Aku tidak tahu sejak kapan aku melupakan masalah yang beberapa jam lalu kulalui itu. Makan malam bersama keluarga Mason sangatlah membuatku senang. Mereka saling bercerita mengenai kegiatan yang telah mereka lalui pada hari ini.
Melihat mereka yang begitu bahagia di dalam kesederhanaan itu membuatku merasa tersentuh. Ugh, aku bahkan lupa apakah keluargaku pernah bahagia di keadaan yang seperti itu.
"Hari ini, pikiran Nana hanya dipenuhi kekhawatiran pada Travis. Ketika pulang ke rumah dan tidak menemukan Brave, ia pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun padaku," Nana tidak memarahi Travis, ia hanya mengutarakan rasa khawatirnya, mungkin ini cara yang bisa dilakukannya untuk membuat Travis merasa bersalah dan tidak mengulangi kesalahannya lagi.
"Kau harus ingat, Travis, jika Brave sedang pergi, kau hanya perlu menunggunya di depan rumah, mengerti?" Travis mengangguk tanpa menatap Nananya.
"Jangan lakukan hal itu lagi, Travis. Ibu tahu kau bebas melakukan apapun, karena kau sekarang sudah dewasa, tetapi kau perlu meminta izin ibu agar ibu tahu apakah itu baik atau buruk untukmu." Lagi-lagi Travis hanya mengangguk menjawabnya.
Aku tidak tahu harus melakukan apa. Sebenarnya aku merasa tidak enak dengan kehadiranku disini. Aku merasa seperti orang asing yang tiba-tiba hadir di keluarga mereka. Hei, aku tidak ingin membuat mereka merasa canggung di rumahnya sendiri.
"Ehm.... Anniemarie, bagaimana kau bisa bertemu Travis?" Nana tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu. Membuatku merasa bingung harus memulainya dari mana.
"Jadi, tadi saya sedang berada di taman dan-"
"Anniemarie ingin melompat, tetapi aku mengingatkan jika bajunya akan basah bila ia melakukan hal itu," ujar Travis, tanpa menatap ke arah Nana. Aku tidak tahu mengapa sejak tadi Travis menjawab semua pertanyaan yang tertuju padaku.
"Melompat?" Nana menatapku dengan tatapan penuh tanya.
"Ehm.... Tidak, Nana, sebenarnya aku hanya sedang berjalan-jalan, kemudian aku menemukan Travis sedang kebingungan mencari sesuatu," aku tidak tahu mengapa aku perlu berbohong kepadanya. Oh, tentu saja, aku tidak ingin membuatnya merasa takut jika sekarang sedang ada seorang gadis dirumahnya yang berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya, dan hal itu mungkin bisa menjadi sebuah beban pikiran untuknya.
"Dia sedang mencari Brave, anjing golden kesayangannya itu," ujar Nana memberitahuku.
Apa yang dilakukan Travis jujur saja membuatku merasa heran. Apa tidak bisa ia menunggu saja hingga anjingnya pulang? Kupikir anjing peliharaan akan selalu kembali ke rumah majikannya. Lagi pula apa salahnya menunggu? Toh kau tidak harus merasa kelelahan untuk mencari anjingmu, ya... Walau mungkin hanya sedikit bosan untuk menunggunya.
"Kau... Malam ini sepertinya kau perlu menginap di sini, apa itu tidak apa-apa?" Pertanyaan apa itu yang Nana lemparkan padaku? Tentu saja tidak apa-apa.
"Uh, aku akan sangat berterima kasih kepadamu, Nana," ia memandangku tersenyum. Ya ampun, sudah berapa lama aku tidak menemukan pandangan peduli, lembut dan keibuan seperti yang Nana lakukan saat ini kepadaku.
Mungkin orang-orang akan melihatku gila akan perhatian, tetapi memang hal itu yang sekarang kurasakan, aku ingin orang-orang mencoba memahami dan memedulikanku.
"Sudah pukul sembilan malam, ini waktunya untuk tidur, Tuan Travis," Travis menegakkan tubuhnya, masih dengan posisi kepala yang menunduk, ia berjalan begitu saja ke arah satu pintu yang dapat kupastikan jika pintu itu merupakan kamarnya.
"Kami tidak memiliki kamar yang bagus, tetapi kuharap kau nyaman menempatinya," ujar Bianca memberitahuku.
Sebelum menunjukkan kamar yang akan kutempati, ia terlebih dulu menuntun Nana untuk berjalan ke kamarnya. Namun sebelum itu, Nana menghampiriku dan memeluk tubuhku, membuatku dengan segera membalasnya. Kupikir aku sangat membutuhkan pelukan ini.
"Selamat malam sayang, tidurlah dengan nyenyak," aku tersenyum.
"Selamat malam, Nana," ujarku membalasnya.
***
Aku terbangun ketika mendengar suara langkah kaki seseorang, membuatku sedikit takut dan merasa was-was pada saat yang bersamaan.
Aku menegakkan tubuhku mengikat rambut panjangku, kemudian berjalan menuju luar kamar.
Didepan pintu aku dapat melihat jejak kaki kotor, bewarna cokelat, jejak kaki yang sepertinya dimiliki oleh Brave.
Aku mengikuti jejak kaki itu, hingga menuntunku pada sebuah kamar yang sebelumnya dimasuki oleh Travis.
Pintu itu sedikit terbuka, membuatku dapat melihat Travis yang sedang terduduk dilantai dengan tangan yang sibuk mengelus bulu lebat anjing golden itu. Tanpa bisa di cegah, aku masuk begitu saja. Membuatnya menatapku, sebelum akhirnya kembali mengalihkan pandangannya pada Brave.
"Kupikir Bianca melarangmu membawa Brave masuk ke rumah?" Sebelum pergi ke kamar, aku melihat Bianca meminta janji pada Travis untuk tidak membawa Brave masuk ke dalam rumah, tetapi janji itu sepertinya tidak digubris sama sekali olehnya.
Dan sepertinya Travis juga tidak menggubris apa yang kukatakan.
Selama di sekolah, aku tidak pernah mencoba berbicara dengannya. Hal itu bukan karena aku tidak ingin melakukannya, tetapi karena aku tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya.
Travis Mason. Mereka bilang ia lelaki yang jenius. Semua orang mengatakan jika ia bahkan dapat menghafal seluruh bagian isi buku hanya dalam waktu satu malam. Yah, mungkin mustahil bagiku, tetapi tidak untuknya. Dia lelaki yang tampan. Aku tidak berbohong akan hal itu, tubuhnya cukup tinggi, kulit pucat dengan rambut hitam kecokelatan yang dipotong rapi itu mungkin akan mengingatkanmu pada sosok Nicholas Hoult. Semua wanita sepertinya menganguminya, ya .... Mungkin sebelum mereka mengetahui jika Travis mengalami gangguan syaraf yang tergolong ganguan spekturm autism yang sering disebut juga sebagai sindrom asperger.
Sindrom asperger merupakan sebuah penyakit yang masih terhubung dengan autism. Pengidapnya sebenarnya memiliki kecerdasan yang normal, bahkan di atas rata-rata, tetapi ia tidak memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Jadi, aku mulai mengerti mengapa ia tidak sering berbicara padaku setelah pertemuan kami sebelumnya itu.
Merasa tidak mendapatkan jawaban apapun darinya, aku memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Namun, terhenti ketika mendengar suaranya.
"Aku pernah melihatmu berciuman dengan Steve," pipiku memerah mendengar perkataannya.
Tidak, ini bukan karena ada nama Steve yang membuatku tersipu, tetapi bayangan dirinya yang melihatku berciuman dengan Steve membuatku merasa malu, bukan malu yang menyenangkan, tetapi malu karena ia memergokiku melakukan hal seperti itu.
"Ya, saat itu kami masih bersama dan kupikir hal itu wajar dilakukan," aku tidak tahu apa yang baru saja kukatakan.
"Sudahlah jangan membicarakan hal itu lagi," aku bersiap beranjak ketika ia kembali membuka mulutnya.
"Jadi kau ingin melompat karenanya." Aku tidak tahu mengapa ia bisa mengatakan hal itu.
Apa ia berpikiran jika aku ingin melompat karena Steve dan aku sudah berakhir yang kemudian tidak bisa berciuman lagi dengannya?
"Tidak, tidak bukan dia, ya walaupun dia berperan dalam hal itu," sebenarnya dia sangat berperan di sini.
"Kau melompat karena dia tidak menciummu lagi," aku tidak tahu harus berbicara apa lagi padanya.
"Ehm... Tidak bukan begitu,..." Bagaimana cara menjelaskan kepadanya akan kejadian apa yang terjadi padaku tadi?
"Apa jika aku berhenti menciummu kau juga akan melompat seperti itu?" Ketika mengatakannya, suaranya sangat tenang, ia bahkan tidak mencoba menatap ke arahku. Namun, diriku? Aku tidak tahu sejak kapan semburat merah kembali menjalar di pipiku.
Hei ada apa denganku? Dia hanya Travis Mason, si pengidam sindrom asperger, dan dia sangat tampan.
Dan apa peduliku?
"Oh... Ehm..." Sekarang aku tidak tahu harus mengatakan apa.
"Tidak bukan begitu," Ada apa dengan diriku, kenapa aku tiba-tiba saja tidak bisa berbicara dengan benar seperti ini.
"Jadi aku bisa menciummu." Ia tidak bertanya, ia lebih meyimpulkan apa yang kami bicarakan.
"Oh, aku-"
"Travis!" Suara Bianca terdengar dari ambang pintu, aku melihatnya berjalan ke arah Travis, ia mungkin bersiap untuk memarahinya.
"Travis, sayang, bukan kah ibu sudah mengatakan kepadamu untuk tidak membawa Brave ke dalam rumah?" Tidak, tidak ada sama sekali nada kemarahan dalam suaranya, yang ada ia malah berbicara dengan begitu lembut. Aku jadi berpikiran, apakah orang-orang seperti Travis harus diperlakukan seperti itu?
"Di luar sana masih hujan, jika Brave dibiarkan di luar rumah, dia dapat terkena hipertermia kemudian akan membuat suhu tubuhnya meningkat yaitu lebih dari tiga puluh sembilan derajat celcius, hal itu sangat berisiko, " mulutku menganga lebar mendengarnya. Apa perlu ia mengatakan sesuatu sedetail dan sejelas itu?
Ibunya menatapnya tanpa ekspresi, tetapi sedetik kemudian ia tersenyum dan sepertinya akan membiarkan Travis untuk mengizinkan Brave tidur di dalam kamarnya.
"Baiklah kalau begitu, tetapi coba lihat apa yang diperbuat Brave di seluruh lantai rumah kita," Travis tidak melihat ibunya, ia dengan tiba-tiba berdiri dan beranjak pergi meninggalkan kami dikamarnya.
Bianca yang menyadari keberadaanku di sana, tersenyum canggung, apa ia merasa bersalah akan hal ini?
"Oh, maaf karena Travis," ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, memberi pandangan lelah padaku, "ia memang selalu seperti itu. Apa kau terbangun karenanya?"
Aku mengangguk, kemudian berujar, "ya, sebelumnya aku mendengar sebuah suara, dan aku secara spontan mencoba untuk mencari suara itu," ia tersenyum meminta maaf padaku.
"Kalau begitu, kembalilah tidur, Annemarie," aku mengindahkan ucapannya. Aku beranjak pergi, tetapi terhenti sejenak ketika melihat Travis sedang sibuk mengusap bagian lantai yang kotor.
Kupikir ia sangat bertanggungjawab dengan apa yang dilakukannya. Aku mencoba bersuara ketika aku melihat Bianca ikut keluar dari kamar Travis. Merasa tidak ingin menganggu momen ibu dan anak itu, aku memutuskan untuk pergi ke kamar dan mencoba untuk tidur.
Perkataan Travis membayangiku.
Jadi aku bisa menciummu.
Pipiku kembali memerah dibuatnya. Aku tidak tahu mengapa aku jadi bersikap seperti ini. Kau baru saja mengenal Travis. Ia bahkan mencoba berbicara tentang bagaimana ia mencoba untuk menciumamu dan bagaimana ia yang tidak akan berhenti melakukannya. Bahkan hal itu dibicarakannya pada pembicaraan pertama kita, dan bagaimana bisa aku bahkan baik-baik saja dengan hal itu sementara aku baru saja dilecehkan oleh lelaki lain?
Aku menggeleng supaya pikiran-pikiran bodoh ini hilang.
Mungkin aku terlalu lelah sehingga aku berpikiran yang tidak-tidak.
Malam itu aku menghabiskan malamku dengan bermimpi. Mimpi yang dipenuhi dengan seorang lelaki dengan mata cokelat yang senada dengan warna rambut lebatnya itu, mengamatiku tanpa ingin berbicara denganku. Seharusnya aku merasa tidak nyaman akan hal itu, tetapi aku sama sekali tidak merasa terganggu, aku malah merasa nyaman dibuatnya.
Dan kupikir....
Aku tidak akan menolak jika ia kembali muncul di dalam mimpiku lagi.
***