Amira tiba-tiba merasa bulu kuduknya berdiri. Seperti ada yang memanggilnya, tapi tidak ada siapa pun di perpustakaan kampus di pukul tujuh hari itu. Ia kemudian memperbaiki posisi kupluknya hingga menutup seluruh telinganya, tidak ingin diganggu oleh suara-suara frekuensi rendah yang mampu mengacaukan persepsi manusia.
Setidaknya untuk hari ini, Amira merasa lebih baik. Ia merasa puas telah melemparkan sesuatu yang bisa mengubah predikatnya menjadi milyarder ke dalam wajan. "Oh, Ibu. Maafkan puterimu yang tetap bodoh ini," batin Amira. Ia tersenyum lebar sambil meratapi dinding kaca besar yang memperlihatkan mentari pagi yang teduh. Di depannya ada setidaknya tiga buku tentang Psikologi Abnormal yang tebalnya masing-masing tak kurang seribu halaman. Masih berbahasa asli keluaran Amerika dan berlabel baru. Ya. Amira mulai terbiasa dengan barisan huruf kecil yang tidak mudah dicerna maknanya, tapi itu mengingatkannya pada Vero.