Chereads / Travis Mason / Chapter 7 - Tujuh

Chapter 7 - Tujuh

Setelah selesai menyantap ice cream kami, kami memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki, ya tentu saja, karena sebelumnya kami memang tidak membawa kendaraan apapun. Sebenarnya aku belum ingin pulang ke rumah, aku masih ingin melakukan sesuatu dengan Travis, tetapi aku terlalu bingung untuk melakukan apa dengannya, sehingga aku memutuskan untuk mengikutinya pulang ke rumahnya, karena dengan itu aku akan dapat bertemu dengan Nana dan mungkin juga dapat bermain sejenak bersama Brave. Rencana awalku memanglah seperti itu, tetapi Travis mengacaukannya. Ia berpikir jika aku ikut pulang dan mengantarnya ke rumahnya bukanlah suatu hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang perempuan kepada seorang lelaki. Travis bersikukuh mengatakan jika siapa yang seharusnya mengantar siapa adalah dirinya yang seharusnya mengantarku, bukan sebaliknya. Namun, aku ingin memastikan jika ia akan baik-baik saja untuk sampai ke rumahnya, tetapi Travis sepertinya tidak setuju akan hal itu. Tanpa mengatakan apapun kepadaku, Travis dengan diam berjalan ke arah jalan yang menuju ke rumahku, bukan rumahnya. Aku tidak tahu dengan apa yang harus kuperbuat kepadanya ketika ia bisa berpikiran seperti itu, tetapi aku hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah kaki lebarnya itu.

"Apa Brave baik-baik saja?" Tanyaku setelah selama beberapa menit ini tidak ada suara diantara kami. Oh, jujur saja aku tidak tahu harus membicarakan apa dengannya, sehingga aku mencoba untuk memancingnya berbicara mengenai Brave, tema pembicaraan yang sepertinya menjadi kesukaannya.

"Ya," ujarnya lagi-lagi menjawab dengan kata singkat itu. Ku pikir ia akan bersemangat untuk membicarakan Brave.

Ugh, ia bahkan masih saja menundukkan kepalanya, tanpa mau menatap padaku. Ya, mungkin bagi dirinya lebih menarik jika memandangi sepatu dan tanah yang dipijaknya itu dari pada diriku. Mengenai hal itu, aku tidak merasa tersinggung, lagi pula jika ia menatap padaku, aku akan merasa tidak nyaman dibuatnya.

Dan untuk apa aku harus merasakan itu nantinya?

"Jadi, Brave tidak mengalami demam seperti apa yang kau khawatirkan kemarin?"

Bukan dengan jawaban singkatnya, tetapi kali ini Travis menjawabnya dengan menggelengkan kepalanya. Ugh, sepertinya ia memang merasa tidak nyaman berbicara denganku. Namun, apa yang kulihat di toko ice cream tadi sangatlah berbeda, ia nampak bersemangat, tetapi ada apa dengannya sekarang?

Aku menghela napas kesal. Selain karena tidak bisa melakukan mengobrol yang baik dengan Travis, rasa letih setelah berjalan cukup jauh dari sekolah sepertinya juga berpengaruh pada emosi dan rasa kesalku ini.

"Sepertinya akan lebih baik jika kita beristirahat sejenak, bagaimana pendapatmu, Travis?" Tanpa bersuara ia menghentikan langkahnya, kemudian memilih berdiri diam di samping ku.

Aku tidak benar-benar tahu bagaimana harus bersikap kepadanya. Artikel-artikel itu menyebutkan jika aku dapat memperlakukan seseorang seperti Travis dengan lembut dan bersahabat untuk bisa membuatnya merasa nyaman. Ku pikir aku sudah melakukan semua itu, tetapi ia tidak merespon sesuai apa yang kuinginkan, ia bahkan tidak banyak berkata. Apa itu salah satu kondisi jika ia merasa nyaman denganku? Dengan hanya menjawab singkat, sesekali mengangguk atau menggeleng seperti itu?

Aku menghentikan langkahku untuk kemudian mendudukkan diri dengan asal di sebuah kursi panjang di pinggiran jalan di sepanjang jalan yang kami lalui itu.

"Apa kau tidak lelah berjalan sejak tadi?" Ujar ku sembari menepuk bagian kursi kosong yang ada di sebelahku. Ia tanpa bersuara mendudukkan dirinya di sana.

Travis mungkin sudah terbiasa untuk sampai ke rumahnya dengan berjalan, sehingga ia terlihat tidak kelelahan setelah berjalan cukup jauh bersamaku. Tidak seharusnya ia bersikeras untuk mengantarku karena nantinya ia akan merasa kelelahan untuk sampai ke rumahnya.

"Apa kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku, Travis?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutku. Aku merasa begitu konyol. Sebegitu inginkah dirimu mendengar Travis berbicara sesuatu kepadamu?

"Oh, jangan mencoba untuk menjawab pertanyaan ku itu, okay?"

Aku menggelengkan kepalaku. Mungkin aku terlihat lebih konyol sekarang dengan melakukan itu.

Ponselku tiba-tiba saja berdering, dengan segera aku merogoh saku celana jeans ku, kemudian menemukan sebuah nama yang tertera di layar ponselku, penyebab dari berderingnya ponselku itu.

Steve. Aku menatapi nama yang tertera di layar ponselku itu cukup lama. Oh, mungkin setelah sekian lama ia tidak menyadari kemunculanku di halaman parkiran sekolah, ia kemudian memutuskan untuk meneleponku. Untuk apa ia melakukannya? Aku bahkan merasa terkejut jika ia benar-benar menungguku di parkiran sekolah.

Mood-ku rasanya kembali jatuh. Terus bersama dengan Travis yang tidak berbicara kepadaku, ditambah melihat nama Steve di layar ponselku, membuat emosi ku meningkat. Dari pada merasa terus tersiksa seperti ini, lebih baik aku segera menelpon Tuan James, supir Ayah untuk menjemput ku dan Travis di sini, kemudian dengan segera aku bisa memberi waktu pada diriku sendiri untuk menyendiri.

"Mungkin akan lebih baik jika aku menelepon supir ayahku untuk mengantarkan kita pulang. Aku juga merasa sangat lelah untuk kembali berjalan," ya, dan aku tidak ingin terlalu lama bersama dengan Travis jika pembicaraan kami hanya pada satu pihak seperti ini.

Aku bersiap untuk menghubungi Tuan James, ketika perkataan yang keluar selanjutnya dari bibir Travis itu menghentikan ku.

"Apa kau kembali bahagia karena kau kembali dengan Steve?"

Dua hal yang membuatku terkejut sekarang, antara dirinya yang membuka suara untukku, dan pertanyaan aneh yang keluar dari bibirnya itu.

"Apa maksudmu?" Tanyaku benar-benar tidak mengerti apa maksud dari pertanyaannya itu. Aku kembali bahagia karena aku kembali dengan Steve? Kembali dengan Steve adalah sebuah petaka besar untukku. Lagi pula aku tidak kembali bersamanya.

"Kau kembali dengan Steve. Aku melihatmu di loker sekolah bersamanya, dan hal itu yang membuatmu menyapa ku dengan riang pagi tadi," ujarnya dengan datar, tanpa mau menatapku.

Lagi-lagi, aku tidak bisa memahami maksud dari perkataannya itu.

"Apa maksud dari perkataanmu itu, Travis?" Lagi-lagi aku bertanya kepadanya.

"Kau akan melompat dari jembatan itu karena Steve tidak lagi menciummu. Tadi pagi kau bersama Steve, dan karena itulah kau mau menyapa ku di kelas pagi ini. Dan kemudian Steve menelponmu sekarang, dan karena ada aku di sini, kau tidak mengangkatnya, kemudian kau merasa kesal padaku dan menginginkan untuk cepat-cepat pulang dari sini," ujarnya cepat membuat mulutku menganga lebar mendengar pernyataan yang keluar dari bibirnya itu.

Saat itu ia memang mengatakan mengenai hal ini, mengenai bagaimana aku mencoba mengakhiri hidupku karena Steve tidak lagi menciumku dan bersamaku, tetapi ia hanya salah dalam mengartikan semua ini. Aku memang ingin mengakhiri hidupku karena Steve, tetapi bukan karena ia tidak kembali bersamaku, melainkan karena ia dengan seenaknya melecehkanku. Oh, dan sekarang Travis sepertinya berpikir jika aku menyapanya pagi tadi karena aku sedang merasa sangat bahagia karena dapat kembali bersama Steve.

Malam itu aku memang belum sempat untuk menjelaskan kesalahan pengartian nya mengenai tindakanku itu. Namun, bagaimana bisa ia berpikiran sampai sejauh ini? Ya, ia memang jenius, tetapi apa perlu ia berpikiran sampai seperti ini? Apa dia pikir aku berbuat baik kepadanya hanya karena aku sedang bahagia dengan Steve? Apa ia pikir aku mendekatinya bukan karena murni keinginanku, melainkan karena Steve yang kembali membuat ku bahagia?

"Oh, Travis," rasanya aku ingin mencabuti seluruh rambut yang ada di kepalaku ini. "Tidak, Travis."

"Dia yang membuatmu berbicara padaku," ujar Travis. Kali ini dia meremasi tangannya. Aku tidak tahu mengapa ia melakukan hal itu. Namun, aku merasa takut jika ia mungkin akan melukai tangannya.

Aku meraih tangannya, kemudian menggeleng untuk menjawab pertanyaannya itu. Namun, tetap saja ia masih mencoba untuk meraih tangannya, mencoba menautkannya. Ia juga tidak berhenti mengatakan hal ini, "dia yang membuatmu berbicara padaku, tetapi aku tidak suka dengan dirinya, tetapi dia yang membuatmu bicara kepadaku."

Aku juga tidak menyukai dirinya, Travis.

"Dia yang membuatmu berbicara padaku, tetapi aku tidak suka dengan dirinya," aku kembali mencerna perkatannya itu.

Apa ia pikir aku mendekatinya hanya karena Steve kembali membuatku bahagia? Lalu apa ia pikir ia menyukai ketika berbicara denganku, tetapi membenci Steve karena bagi dirinya aku kembali bersamanya?

Aku kembali menggeleng untuk mengungkapkan kepadanya jika yang dipercayainya itu tidaklah benar.

"Sejak dulu kau akan selalu tersenyum kepadaku ketika kau sedang bersama dengan Steve." Perkataannya itu mengejutkanku. Ugh, benarkah? Benarkah ketika aku bersama Steve aku akan tersenyum kepadanya? Namun, mengapa aku tidak mengingatnya?

Aku yakin apa yang dilihatnya saat itu adalah salah. Aku berusaha tersenyum pada siapa pun di saat kapan pun, tidak mungkin hanya karena Steve aku tersenyum padanya.

"Ketika aku melihatmu mulai menjauh dari Steve, kau tidak pernah lagi mencoba tersenyum kepadaku."

Ia salah dalam menangkap makna itu. Aku tidak tersenyum setelah Steve pergi karena memang aku merasa tidak nyaman setelah apa yang mungkin dikatakan atau diperbuat olehnya.

"Apa kau ingin kembali duduk dan membicarakan hal ini bersamaku?" Walaupun rasanya aku ingin berteriak dan menyumpahinya karena pandangan anehnya itu, tetapi aku tidak bisa melakukannya. Dia Travis, dia berbeda, aku tidak ingin memperlakukannya seenaknya saja.

Travis dalam diam mengangguk, kemudian kembali mendudukan dirinya ke kursi panjang itu. Kemudian diikuti olehku.

"Apa kau pikir aku mendekatimu karena aku sedang gembira karena Steve kembali padaku?" Ia diam tanpa menatapku.

Cepat-cepat aku kembali berujar, "jika iya, aku sebenarnya merasa sangat kecewa karena kau memiliki pemikiran seperti itu kepadaku."

"Apa pun yang kau lihat tadi pagi itu, itu bukanlah suatu hal yang bisa kau katakan kembali bersama, itu semua peperangan, aku menolaknya Travis."

"Jadi kau tidak menyukainya?" tanyanya ragu-ragu.

Mendengar pertanyaannya itu membuatku tertawa, "tentu saja aku tidak menyukainya. Apapun yang kau lihat sebelumnya, saat aku mungkin tersenyum padamu ketika aku bersamanya, itu semua tidaklah benar. Aku bahkan tidak ingat akan hal itu," Travis menundukkan kepalannya, membuatku menyadari jika aku bersalah sudah mengatakan hal itu.

"Maafkan aku Travis, tetapi saat itu aku memang tidak mengingatnya, aku mungkin juga tidak menyadarinya." Travis hanya diam tanpa mencoba untuk membalasku.

"Aku benar-benar tidak ingat Travis.... dan jika kau pikir aku menyukai Steve, itu tidaklah benar," ujarku sekali lagi membela diri.

"Kau tidak menyukai Steve."

"Aku tidak menyukai Steve, aku bahkan lebih menyukaimu dari pada Steve."

Kali ini aku terkejut ketika Travis memberanikan dirinya untuk menatapku, tetapi hanya sepersekian detik saja.

"Kau menyukaiku," lirih Travis yang entah mengapa membuat pipiku menghangat.

"Ya, tentu saja," balasku.

"Lebih dari Steve." Tambahnya.

Oh, tentu saja, berkat Travis, aku masih bisa bertemu dengan orang-orang yang peduli pada diriku, seperti Nana, Bianca, juga mungkin dirinya....

"Jadi, izinkan aku mengantarmu pulang, okay?" Bujukku.

"Namun, di semua film yang pernah kulihat, seorang pria lah yang seharusnya mengantarkan wanita untuk pulang." Jadi karena film membuatnya berpikiran seperti itu.

"Apa kau menyukaiku Travis?"

Aku tidak tahu mengapa pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari bibirku, dan entah mengapa sekarang aku merasa sedikit resah mendengar jawabannya.

"Ya," aku tidak tahu mengapa pipiku memanas. Ini hanya pertanyaan suka konyol yang sering kau lontarkan pada temanmu, Anne, bagaimana bisa kau bertingkah aneh seperti ini.

"Ehm... Jika kau menyukaiku dan aku menyukaimu, maka tidak penting lagi siapa yang mengantar siapa, okay? Aku ingin mengantarmu karena aku ingin bertemu Nana, Bianca, dan Brave," dan mungkin menghabiskan beberapa waktu dengannya.

"Benarkah?" Tanyanya ragu.

"Ya, bagaimana, apa kau mau?"

"Ya."

Setelahnya kami segera menelpon supirku, kemudian pergi ke rumahnya.

***