.

"Eh pagi Bu gotot, masak apa nih?" Tanyaku sambil menghampirinya yang sedang memilih milih sayuran di tukang sayur.

"Halah ini, anak anak minta bikin kan udang tepung, ayam rica rica dan sambel tuna. Ibu masak apa hari ini?" Entah mengapa pagi itu senyumnya begitu simpul tak ikhlas. Ada guratan kebencian saat melihatku keluar dri pagar rumah.

"Hemmm.. belum tau nih Bu, paling bikin sayur SOP dan dadar jagung."

"Masa itu aja? Ga ada ikannya? Kurang gizi Donk." Ucapnya tanpa menoleh padaku, dan aku hanya membalasnya dengan senyum.

"Oh iya Bu, ibu sudah cari rumah baru? Rumah ini kan kontrakannya mau habis, rencana mau saya beli. Apa yang punya sudah bilang?" Aku menamatkan wajahnya, mencari kesungguhan atas kata katanya, benarkah atau hanya bualan semata? Karena bukan cuma sekali dua kali Bu Gotot berkata begitu padaku. Bahkan sampai aku hubungi si pemilik rumah, tapi jawabannya tidak di jual.

"Heheheh.. sepertinya saya perpanjang Bu, habis kontrakannya murah banget di Banding yang lain." aku melihat keterkejutan pada mimik wajahnya, wajahnya yang dari tadi penuh senyum meski tak ikhlas tiba tiba berubah masam.

"Bu Awi, semalam saya lihat anak kecil laki laki di loteng Bu Awi. Dia duduk menghadap rumah saya, saya minta tolong di tegur ya bu! Takut kalau dia jatuh mengenai rumah saya." Dan sekarang aku yang dibuat terkejut. Loteng itu yang dari awal Sulit di buka, kemarin dengan bantuan tukang saat membenahi atap rumah yang bocor akhirnya terbuka.

Loteng itu hanya berisi kan ruangan terbuka khusus jemuran dan tandon air berukuran jumbo di sudut dindingnya. Terus.. kalau anak kecil di bilang duduk menghadap rumahnya, anak siapa dan duduk dimana? Secara loteng dindingnya sangat tinggi.

Aku kembali berfikir negativ.

"jangan jangan isi tandon itu mayat anak kecil? Jangan jangan hentakan langkah tiap malam itu suara arwah anak kecil itu yang ingin meminta tolong. Jangan jangan... Ah" ku tepiskan pikiran pikiran tak masuk akal dari otakku.

Dan aku mulai mencium gelagat yang tak beres pada tetanggaku satu ini, kadang dia baik, kadang dia sinis. Kadang menyapa, kadang pura pura tak kenal. Seakan akan dia memiliki kepribadian ganda.

"Mari Bu, saya permisi masih mau masak dan bersih bersih rumah." Ucapku melempar senyum dan meninggalkan tukang sayur. Lagi lagi dia tak menjawab dan berlalu begitu saja.

Setelah aku menyiapkan dan mencuci bersih semua bahan bahan sayuran yang aku beli di tukang sayur tadi, Ku ambil panci dan ku isi air, setelah terisi setengah, aku letakkan di sebelah bahan masakan yang sudah aku siapkan di atas meja dapur.

Aku lanjutkan membelah udang, mengeluarkan kotorannya dan mencucinya kembali. Udang yang aku beli kemaren di pelelangan ikan dan sengaja aku simpan dalam freezer kini sudah bersih dan siap di goreng dengan tepung. Sebelum menggoreng udang, aku nyalakan kompor, niat ingin merebus air untuk membuatkan bubur si kecil. Tapi, panci yang sudah aku isi air tadi mendadak raib entah kemana.

"Lho.. kemana toh si panci ini?" Gumamku mencarinya. Aku betul betul ingat, panci berisi air tadi aku letak kan di sebelah bahan sayuran. Tapi yang ada sekarang hanya sayuran yang sudah bersih dan siap untuk di masak tanpa pancinya.

Aku buka kembali rak rak tempat panci dan pasukannya,aku tutup lagi karena panci yang aku cari tak ada disana. Aku kembali ke meja dapur, tapi tetap saja panci itu tak ada.

"Ya .. Allah." Mataku menemukan benda logam berisi air itu ada di atas meja ruang tamu. Aku ga habis pikir, bagaimana bisa benda berat itu berpindah dengan sendirinya sampai sejauh itu.

"Ma.." langkahku terhenti. Ada suara halus masuk ke dalam telingaku. Bulu kudukku pun mulai berdiri, siapa yang memanggil ku? Aku terdiam, menanti kembali suara berikutnya.

"Maaaaa..." Aku berlari keluar, seakan menyadari sesuatu. Ku buka pintu pagar yang sedari tadi di gedor gedor dari luar dan aku merasa lega.

"Mama Amira, saya antar kue."

"Alhamdulillah.." ucapku dalam hati, ingin rasanya menertawakan kebodohanku, aku mengira suara tadi adalah suara makhluk yang selalu datang menggangguku saat sedang sendirian. Tapi ternyata, tetangga ujung kampung yang datang mengirimkan nasi kotak,aqiqah anaknya.

"Terima kasih Bu Syukur, maaf lama buka pagarnya."

"Bu sari betah tinggal di sini?" Bu syukur celingak celinguk melihat isi rumahku.

aku hanya tersenyum dan mempersilahkan masuk. "Mari Bu, silahkan masuk."

"Oh nggak Bu, saya belum selesai keliling. Kapan kapan saja saya maen. Oh iya Bu, kata Bu Gotot rumah ini mau di beli ya?" Aaaahh.. lagi lagi tetanggaku itu membuat pernyataan itu lagi. Sepertinya informasi bahwa rumah yang ku tempati mau di belinya sudah menyebar seantero perumahan.

"Oh, iya kah Bu? Saya malah belum tau."

"Hehehe.. yang sabar saja sama Bu gotot, sebenarnya orangnya baik. Hanya suka membual saja." Lanjutnya seraya pamit.

"Hemmm.." aku membuang nafas panjang. Tetanggaku itu tak pernah menyerah, mungkin ingin membeli rumah ini dan membesarkan bisnis laundry nya.

"Maa.." aku terperanjat, lagi lagi suara itu datang. Jelas ini bukan suara dari luar rumah. Aku mengitari pandangan dan melangkah perlahan, namun tak ku temukan siapa siapa.

"Mama.." suara itu semakin nyaring dan aku berlari ke dalam kamar karena merasa suara itu berasal dari dalam kamar tempat Amira tidur.

"Astaghfirullah.." mulutku menganga, antara gemas dan sebal. Suara itu berasal dari ponselku yang berada di sebelah Amira. Sepertinya tak sengaja Amira memencet tombol dial plus laudspeaker pada nama Suamiku.

"Hahahha.. aku parno, sumpah. Aku kira ada suara tanpa rupa memanggilku." Aku tertawa terpingkal-pingkal karena geli.

"Lak ono Ono AE talah, mungkin tadi ga sengaja kepencet Amira. Kan lampunya kedap kedip ma."

"Hahahha iya, kenapa pa? Ada masalah di kantor?"

"Engga, prepare ya, besok kita family gathering ke Anyer. Mama pasti suka, sekalian refreshing, toh kita lama ga liburan."

"Alhamdulillah.." hatiku bersorak, setelah apa yang kami alami. Kami benar benar membutuhkan liburan yang panjang. Dan lagi terselip kebahagiaan tersendiri jika harus meninggalkan rumah horor ini.

"Siap pa.. nanti mama siapkan semua keperluan kita, berapa hari?"

"Tiga hari, nanti kita mampir kerumah tante ya ma, kata mama dulu rumah Tante dekat sama Anyer."

"Boleh.. ya udah, ati ati kerjanya. Pulangnya jangan malam malam ya pa." Suamiku sudah kembali pulih, sudah kembali bekerja lagi. Aku merasa bersyukur, setelah dia pulih, dia kembali seperti mas Awi yang dulu. Kalem, sabar, penyayang dan humoris, setelah sembuh dari sakit yang hampir menghilangkan nyawanya, dia selalu meminta maaf padaku. Membantu di setiap pekerjaan rumahku, ah Tuhan.. terima kasih.

"Mama.."

Deg !! Darahku berdesir, ku tatap cermin dalam kamar. Ada sosok putih terikat dengan wajah penuh lubang menatapku.