"Terima kasih atas apa yang kalian lakukan padaku, aku sangat senang bisa bertemu dengan kalian," ujarku setelah memeluk Nana dan Bianca. Aku benar-benar merasa berterima kasih atas apa yang mereka lakukan padaku, mereka sungguh baik dan pengertian.
Mereka melihatku dengan tersenyum penuh dan balas memelukku.
Travis, sejak tadi, ia tidak muncul dari kamarnya.
Hari ini adalah hari sabtu, dimana hari ini merupakan hari libur kami. Mungkin ia sedang sibuk melakukan hal-hal seperti yang anak-anak seusia kami lakukan. Berakhir pekan di rumah dengan bermain game atau tidur seharian dan memainkan ponselnya.
"Aku yang berterima kasih padamu, berkatmu, aku jadi memiliki cucu perempuan," aku tersenyum mendengar pengakuan Nana. Mereka benar-benar keluarga yang baik dan menyenangkan.
"Kalau begitu, aku pamit pulang, aku akan menyempatkan diri untuk datang kemari," Nana tersenyum, kemudian kembali memelukku dan mengecup pipiku. Melihatnya melakukan hal-hal seperti ini, membuatku teringat akan nenekku. Oh, sudah berapa lama ia pergi meninggalkanku di dunia mengerikan seperti ini?
Aku bersiap untuk pergi ketika Bianca berujar, "Annemarie, jangan pergi dulu, kita tunggu Travis, kami akan mengantarmu," ehm.... Apa ia tidak memiliki acara liburan seperti apa yang kupikirkan sebelumnya?
"Kupikir Travis memiliki acaranya sendiri?" Tanyaku padanya.
"Ya, dia memiliki acara mingguan dengan teman-temannya, dan mungkin kami bisa sekalian mengantarmu ke rumahmu."
Sebenarnya aku belum ingin untuk pulang ke rumah. Namun, jika aku menolak permintaannya lagi, kupikir itu sangatlah tidak sopan.
"Baiklah," setelah beberapa menit menunggu, Travis akhirnya muncul dari pintu utama rumahnya. Kali ini, ia mengenakan kaus polo berwarna abu-abu yang dipadu dengan celana jeans longgarnya. Penampilannya memang selalu seperti itu, terkadang ia mengenakan kemeja, yang malah terlihat terlalu formal dan kuno, tetapi ia tetap saja terlihat tampan.
Hei ada apa denganmu, Annemarie?
"Kau siap Travis?"
"Ya," jawabnya pada ibunya sembari berjalan begitu saja melewatiku untuk masuk ke dalam mobil.
"Ayo, Anne, Oh bolehkan aku memanggilmu Anne?" Tanyanya seperti teringat jika mungkin namaku terlalu panjang untuk diucapkannya.
"Ya, tentu saja," aku tersenyum kemudian mengikutinya masuk ke dalam mobil. Disusul dirinya yang kemudian memegang kendali mobil.
Bianca melajukan mobilnya dengan perlahan, sementara Travis hanya diam memperhatikan mobil-mobil yang berlaluan dari jendela mobil, dan aku.... Aku mengamatinya melakukan hal itu.
Mungkin aku sudah gila sekarang. Entahlah aku tidak mengerti mengapa Travis bisa sangat menarik di hadapanku seperti ini.
Aku bahkan tidak mengenalnya dengan baik.
"Jadi, Anne, kau belum mengatakan dimana alamatmu," tuntut Bianca meminta alamat rumahku.
Aku bahkan sampai lupa untuk mengatakannya.
"Aku tinggal di-"
"Dia tinggal di jalan Rose Street No. 20."
Aku menatap bingung pada Travis. Bagaimana bisa ia mengetahuinya? Aku bahkan tidak pernah sekalipun berbicara padanya, tetapi mengapa ia seperti mengetahui sesuatu tentangku? Apa ia stalker? Apa ia seorang penguntit obsesif? Namun, apakah orang sepertinya bisa bertindak seperti itu?
"Ya, Bianca, aku tinggal disana," aku tersenyum. Tidak tahu harus menganggapi apa setelah mendengar perkataan Travis yang menurutku sedikit menganggu pikiranku itu. Tidak ingin terbebani dengan pikiran itu, aku kemudian bertanya padanya.
"Hei, Travis, aku terkejut kau mengetahui dimana rumahku," aku mengeluarkan nada suara bergurau padanya.
"Kau pernah terlambat dan berbicara pada Tuan William jika rumahmu berada jauh dari sekolah. Kau tingal di Rose Street No. 20 ," aku sekali lagi terkejut dengan ingatannya. Kupikir aku melakukan itu di awal semester, dan ini hampir akhir semester, aku tidak percaya ia bisa mengingatnya.
Seperti tahu akan keherananku, Bianca angkat bicara, "Travis... Travis memang seperti itu. Ia akan mengingat hal apapun yang ingin diingatnya di kepalanya. Jadi, maaf jika itu terdengar menyeramkan bagimu," Ugh, tidak menyeramkan sih, hanya saja tidak dapat di percaya jika ingatannya sekuat itu.
Dan apa kata Bianca tadi? Mengingat apa yang ingin diingatnya? Apakah Travis ingin mengingat hal tentangnya?
"Kuharap kau tidak merasa terganggu akan hal itu," tidak, tentu saja tidak.
"Tak apa, Bianca," aku dapat melihatnya tersenyum dari kaca spion dalam mobil itu.
Ketika sampai di depan rumahku, aku segera bersiap turun dan tiba-tiba saja diikuti Bianca yang juga ikut turun dari mobilnya. Hal itu tentu saja membuatku sedikit merasa bingung dibuatnya.
"Anne," ia berjalan ke arahku, kemudian memelukku.
"Aku tahu kau tidak menceritakan apapun tentang kejadian malam tadi pada kami, tetapi kumohon, apapun hal itu, kumohon jangan biarkan hal itu menganggumu lagi."
Ia melepaskan pelukannya padaku, kemudian menepuk pipiku dan menyampirkan beberapa rambut yang jatuh menutupi wajahku.
Aku tidak tahu kenapa, tetapi mendengar apa yang dikatakannya membuatku rasanya ingin menangis. Tidak pernah ada seseorang yang sepeduli ini denganku. Dan dia.... Dia bahkan baru saja mengenalku tetapi ia begitu peduli padaku.
"Aku ingin kau baik-baik saja, apapun itu aku ingin kau terus bertahan, okay?" Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya.
Andai....
Kata itu tiba-tiba memenuhi pikiranku.
Andai ibuku sepertinya, mungkin dunia tidak akan terasa membosankan dan menyedihkan seperti yang sudah kulalui itu.
Ia kembali memeluk tubuhku sebelum masuk ke dalam mobilnya. Bianca menurunkan kaca mobil sisi penumpang depan, membuatku dapat melihat Travis yang duduk tenang di sana. Kali ini mengamati dashboard mobil.
"Jangan sungkan untuk datang ke rumah kami," ujar Bianca tersenyum. Membuatku ikut tersenyum dibuatnya.
"Kami pergi dulu, Anne."
Aku melambaikan tanganku pada mereka, "Hati-hati Binca, dan Travis... Semoga harimu menyenangkan," Bianca kemudian melajukan mobilnya meninggalkanku di halaman rumah, oh bukan rumah, tetapi neraka yang selama ini kutinggali itu.
Aku berjalan masuk ke dalam gerbang rumah itu, dan menemukan ayah yang sedang berdiri di depan rumah, dengan setelan jasnya, oh, mungkin ia akan pergi ke sebuah acara bisnisnya. Ugh, dan aku tidak peduli akan hal itu.
"Ayah pikir kau tidak akan kembali pulang," apa yang dikatakannya?
Kenyataan miris seketika menerpaku. Bianca, yang notabennya merupakan orang asing bagiku, orang yang mungkin tidak mengenalku dengan baik, tetapi ia begitu peduli padaku, dan.... Lihatlah pria tua dihadapanku ini. Apa ia benar-benar ayahku? Ia bahkan seperti tidak peduli jika aku menghilang selama seharian penuh dari rumahnya.
Sungguh tragis.
Oh, ia mungkin juga tidak akan peduli jika aku mati. Dan penyesalan yang ada di matanya itu, mungkin tidak pernah akan muncul di sana.
"Ya, seseorang membenturkan kepalaku di sebuah batu, membuatku berubah pikiran untuk hal itu," tanpa mendengar tanggapannya, aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah. Kali ini aku bertemu Krystal yang sedang sibuk membenahi gaun yang tidak menutupu tubuhnya dengan baik itu.
Sialan, kupikir aku hanya akan menemui hal menyebalkan seperti ayah hari ini, tetapi aku malah bertemu wanita nenek sihir ini.
"Oh, anakku sudah pulang?" Ia bertanya dengan nada mengejeknya. Lagi.
"Aku bahkan akan sangat senang jika kau pergi saja dari hidup kami," kali ini ia berbisik lirih. Ya, mungkin ia takut jika ayah mendengar kebusukannya itu.
"Oh, sayang, ibu sudah sangat khawatir. Ehm... Ibu akan kembali menemuimu nanti setelah ibu pergi bersama ayah, okay? Jaga dirimu baik-baik," kali ini ia meninggikan volume suarannya. Kemudian dengan begitu saja berjalan pergi melewatiku.
Rumah ini neraka, dan penjaga utama neraka ini adalah Krystal.
Aku memutar mataku kesal. Ya, mungkin pagi ini aku bertemu orang-orang menyebalkan seperti mereka, tetapi setelahnya, aku akan berada di rumah tanpa diganggu manusia-manusia menyebalkan itu.
Aku melangkahkan kakiku ke tangga untuk menunju kamarku yang berada di lantai dua.
Aku berbaring sejenak di ranjang empukku, kemudian teringat akan kejadian dimana aku hampir mengakhiri hidupku itu.
Haruskah aku kembali melakukannya?
Setelah beberapa jam menghabiskan waktu bersama keluarga Mason, rasanya aku tidak lagi memikirkan keinginanku untuk mengakhiri hidupku. Rasa yang mereka berikan padaku..... Membuatku merasa sangat nyaman dan senang dibuatnya. Oh, selain itu perkataan Bianca membuatku merasa harus berjanji padanya jika aku akan baik-baik saja.
Dan... Ya Travis.....
Walaupun ia tidak mengatakan secara langsung jika ia menahanku untuk mengakhiri hidupku, tetapi ia mencegahku melompat saat itu.
Jadi aku bisa menciummu.
Mengingat perkataanya itu membuat wajahku kembali bersemu.
Aku dengan cepat berjalan ke arah komputerku, kemudian mengentikkan beberapa hal tentang asperger dan bagaimana cara memperlakukan mereka.
Sebelumnya aku hanya tahu jika asperger adalah gangguan kesehatan yang masih termasuk ke dalam autism dan.... Mereka memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dan menjalin bentuk sosial dengan orang lain.
Aku juga menemukan beberapa hal yang menajawab pertanyaanku.
Penderita sindrom asperger memang suka mengulang kata-kata atau kalimat yang sama. Hal itu yang terus dilakukannya ketika aku mencoba memperkenalkan diriku pada keluargannya.
Penderita ini juga begitu tertarik akan satu topik yang akan membuatnya mendalami dan mempelajarinya dengan mendetail. Ya, kupikir apa yang dilakukannya pada Brave adalah ketertarikannya pada suatu hal.
Seperti yang dikatakan beberapa orang di sekolah, ia merupakan orang yang jenius dan pandai mengingat sesuatu.
Beberapa artikel mengatakan jika perlu perlakuan yang lembut dan bersahabat untuk membuatnya dapat berinteraksi dengan orang lain.
Aku tiba-tiba saja menghentikan kegiatan pencarianku itu.
Apa aku ingin lebih mengenal Travis?
Apa aku mungkin bisa menghadapinya?
Untuk apa aku mencari hal-hal seperti ini di internet?
Travis.
Mengingat wajahnya membuatku merasa....
Entahlah....
Mungkin aku memang ingin mengenalnya. Dan mungkin aku akan belajar untuk memahaminya.
***