Entah sudah berapa lama aku mendudukan diriku di tengah kursi kosong taman ini. Meratapi kejadian apa saja yang sebelumnya terjadi dan mungkin akan kembali terjadi di kemudian hari pada diriku.
Semuanya palsu, pikirku.
Teman palsu, ibu tiri yang penuh kepalsuan dan begitu membenciku, ayah yang berubah, kekasih brengsek, oh apa lagi? kenyataan jika ibu kandungku meninggalkanku dengan ayah yang sempurna. Mungkin ibu kandungku itu berpikiran seperti itu, tetapi ia tidak sesempurna itu, ia bahkan tidak memedulikanku lagi. Jika saja aku bisa memilih, siapa wanita yang akan melahirkanku ke dunia ini, aku tidak akan memilih Emma Wilson untuk melakukannya, sekalipun hanya dirinya wanita yang ada di dunia ini. Ia bahkan tidak pantas di sebut ibu, ia bahkan sama buruknya dengan Kyristal, oh bahkan lebih buruk karena dengan teganya ia meninggalkan anaknya pada ayah yang bahkan tidak memedulikan anaknya lagi.
Betapa menyedihkannya hidupku ini.
Aku mengadahkan kepalaku, menatap langit yang seakan ikut murung melihat penderitaanku. Apa hidup memang sesulit ini? Apakah mendapatkan cinta, ketulusan, dan kepedulian yang tanpa disertai kepalsuan adalah sebuah hal yang mustahil untukku? Ya, hal itu mungkin terasa sangat-sangat mustahil bagiku. Karena terlalu mustahil, mungkin rasanya sekarang akan lebih baik jika aku mengakhiri hidupku ini. Toh, jika aku mati, luka yang begitu menyakitkan ini mungkin akan berhenti, dan ayah akan selalu mengingatku dalam kehidupannya.
Ya, ayah mungkin akan sadar jika anak perempuan satu-satunya memilih mengakhiri hidupnya karena ayahnya tidak peduli lagi kepadanya, dan aku tidak akan merasa bersalah ketika kehidupan ayahku nantinya akan dipenuhi penyesalan itu. Aku mungkin akan tersenyum dalam kuburku jika aku dapat melihat penyesalan itu.
Aku ingin dirinya menyesal karena tidak bisa menjaga anaknya, aku ingin dia tahu jika dia bukanlah ayah yang baik dan ia bukanlah seseorang yang pantas di sebut sebagai ayah.
Delapan tahun terakhir ini, aku menjalani kehidupanku dengan penuh rasa muak, kesal, lelah, dan bosan, yang begitu menyakitkan. Tanpa arah dan tidak ada gairah di dalamnya. Dan yang membuatnya semakin memburuk adalah ketika tidak ada seorangpun yang mencoba memahamiku dan mencoba berjuang bersamaku.
Kehidupan sosial yang penuh dengan kepalsuan, status sosial bodoh yang dielukan orang-orang, kekasih brengsek dan orang tua yang tidak berguna. Merasakan itu semua, membuatku tidak dapat lagi menahannya, rasanya tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan hidupku. Jika aku memilih untuk terus hidup dalam lingkaran kesakitan ini, kurasa aku akan kalah dan berakhir dengan kehidupan yang lebih menderita, jika tidak mengakhirinya sekarang mungkin aku akan mati dalam kesakitan yang lebih parah.
Keputusanku sudah bulat. Aku akan mengakhiri kesakitan ini.
Dengan perlahan, aku mencoba berjalan ke arah jembatan yang berada beberapa meter dariku itu. Mungkin jika aku menjatuhkan diriku ke sana, aku tidak secara langsung akan mati begitu saja. Mungkin aku perlu hanyut atau tenggelam untuk membuatku mati.
Jantungku berdegup dengan kencang ketika aku mencoba untuk menaiki pembatas jembatan itu. Aku menarik napas panjang. Aku tidak dapat berbohong jika aku tidak takut akan hal ini, tetapi....
Ya, ini yang kuinginkan, tidak... ini adalah hal yang perlu aku lakukan. Ini adalah satu-satunya jalan untuk memutus kesakitan yang selama ini kurasakan.
Aku bersiap untuk melompat, ketika sebuah suara menghentikanku.
"Kau Annemarie Hoover, kita berada di kelas matematika yang sama," aku tidak mengenali suara itu. Aku mencoba menghiraukannya dan kembali bersiap untuk melompat.
"Jika kau terjatuh ke dalam air sungai itu, itu tidak akan membuatmu sakit, itu hanya akan membuat bajumu basah," aku mendegus kesal. Ada apa dengan orang aneh ini?
Aku menunda rencanaku untuk melompat. Kemudian bersiap meneriaki orang itu yang ternyata adalah seorang Travis Mason, si lelaki aneh penderita sindrom asperger itu.
"Bisakah kau pergi dari sini, Travis?" Pintaku padanya. Ia tidak mengindahkan pertanyaanku, ia malah diam dan menatap ke arah lain selain diriku.
"Kau harus pergi dari sini Annemarie, hujan sebentar lagi akan turun," Ya, aku telah menyinggung bukan jika langit pun ikut muram melihat penderitaanku.
Setelah mengatakan hal itu padaku, ia berlalu pergi begitu saja, meninggalkan kusendirian di pinggiran jembatan dengan pemikiran aneh yang melingkupiku.
Travis Mason bersikap sangat aneh padaku. Ia tidak melarangku untuk melompat, ia malah seperti mengejekku jika tempat yang kupilih tidaklah tepat untuk mengakhiri hidupku. Ia memang aneh, sangat-sangat aneh. Namun, satu hal yang menarik perhatianku. Travis tidak mengenalku, kami bahkan tidak pernah saling bicara, tetapi ia memperingatiku seperti ia peduli padaku? Peduli? Apa itu tulus? Rasa peduli yang sudah lama tidak kurasakan, bentuk kepedulian yang sudah lama kuinginkan untuk kembali mengisi kehidupanku.
Apa Travis Mason pedulu padaku?
***
"Hei, kau mau kemana?" aku tidak tahu, arwah apa yang merasukiku hingga membuatku memutuskan untuk mengikuti Travis yang berjalan cepat tanpa memedulikanku yang kesulitan mengikuti langkah lebarnya itu.
Ia terus berjalan, sesekali ia berhenti di dekat semak-semak dan mengamatinya sebelum akhirnya kembali berjalan. Mungkin aku terlihat seperti orang bodoh karena mengikutinya dan sesekali menirukan apa yang dilakukannya. Hei, aku juga tidak tahu apa yang kulakukan. Selain itu, untuk orang seperti Travis, kupikir tidaklah baik jika ia berkeliaran di malam-malam seperti ini.
"Travis!" aku memanggilnya. Membuatnya berhenti secara tiba-tiba.
"Hei Travis, aku bertanya padamu, kau mau pergi kemana?" ia tidak menjawabnya. Tangannya bergetar, ia sejak tadi tidak berhenti menggumamkan kata 'aku tidak menemukannya'. Kali ini ia mulai menjambaki rambutnya, membuatku merasa panik dibuatnya.
"Travis?" aku tidak berani menyentuhnya, tetapi melihatnya seperti itu membuatku takut jika ia akan menyakiti tubuhnya sendiri.
"Hei," aku mencoba meraih tangannya, kemudian memaksakan wajahnya untuk menatapku.
"Travis, kita akan menemukannya," yakinku padanya. Ya, kita akan menemukan sesuatu yang sama sekali tidak kuketahui itu.
"Aku akan membantumu menemukannya," ujarku menenagkan. Napasnya yang semula memburu kini mulai stabil. Membuatku sejenak bisa bernapas lega mengetahui jika ia telah tenang dan baik-baik saja.
Sebuah sorotan dari lampu mobil yang berhenti dihadapan kami, membuat kami menutup mata karena merasa tidak nyaman dibuatnya. Sedetik kemudian seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan muncul dari arah pintunya. Aku tidak tahu apa yang dilakukan wanita itu dengan berhenti dihadapan kami seperti ini.
"Travis!" Ternyata ia mengenal Travis. "Sayang, ibu mencarimu kemana-mana," wanita itu merengkuh Travis ke dalam pelukannya. Ia kemudian menyentuh kepala, pundak, juga lengan Travis, seperti memastikan jika Travis baik-baik saja.
Ternyata ia adalah ibunya, dan ia terlihat sangat peduli kepadanya.
"Aku tidak bisa menemukannya, aku tidak bisa menemukan Brave dimanapun!" Ujar Travis sembari kembali menjambaki dan memukul-mukul kepalannya.
Ibunya mencoba menyingkirkan tangannya yang sedari tadi digunakannya untuk menjambaki rambutnya sendiri itu, sebelum kembali berujar, "kau mencari Brave? Ia baru saja pergi bersama ibu ke klinik hewan."
"Dimana dia sekarang?" Travis bertanya tanpa menatap pada ibunya.
"Ia ada di rumah sekarang bersama Nana," Travis mengangguk.
Seperti tersadar jika ada seseorang diantara mereka, Ibu Travis mengalihkan pandangannya padaku, membuatku dengan cepat mengulurkan tanganku dan bersiap memperkenalkan diriku, "perkenalkan saya-"
Travis memotong perkataanku, "dia Annemarie Hoover dia berada di kelas matematika yang sama denganku," ia memperkenalkanku seperti kejadian dimana ia mengenaliku di jembatan tadi.
"Hai, Nyonya Mason, saya Annemarie Hoover, saya berteman dengan Travis," aku kembali memperkenalkan diriku.
"Bianca Mason," ujarnya singkat, sebelum menjabat tanganku.
"Dia bukan temanku, kami hanya berada di kelas matematika yang sama. Ketika aku mencari Brave, aku melihatnya berusaha melompat dari jembatan," mataku seketika melebar mendengar perkataannya. Hei! Perlukah ia mengatakan hal itu pada ibunya?
"Benarkah?" Nyonya Mason yang semula memperhatikan anaknya berbicara mengalihkan pandangannya kepadaku, membuatku merasa malu akan hal itu.
"Apa kau baik-baik saja, Annemarie?" aku terkejut ketika Ibu Travis menanyakan hal itu padaku. Terkejut karena orang ini baru saja mengenalku, tetapi ia merasa peduli padaku? Uh, bagaimana dengan kabar ayahku sendiri?
"Ya, saya-" sebelum menyelesaikan perkataanku, hujan tiba-tiba turun, membuat Nyonya Mason dengan segera menuntun Travis ke dalam mobilnya, sementara aku hanya mengamati mereka saja dari tempatku berdiri.
"Annemarie! Ayo, masuklah," tanpa diminta dua kali, aku segera masuk ke dalam mobilnya.
Di dalam mobilnya, aku dapat melihat beberapa foto Nyonya Mason dan Travis di sana, bergantung di kaca spion kecil yang ada di dalam mobil itu.
"Jadi dimana rumahmu?" Nyonya Mason bertanya, membuatku sejenak bingung harus menjawab apa. Hari ini, sepertinya aku tidak berniat untuk pulang ke rumah.
"Tidak perlu mengantarkan saya, Nyonya, saya lebih baik turun di sini saja," aku menolak dengan lembut, tidak ingin menyakiti Ibu Travis.
"Aku tidak mungkin membiarkanmu berkeliaran sendirian malam-malam begini. Aku tidak akan menurunkanmu sebelum kau mengatakan alamatmu," kalau begini aku harus bagaimana? Aku benar-benar tidak ingin pulang ke rumah dan bertemu ayah juga Krystal.
"Begini saja, kau bisa ikut kami ke rumah, jika kau tidak ingin memberitahuku alamat rumahmu," itu terdengar jauh lebih baik dari pada harus bertemu orang-orang yang memberiku alasan untuk mengakhiri hidupku hari ini.
"Jika Anda tidak keberatan, saya akan sangat berterima kasih, Nyonya Mason," ujarku lembut.
"Bianca, panggil saja Bianca," ujarnya tersenyum yang membuatku ikut tersenyum membalasnya.
***
Bianca menghentikan mobilnya di depan sebuah pekarangan rumah yang cukup luas. Di sana aku dapat melihat sebuah rumah sederhana, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil berdiri kokoh di tengahnya. Rumah itu memang terlihat sederhana, tetapi tanaman yang mengelilinginya membuatnya terlihat begitu indah dan menyenangkan.
"Ayo, masuk," Bainca mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya. Aku dapat melihat isi rumah yang tidak berlebihan itu, sekali lagi, kalimat sederhana benar-benar menggambarkan rumah ini.
"Oh Tuhan, darimana saja kau Travisku," dari arah lain muncul seorang wanita tua, yang mungkin seumuran dengan nenekku, jika dirinya masih hidup. Wanita tua itu dengan segera berjalan dan memeluk Travis yang sibuk membelai anjing golden miliknya itu.
Oh, mungkin itu Brave.
"Nana sangat khawatir, kau tahu itu?" ia mengecup kedua pipi Travis, kemudian membiarkannya kembali bermain dengan anjingnya itu.
"Jadi siapa ini?" ia melemparkan pandangannya padaku, membuatku terseyum.
"Saya Annemarie-" perkataanku kembali terhenti ketika Travis melanjutkan, "dia Annemarie Hoover dia berada di kelas matematika yang sama denganku," ia memperkenalkanku sangat persis seperti sebelum-sebelumnya. Uh, bahkan ia tidak menatap neneknya sendiri ketika mengatakannya.
Wanita tua itu kemudian memelukku, membuatku merasa terkejut dibuatnya. Aku sangat jarang mendapatkan perhatian seperti ini, jadi wajar bukan jika aku merasa terkejut dibuatnya?
"Aku Viona Mason, kau bisa memanggilku Nana," aku tersenyum mendengar keramahan yang terdengar dari suaranya.
"Ugh, pakaianmu basah semua, kau perlu berganti pakaian. Apa kau sudah makan? aku harus segera menyiapkan makanan kalau begitu." Tanpa menunggu jawabanku, ia berlalu pergi meninggalkanku.
Sementara aku membatu melihat perlakuan yang diberikan keluarga ini padaku. Ya Tuhan, aku bahkan sampai lupa, kapan terakhir kali seseorang melakukan hal seperi ini kepadaku.
"Ayo, Annemarie, ikutlah denganku untuk berganti pakaian," Bianca mengulurkan tangannya kepadaku, membuatku segera meraihnya dan mengikutinya.
***