Chereads / Travis Mason / Chapter 6 - Enam

Chapter 6 - Enam

Moodku rasanya sudah benar-benar hancur setelah apa yang Steve perbuat padaku siang tadi. Rasanya aku tidak ingin melakukan apapun selain melangkahkan kakiku pergi dari tempat ini, kemudian kembali membersihkan tubuhku dari sentuhan menjijikkannya itu. Jujur saja, kupikir setelah apa yang kulakukan dengan meninggalkannya di rumah Mark saat itu akan membuatnya tersadar akan perbuatannya, kemudian membuatnya berubah atau bahkan berhenti mengangguku, tetapi sepertinya sebaliknya. Ia malah makin menjadi-jadi sekarang, seperti bagaimana dirinya memperlakukanku pada pagi dan siang hari, hari ini. Kupikir jika ia ingin melakukan hal seperti yang diinginkannya ketika kami berada di rumah Mark, ia bisa melakukannya dengan gadis lain, karena aku yakin, tidak akan ada seorangpun yang berani menolak pesonanya, tidak selain diriku. Dengan gadis lain, mungkin semuanya akan lebih mudah, ia akan mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa harus mengorbankan mobilnya hanya untuk bertaruh dengan teman-temannya mengenai diriku.

Aku menggelengkan kepalaku keras-keras, mencoba menghapus ingatan menyakitkan itu yang tentu tidak akan mudah untuk dilupakan.

Aku kemudian melangkahkan kakiku menuju ke tempat dimana mobilku berada, tetapi langkahku terhenti ketika aku melihat Steve yang sedang berdiri tepat di depan mobilku.

Oh, ada apa lagi ini? Kenapa ia tidak berhenti mengangguku? Tidak bisakah ia meninggalkanku sendirian? Kupikir aku sudah dengan sangat jelas mengatakan kepadanya jika kami sudah berakhir, semuanya sudah berakhir, tetapi sepertinya ia masih tidak mengerti juga.

Merasa tidak ingin berurusan lagi dengannya, aku mengambil langkah untuk pergi menuju ke arah lain yang berlawanan dari tempat dimana Steve berada. Aku bahkan tidak peduli jika aku harus pulang dengan berjalan kaki dan meninggalkan mobilku di parkiran sekolah.

Aku terus berjalan dengan langkah cepat, sesegera mungkin ingin pergi dari halaman depan sekolah ini. Aku bersiap menyebrang jalan, namun terhenti ketika aku melihat Travis yang sedang berjalan tertunduk beberapa meter dari tempatku berdiri. Mungkin terdengar aneh, jika aku bisa mengenalinya hanya dari punggungnya saja. Hei! ia masih mengenakan hodie kotak-kotak yang sama seperti yang dikenakannya tadi pagi ketika kami berada di kelas matematika. Selain itu cara berjalan yang dilakukannya, yang terkesan cepat dan terburu-buru, seperti apa yang dilakukannya pada malam saat sedang mencari Brave itu tentu saja mengingatkanku kepada dirinya.

Tanpa membuang waktu lagi, aku segera berlari ke arahnya, kemudian mencoba untuk mensejajarkan langkahku dengannya.

"Travis," ujarku. Ia masih saja berjalan tanpa menghiraukan diriku yang terlihat kesulitan mengejarnya. Namun, aku yakin ia memerhatikan suaraku, karena setelahnya ia kembali menyebutkan namaku.

"Annemarie," aku tersenyum, kemudian mencoba berdiri di hadapannya untuk menghentikan langkahnya.

Kebanyakan orang akan memanggilku dengan sebutan Anne saja, karena bagi mereka Annemarie terlalu panjang untuk diucapkan. Namun, berbeda dengan Travis. Ia selalu saja memanggilku dengan nama lengkapku, Annemarie, dan aku tidak keberatan akan hal itu.

"Kau ingin pulang?" Tanyaku tidak bisa berhenti tersenyum kepadanya.

"Ya," jawabnya tanpa menatapku.

"Ingin kuantar?" Tawarku kepadanya.

"Kau tidak sedang membawa mobil," aku memutar mataku kesal, ya aku memang tidak sedang membawa mobilku. Oh, aku jadi teringat jika mobilku masih ada di parkiran sekolah, dan aku tidak berniat untuk mengambilnya. Aku mencoba mengalihakan pembicaraan kami untuk tidak membahas mobilku lagi.

"Apa Bianca akan menjemputmu?" Tanyaku padanya. Jika Bianca tidak berniat untuk itu, aku mungkin bisa mengajaknya pergi sebentar, kemudian mengantarnya pulang ke rumah.

Ia menggeleng menjawabnya. Tidak ingin membuang kesempatan ini, aku ingin mengajaknya pergi kemana pun asalkan aku dapat melupakan semua kejadian tidak mengenakkan yang terjadi padaku sepanjang hari ini.

"Bisakah kau memberiku nomor ponsel Bianca?" Aku bertanya padanya, ia dengan segera menyebutkan nomor ponsel Bianca tanpa menungguku untuk mengeluarkan ponsel, yang tentu saja membuatku merasa kewalahan untuk mengikutinya.

"Baiklah, aku akan menelpon ibumu," ujarku kepadanya.

Aku menekan logo telepon yang ada di ponselku, kemudian menunggu Bianca untuk mengangkatnya. Pada dering kedua, Bianca mengangkatnya.

"Bianca Mason," ujarnya dari seberang sambungan telepon.

"Hallo Bianca?"

"Anne?" Aku tidak percaya jika ia mengenali suaraku.

"Ya, Bianca, ini aku Anne. Hmm begini, aku ingin meminta izin untuk membawa Travis pergi ke salah satu toko roti di dekat rumahku, apa itu boleh?" Aku sebenarnya tidak tahu akan membawanya kemana, tetapi jika aku tidak mengatakannya dengan jelas, kemungkinan besar Travis tidak akan diizinkan untuk pergi bersamaku. Ya, orang tua dengan putra seperti Travis tentu akan lebih protektif kepada anak-anaknya.

Apa jika aku seperti Travis, Ayahku akan memperlakukanku seperti Bianca memperlakukan Travis?

"Oh, ya, baiklah. Namun, jangan pulang terlalu larut, okay?" Aku mengangguk tersenyum. Tersadar jika Bianca tidak mungkin mendengar jawabanku hanya dengan mengangguk, aku segera berujar, "baiklah, Bianca, terima kasih."

"Ya, jaga diri kalian, ya?"

"Ya, Sampai jumpa, Bianca," pamitku.

"Ya, Sampai jumpa, Anne," ia kemudian menutup teleponnya.

Setelah memasukkan ponselku ke dalam tasku, pandanganku terlalih kembali pada Travis yang masih saja tidak menatapku.

"Ayo ikut denganku," ujarku menarik lengannya untuk mengikutiku.

"Kau akan membawaku kemana, Annemarie." Tanyanya padaku, masih saja tidak menatapku.

"Ke tempat yang paling menyenangkan di dunia ini, ayolah, ikuti aku!"

***

"Apa yang ingin kau pesan?"

Aku mengedarkan pandangaku ke seluruh penjuru toko ice cream itu. Sebelumnya aku memang mengatakan jika aku akan mengajaknya untuk pergi ke toko roti, tetapi sepertinya aku lebih tertarik untuk memakan ice cream sekarang dan ya... Kami sekarang sedang berada di salah satu toko ice cream yang cukup populer di tempat tinggalku.

Sedari tadi, Travis terlihat begitu kebingungan untuk memilih menu ice cream apa yang akan di pesannya di sini. Hal itu tentu saja membuat antrian di toko ini membeludak dan membuatku merasa sedikit malu karena mendapati tatapan marah dari beberapa orang. Hei, toko ini bukan milik kami, tidak seharusnya ia memikirkan apa yang perlu di pesannya dalam waktu yang lama, bahkan lebih dari lima belas menit lamanya.

Merasa bersalah, aku menampilkan senyuman permintaan maafku kepada pelanggan lain, kemudian segera memilihkan pesanan untuk Travis dengan asal.

Dari pada terlalu lama menunggunya, akan lebih baik jika aku saja yang memilihkan ice cream untuknya.

"Kau bilang aku boleh memesan apa yang aku inginkan, tetapi mengapa kau malah tidak membiarkanku melakukannya," bisik Travis tanpa menatapku.

"Kau terlalu lama memikirkannya, jadi aku harus mengambil langkah sebelum semua orang mencacimu nantinya."

Dia terdiam. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya sekarang. Ia kan termasuk murid yang pandai, bahkan jenius, jadi aku sangat yakin jika ia memahami semua yang kukatakan.

"Uhm, Travis?"

"Ya?"

Aku tidak tahu selanjutnya aku harus mengatakan apa kepadanya. Aku sudah bilang jika aku sebenarnya tidak pernah mengenalnya. Namun, aku ingin mengenalnya.

Aku mengetahui tentang dirinya karena ia selalu benar dan mampu mengerjakan soal matematika random yang Tuan William berikan pada kami. Ia bahkan pernah mengambil alih bagian soal yang seharusnya menjadi hukuman untukku karena tidak memerhatikan Tuan James, kemudian mengerjakannya dengan tepat.

"Kita sebelumnya belum pernah mengenal satu sama lainkan? Ayo kita lakukan kembali perkenalan itu," setelah mengatakannya, aku mulai merasa jika diriku bodoh.

Untuk apa harus melakukan hal konyol seperti itu?

Travis terdiam, ia hanya menatapi tanganku yang entah sejak kapan kuulurkan kepadanya, seperti memintanya untuk membalas jabatan tanganku.

Oh, walaupun Travis tidak seperti kebanyakan orang seusianya, tetapi tampaknya ia tahu jika apa yang kulakukan tadi adalah tindakan yang bodoh dan begitu tolol. Oh, jangan lupakan jika dirinya adalah orang yang jenius.

"Oh, lupakan apa yang kukatakan," bisikku merasa kesal dengan diirku sendiiri. Entahlah, dihadapan Travis aku malah bersikap seperti aku yang tidak normal di sini.

Beberapa saat kemudian seorang pelayan datang dan membawa pesanan kami. Pesananku adalah ice cream vanilla dengan topping oreo di atasnya, sementara pesanan Travis adalah ice cream rasa cokelat dengan topping chocho chips di atasnya. Kupikir semua orang menyukai cokelat, sehingga aku memilih rasa itu untuknya.

Benarkan? Apa ada seseorang di dunia ini yang tidak menyukai rasa cokelat?

"Ehm, ngomong-ngomong, kau sebenarnya ingin memesan ice cream apa?" Aku hanya ingin mencari tahu jika ia akan baik-baik saja setelah aku memesankan rasa cokelat ini untuknya.

Ia tampak berpikir sebelum menjawab, "Aku suka cokelat," aku merasa lega. Ya, aku sudah mengatakan jika semua orang suka cokelat, tetapi aku ingin memastikan hal itu kepadanya.

"Syukurlah jika kau menyukainya."

Setelah itu, ia menyendokkan satu sendok penuh ice cream ke dalam mulutnya. Aku merasa senang jika ia menikmati ice cream nya itu.

Memerhatikan dirinya membuatku teringat pada obrolan kami di kelas tadi. Dia bilang dia sedang bertengkar dengan Hannah? Siapa Hannah? Kupikir tidak ada seorangpun yang bernama Hannah di sekolah kami.

"Travis?"

"Ya?"

Aku tidak tahu apa orang-orang sepertinya juga melakukan hal-hal seperti berpacaran atau hal-hal lainnya seperti orang normal kebanyakan. Namun, hei! Travis terlihat sangat aneh saat berhadapan dengan perempuan, tidak, sebenarnya aku tidak tahu akan hal itu, tetapi ketika berhadapan dengan diriku, ia akan bertindak aneh. Kenyataan akan hal itu membuatku dapat menyimpulkan jika ia tidak memiliki kekasih, tetapi Hannah? Siapa dia? Apa dia kekasihnya?

"Saat di kelas tadi, kau bilang kau sedang bertengkar dengan Hannah? Siapa itu Hannah?"

Aku tidak tahu mengapa diriku ingin mengetahui siapa Hannah itu. Hey! Lagi pula mungkin Hannah dan aku bisa menjadi teman bukan? Aku kan memang sedang dalam masa ingin berubah, lagi pula jika aku berteman dengan Hannah mungkin semuanya akan terasa menyenangkan, karena aku tidak pernah sekalipun memiliki teman perempuan yang 'normal'. Normal di sini bukan maksudnya memiliki anggota tubuh lengkap dan berpikiran selayaknya gadis-gadis lainnya. Maksudku normal di sini adalah seorang teman yang benar-benar menginginkan pertemanan tulus denganku, tanpa ada maksud lain dibaliknya.

"Hannah, temanku," setelah mendengar itu, entah mengapa diriku merasa lega.

Lega? Memangnya sebelum itu aku merasakan apa?

"Oh, apa dia teman di acara mingguanmu itu?" Kali ini ia menjawabnya dengan mengangguk.

Aku jadi makin penasaran dengan acara mingguan yang diperuntukkan untuk orang-orang sepertinya.

Apa acaranya menyenangkan?

Apa ia menyukai berada di sana?

"Memangnya itu acara apa sih?" tanyaku penasaran.

"Acara yang menyenangkan," tiba-tiba saja ia mengadahkan kepalanya, membuat kami saling berpandangan, tetapi sedetik kemudian ia kembali menundukkan kepalanya, tidak ingin menatapku.

"Oh, benarkah?" Walaupun ia tidak kembali menatapku, tetapi aku tetap merasa senang karena bisa mendengarkan nada senang yang terdengar dari suaranya itu.

"Ya, semua orang akan berkumpul dan membawa barang kesukaannya, selain itu akan ada sesi dimana semua orang akan menceritakan pengalaman baru yang kami lalui selama seminggu ini, oh, ada pula penampilan bakat dari beberapa orang," ia berujar dengan terburu-buru.

Oh, kedengarannya menyenangkan. Acara-acara perkumpulan seperti itu sebelumnya tidak pernah kubayangkan akan semenyenangkan, seperti apa yang Travis katakan. Sebelumnya, aku tidak pernah sekalipun ikut dalam acara-acara seperti itu. Lingkungan pergaulanku yang dulu lebih condong pada hal-hal negatif, seperti pesta, minuman beralkohol, dan narkoba. Namun, aku sama sekali tidak pernah mencobai hal-hal itu, tidak kecuali pesta, tetapi tetap saja hal itu tidak terasa menyenangkan untukku.

Travis dengan komunitasnya yang menyenangkan, sedangkan aku dengan pesta membosankan dan teman palsuku.

"Oh, sepertinya menarik sekali," ujarku menanggapinya. Ya, sepertinya menarik karena aku tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu sebelumnya.

"Apa kau akan mengizinkanku jika mungkin aku ikut ke acara itu bersamamu?"

***