Pukul 09.30, terlambat 30 menit, Vero segera menaiki tangga menuju IGD sambil memasang jas putih. Aroma anyir tidak pernah membuatnya terbiasa. Sebagai dokter spesialis kejiwaan di rumah sakit itu, Vero tidak punya waktu khusus untuk bekerja. Ia punya jadwal jaga di poli jiwa dua kali dalam seminggu, dan sebagai konsultan utama, ia hanya perlu waktu paling lama dua jam setiap hari untuk memeriksa pasien-pasiennya. Selebihnya, Vero lebih suka berada di ruang instalasi gawat darurat.
Sampai di mulut pintu, seperti biasa, ia akan menemukan Rendi dan teman-temannya berjaga di ruangan itu. Sibuk dengan hal-hal yang tidak dimengerti Vero. Untungnya tidak ada pasien sat itu, itu melegakan. Hanya saja...
"Dok! Dicari sama direktur tuh!" celetuk Rendi.
Sudut mata Vero meruncing, "Ada apa?" herannya.
"Nggak ngerti juga," sahut Rendi terkesan tidak peduli.
Vero memeriksa smarthphone, tidak ada satu pun panggilan tidak terjawab. Direktur dalam ingatannya, jarang sekali mengadakan rapat, apalagi memanggil bawahannya, kecuali untuk hal yang benar-benar penting. Ia segera menuju lift dan menekan tombol angka tiga di dalam lift tersebut.
"Hai, Ver!" seseorang menyapanya lebih dulu ketika sampai di lantai tiga."Direktur nanyain kamu terus tuh! Tapi, beliau masih ada tamu. Jadi, tunggu aja dulu!"
Vero terpaku sejenak di depan pintu ruang direktur yang tertutup rapat. Ia kemudian beranjak ke balkon, memperhatikan rumah sakit yang berdiri di atas lahan seluas tak kurang dari 3 hektar. Dan siapa itu? Vero memfokuskan pandangan pada satu titik. Dia yang tampak selalu berhati-hati dalam melangkah. Rambutnya tergerai indah, dan entah sudah berapa kali Vero menasihatinya agar tidak mengenakan high-heels dan rok yang terlalu pendek. Itu akan membuat Vero merasa tidak nyaman. Vero diam-diam tersenyum sendiri mengingat Angel pernah dikejar-kejar pasien dan perempuan itu akhirnya berlindung di punggungnya. "Lalu apa jadinya jika aku tidak di sini? Apa kamu bisa melarikan diri dengan sepatu hak tinggimu itu?" kata Vero saat itu. Dan keinginan untuk terlihat anggun, tetap saja mengalahkan rasional Angel.
"Kapan kalian akan menikah?"
Suara berat yang khas, Vero berbalik.
"Berapa usiamu sekarang? Bukankah sudah cukup matang untuk menikah?"
Vero tidak menanggapi. Ia mengikuti direktur yang duduk di sofa hitam, dan ikut duduk setelah direktur mempersilakannya.
"Aku serius soal pertanyaanku? Selama kamu belum menikah, itu akan menganggu stabilitas pekerja perempuan yang lajang di rumah sakit ini."
"Apa Anda akan memecat saya karena masalah ini?"
Direktur tertawa. "Sebenarnya aku memanggilmu ke sini terkait presentasi hasil penelitianmu di Makassar dua minggu lalu."
"Ada apa dengan itu?"
"Ada undangan dari Rumah Sakit Jiwa Bogor, mereka akan mengadakan seminar internasional kejiwaan di Jakarta. Kamu diminta sebagai salah satu pembicara terkait hasil penelitianmu itu."
"Rumah Sakit Jiwa Bogor?"
"Ya."
Vero diam sejenak, "Tidak. Saya tidak bisa, Prof!" ucapnya.
"Kenapa? Ada alasan? Kamu bahkan belum tahu kapan? Bagaimana mungkin kamu langsung bilang tidak bisa."
Vero kembali terdiam.
"Baiklah. Dua minggu lagi berangkatlah ke Jakarta, persiapkan dirimu!" tegas Direktur.
Vero masih tidak bisa berkata apa-apa ketika Direktur beranjak dari sofa. Faktanya, ia tidak punya alasan untuk menolak. Selama ini, memang siapa yang bisa melawan keinginan direktur? Andai pun Vero punya alasan, direktur akan tetap mencari jalan agar keinginannya terwujud. Habis dengan solusi, direktur mungkin akan mengambil jalan ancaman.
~II~
Vero masih tenggelam dalam diam ketika lift terbuka, itu lantai satu dan Vero dibuat terkejut karena Angel telah berdiri di hadapannya. Ia urung keluar dari lift dan berharap ada kesempatan untuk menasihati Angel sekali lagi.
Cukup berjejal saat itu, Vero melingkarkan tangan ke pinggang Angel dan membuat perempuan itu lebih rapat kepadanya.
Angel tidak menolak, ia bahkan berbalik menghadap Vero.
"Apa kamu sakit?" bisik Angel.
"Apa?"
"Tadi malam kamu menelponku dan bilang tidak bisa tidur. Pagi ini kamu juga terlambat," ucap Angel sedikit gelisah.
Vero hampir lupa soal itu. Ilalang yang bergoyang, kilatan yang selalu singgah dalam mimpinya. Bibir itu, mata itu, wajah itu, senyuman itu... jika hal itu muncul, maka Vero akan segera terbangun dari tidurnya dan ia merasa gugup. Ada perasaan bersalah dan cemas yang tidak jelas alasannya. Vero mencoba mengingat kembali kata-kata Angel tentang hari ini dan masa depan. Untuk kecemasan yang tidak beralasan, sebenarnya sangat masuk akal jika Vero tidak memikirkan itu lagi. Tapi, ia tetap saja merasa cemas dan merasa bersalah pada Angel. Vero juga ketakutan membayangkan Angel mungkin akan membenci dan meninggalkan dirinya.
Vero tidak menjawab pertanyaan Angel, ia hanya memandangi perempuan itu. Mungkin benar Vero telah mengganggu Angel tadi malam. Dan adalah fakta ketika Vero tidak punya cara lain untuk menenangkan dirinya sendiri selain berbicara pada Angel. Vero mempererat genggaman tangannya, andai saja mereka tidak ditempat umum, Vero mungkin sudah memeluk Angel dan mengecup kening perempuan itu. "Menikah", satu kata yang terlintas. Tapi, buru-buru Vero ingin mengusir kata itu. Ia tidak pernah membayangkan hidup berkomitmen dengan seorang perempuan, memiliki anak dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap semua itu. Ia kira akan lebih mudah jika dirinya benar-benar jahat. Menjadi "tega" pada orang yang hampir berada dalam dekapannya. Baginya itu bukanlah sebuah pilihan, tapi ketidakberdayaan.
Pintu lift terbuka, satu per satu keluar dari lift hingga menyisakan mereka saja.
"Ini lantai tiga, kupikir kamu mau turun di sini," bisik Vero yang merasa Angel tidak beranjak satu langkah pun darinya.
"Kangenku belum habis," ucap Angel terkesan terlalu jujur.
Vero sedikit tertawa. Entah apakah tidak ada sedikit pun rasa malu yang dimiliki Angel untuk tidak mengungkapkan itu. Dia seharusnya bisa bersikap lebih angkuh.
"Apa ini Angel yang kukenal?"tanya Vero meledek.
"Aku tidak peduli. Nanti kita ketemu lagi!"Angel segera berbalik. Namun, baru setengah putaran, tiba-tiba Angel kehilangan keseimbangan, sebelah kakinya tertekuk. Vero segera menangkap lengan Angel, dan menarik tubuh orang itu ke dalam pelukannya. Setidaknya Angel tidak akan benar-benar terjatuh karena kejadian itu.
"Aku benar-benar benci dengan high-heels-mu!" gumam Vero.
Angel tertawa, "Maaf!" ujarnya tanpa sedikit pun rasa bersalah.
~II~
Menaikkan dosis obat, berarti meningkatkan efek samping yang dirasakan pasien terhadap obat-obatan itu. Sudah sepuluh menit Vero membolak-balik rekam medis milik Prayudi Dirga. Ia bahkan membaca riwayat dan catatan perkembangan pasien saat dirawat dahulu.
"Apa ini sudah tiga hari?" tanyanya tak fokus pada satu orang. Ia kira cukup untuk mengetahui apakah Yudi toleran terhadap dosis obat yang diberikan.
"Ya. Tremor-nya parah, Dok! Pasien juga mengantuk terus, bangun buat makan aja susah."
Vero menutup rekam medis, kemudian meletakkan benda itu di atas meja. Ia beranjak menuju kamar perawatan Yudi.
Yudi duduk di lantai dengan tangan memeluk lutut yang menekuk. Ia menghadap jendela yang terhalang teralis besi.
Vero berdiri di depan kamar Yudi. Ia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat. Ia hanya memperhatikan Yudi yang menatap kosong ke langit, tangannya bergetar hebat dan air liur menetes dari sudut mulutnya. Kadang-kadang laki-laki itu tersenyum sendiri tidak jelas karena apa.
Vero mengetuk pintu beberapa kali, hanya untuk membuat Yudi berpaling kepadanya.
"Boleh aku masuk?"
Yudi berpaling sejenak. Tapi, ia diam saja ketika melihat Vero.
"Masih ingat padaku?" tanya Vero yang mendekati Yudi, dan merendahkan tubuh di hadapan pemuda itu.
Yudi tetap diam.
Pada akhirnya Vero harus mengulurkan tangan, "Namaku Vero," ujarnya memperkenalkan diri sekali lagi.
Yudi tidak menyambut tangan Vero. Ia mulai gelisah sendiri, bola matanya berputar ke sana kemari. Sejenak tampak seperti orang yang ketakutan, Yudi ingin menjauh dari Vero. Pemuda itu mencoba berdiri, tapi tidak punya cukup tenaga untuk melakukannya.
Refleks Vero menangkap Yudi yang hampir tersungkur, "Tenang saja! Aku akan segera pergi," pelan Vero. Ia ingat Yudi pernah berkata ia seringkali melihat wajah orang berubah-ubah. Teramat mengerikan baginya. Dan mungkin saat ini pemuda itu melihat sosok bukan Vero hingga ketakutannya memuncak. Sesuatu yang membuat Yudi akhirnya mengisolasi dirinya sendiri, tidak hanya dari Vero, tapi dari semua orang.
Setelah beranjak pergi dari ruang perawatan Yudi, Vero memegangi tengkuknya sendiri. Rasa cemas tiba-tiba juga menyergapnya.
"Nanti aku kembali," ucap Vero ketika ada perawat yang menyodorkan kertas resep yang baru padanya.
Vero segera keluar dari ruangan perawat. Ia melangkah cepat menuju lift gedung utama. Menunduk dan tidak menyahut saat ada orang yang menyapanya. Seolah ingin menyembunyikan dirinya sendiri dari orang lain, orang itu ketakutan ketika ada yang mencoba menatap matanya.
Sampai di atap gedung, Vero mengeluarkan kotak rokok dari jas putih. Pemantik api dinyalakan dengan tangan yang bergetar. Orang itu merasa kesal berkali-kali saat dua tiga kali api padam karena angin bertiup terlalu kencang di tengah terik itu. Pada akhirnya Vero menyerah, ia merasa terpuruk karena tidak bisa menyelesaikan masalah pemantik api. Orang itu tertunduk diam sambil menatap kosong pada pagar beton yang mengelilingi rooftop. Ia bisa saja naik ke tepian pagar dan terjun ke bawah, sesuatu yang membuat perasaan takutnya hilang seketika.
Dalam kesunyian itu, tiba-tiba saja ada yang menggenggam bahu kanannya. Vero sempat terkejut. Ketika ia berpaling, Vero jadi terdiam sangat lama. Batas antara kenyataan dan mimpi seperti hilang dari benaknya. Sudah tiga bulan ini ia melihat sosok itu, seperti timbul dan tenggelam. Vero juga tidak bisa menyebutkan pastinya di mana ia melihat sosok itu. Sosok yang menggenggam bahunya, sosok yang selalu tersenyum pada Vero. Senyum yang sebenarnya dirindukan. Tapi, seharusnya sosok itu sudah hilang sejak Vero kecil. Seberapa pun sakitnya dia saat ditinggal, seberapa pun dia rindu terhadap sosok seorang ibu, seharusnya mereka tidak bertemu lagi.
Vero kembali memalingkan wajahnya, "Pergi! Kau tidak nyata!" lirihnya tanpa keyakinan. Angin sekali lagi bertiup cukup kencang dan Vero tetap ragu untuk mengusir bayangan yang ada di sampingnya.
~II~