"Dokter Alvero Yudistira!"
"Ya", sahut Vero ketika resepsionis membaca nama yang tertera di tanda penginalnya.
"Kamar Anda di lantai 10 no 1005. Petugas kami akan mengantar Anda."
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri," Vero menyimpan kembali tanda penginal ke dalam dompet.
"Baik. Selamat berisitirahat!"
Ini Jakarta, ada keengganan dibenak Vero untuk menginjak kota itu, tapi ia akan lebih menyesal karena terus terkungkung dalam ketakutan. Ia sendiri sering mengatakan pada pasiennya, jika fobia terhadap sesuatu, tidak ada cara lain untuk sembuh selain menghadapi objek yang membuat kita takut itu. Pelan-pelan hingga terbiasa.
"Tidak buruk," katanya pelan ketika sampai di kamar yang khusus disediakan untuknya. Gambaran kota Jakarta yang teramat padat bisa terlihat jelas dari tempatnya berdiri. Vero menyeruput kopi sisa yang ia bawa dari bandara. "Dua jam lagi," gumamnya tidak bersemangat sambil melirik jam tangan. Acara pembukaan akan dimulai jam delapan malam, direktur bilang itu adalah acara seminar internasional, tapi sebenarnya itu adalah acara tahunan yang akan dihadiri para dokter spesialis kejiwaan seluruh Indonesia. Banyak yang akan dibicarakan pada forum itu, penelitian terbaru, kombinasi terapi obat-obatan yang efektif dengan rendah efek samping, dan terapi-terapi baru untuk kesehatan mental yang tidak terlalu diyakini fungsinya. Vero mempelajari semua hal yang ia bisa tentang kesehatan mental seseorang, namun tetap saja bahasan itu terkesan abstrak.
Di ruang pertemuan, masalah klasik terdengar lagi.
"Sulit mengubah stigma di masyarakat. Setelah keluar dari rumah sakit jiwa, pasien kita punya image yang buruk di masyarakat. Mereka dikucilkan, diejek, ujung-ujungnya tertekan dan akhirnya kembali ke rumah sakit untuk menjalani perawatan. Itu masih lebih baik dibanding mereka memilih bunuh diri."
Vero yang hanya curi-curi dengar melipat tangannya di depan dada. Ia merinding membayangkan hal yang baru saja didengarnya. Sayangnya hal itu selalu terjadi, stigma masyarakat yang tidak kalah mengerikan dibanding halusinasi yang dialami para skizofrenia. Cemas dan curiga berlebihan, ketidakmampuan mengambil keputusan, dan halusinasi yang begitu mengganggu. Vero terus saja mencoba memahami apa yang ada di dalam pikiran mereka dan apakah mereka bisa mengabaikan ejekan orang ketika keluar dari rumah sakit. Nyatanya tidak. Selalu dan selalu kembali dengan keluhan yang sama dan bahkan lebih buruk.
Dan entah apakah ada yang menyadari, bahwa Vero pernah melarikan diri dari dunia yang dibangun bersama orang lain dan ia membangun dunianya sendiri. Dunia yang baru yang hanya mengenal Vero sebagai Vero. Dan dunia yang pernah ia tinggalkan itu adalah Jakarta.
"Selamat datang bagi Anda para profesional negeri ini...."
Tempat pertemuan tiba-tiba menjadi sangat hening. Semua mata tertuju ke podium, Prof. Adi Riyanto, Sp.Kj berdiri di sana. Pria usia hampir 70 tahun, guru besar fakultas kedokteran bagian kejiwaan, dan menjadi orang yang paling dihormati di antara para spesialis kejiwaan. Vero juga pernah belajar padanya dan cukup tahu watak orang itu.
Dan sesuatu yang luar biasa sedang terjadi, seseorang mengendap dari belakang dan berusaha menduduki bangku kosong di samping Vero. Vero tiba-tiba ingat masa-masa kuliah beberapa tahun lalu. Ada seseorang yang begitu setia duduk di sampingnya dan jika sudah begitu, Vero tahu akan banyak masalah yang terjadi.
Vero tersenyum menunduk. Seakan masa-masa kuliah itu kembali lagi.
"Apa boleh buat, hari ini hari ulang tahunku dan sebagai hadiahnya aku ditinggal sendiri di bangsal perawatan pasien akut. Para perawat itu sungguh keterlaluan. Ini lebih buruk dibanding berada di kandang harimau."
"Tapi kelihatannya kamu baik-baik saja. Tidak terluka sedikit pun."
"Lo tahu siapa gue 'kan?"
Ya. Satu-satunya yang mampu mengalahkannya dalam taekwondo. Yang tidak akan membiarkan apa pun menggores kulitnya yang sudah seperti boneka porselen. Orang yang merasa paling tampan tapi paling malas merayu perempuan. Sampai sekarang, Vero ragu orang di sampingnya itu punya orientasi seksual yang benar. Dan lihatlah kulitnya yang semakin putih dan mulus itu, bak artis Korea. Dia seharusnya bukan menjadi spesialis kejiwaan, tapi dokter bedah plastik atau dokter spesialis kulit dan kelamin seperti ibunya.
"Aku sangat merindukanmu." Hendry bertopang dagu sambil memandang penuh pada Vero.
Vero mendesis.
Lalu tiba-tiba...
"Vero! Hendry! Keluar kalian!"
Dunia seperti milik berdua. Mereka lupa dengan Prof. Adi yang tidak suka ada yang bicara saat ia memberikan materi. Vero dan Hendry saling berpandangan, mereka merasa luar biasa karena Prof. Adi masih mengingat nama mereka.
Siapa pun tahu bahwa ini bukan sedang dalam perkuliahan, Prof. Adi rasanya terlalu berlebihan. Sehingga Hendry dan Vero tidak punya pilihan. Semua mata mengarah pada Vero dan Hendry. Prof. Adi juga tidak melanjutkan pidatonya. Hendry dan Vero berdiri perlahan, dengan sedikit menundukkan kepala pada tamu-tamu yang lain, mereka membalikkan badan dan berjalan menuju pintu EXIT.
"Apa ini akan masuk ke catatan notulen?" bisik Vero masih sempat bercanda.
"Aku rasa dia tahu kalau kamu belum sempat istirahat dan aku juga dari rumah sakit langsung ke sini," Hendry bersandar di dinding dekat pintu keluar. "Kita hanya diperbolehkan istirahat lebih cepat."
Vero mengangguk. Masuk akal yang diucapkan Hendry. Mengagumkan dengan pikiran positifnya itu.
Hendry menatap Vero dengan tatapan yang sendu kemudian. Hal yang membuat Vero justru merasa ketakutan. "Apa? Kenapa?" tanyanya.
Hendry melangkah maju, berdiri lebih dekat dengan Vero.
"Pengin banget dech rasanya meluk kamu," ujar Hendry semakin mendekat sambil merentangkan tangannya. Spontan, Vero menangkap tangan Hendry, memutarnya dan menghempaskan tubuh Hendry ke dinding. Untuk beberapa detik Vero memang membuat tubuh Hendry terkunci, tapi bukan Hendry yang akan menyerah begitu saja. Hendry menginjak kaki Vero, ia memutar tubuhnya saat Vero lengah, dan dalam tiga detik, Hendry berhasil membanting tubuh Vero ke lantai.
"Ini baru ronde pertama," Hendry menggenggam tangan Vero dan membantu pria itu berdiri. Mereka kemudian melepaskan jas putih mereka dan menggantungnya di pegangan dinding yang terpasang di sepanjang koridor hotel.
Hendry menggerakkan jari telunjuknya, meminta Vero menyerangnya lebih dulu. Hendry sudah bilang bahwa ia ingin sekali "memeluk" Vero, itu berarti Hendry ingin sekali menghajar orang itu. "Aku nggak akan minta maaf kalau kamu terluka, tapi aku juga nggak akan ngelepasin kamu begitu saja," tegas Hendry lagi.
Vero menurutinya, serangan bertubi-tubi dilayangkan Vero. Ia berhasil membanting tubuh Hendry berkali-kali, tapi selalu ada balasan dari Hendry untuk itu. Hingga akhirnya 360 derajat tubuh Vero berputar di udara dan terhempas ke lantai. Vero hampir tidak bisa bergerak, ia tiba-tiba merasa mual dan sesaat kemudian darah menyembur dari mulutnya.
Sesaat Hendry diam saja memperhatikan teman lamanya tidak berdaya.
Vero mencoba menggerakkan tubuhnya dan bersandar di dinding. Sangat beruntung karena tidak ada yang lewat di koridor hotel saat itu dan orang-orang di dalam ruang pertemuan tidak akan mendengar keributan yang mereka buat karena ruangan itu kedap suara.
"Kamu mau tetap diam di situ sampai mereka keluar?" ucap Vero dengan suara yang berat mengingat sebentar lagi pertemuan akan selesai.
Hendry mendesis, ia menarik jas putih miliknya dan milik Vero. Hendry menggenggam lengan Vero, membantu laki-laki itu berdiri dan memapahnya menuju lift. Hendry tidak perlu bertanya ke mana dia akan mengantar Vero. Karena sebagai salah satu panitia pelaksana pertemuan itu, Hendry mempersiapkan semua keperluan tamu undangan yang datang. Apalagi Vero sebagai salah satu pembicara dan dirinya hampir saja merusak acara yang menjadi tanggung jawabnya dengan melukai orang penting itu.
Hanya saja Hendry tidak bisa menundanya lagi, atau dia akan merasa iba seperti sebelumnya dan Vero mengulangi kesalahan yang sama. Vero menghilang, tidak pernah menghubunginya. Dia juga tidak punya media sosial. Hanya dua tahun terakhir ini orang itu muncul di beberapa seminar nasional dan Hendry akhirnya tahu bahwa sahabatnya itu baik-baik saja.
"Aku juga tidak harus minta maaf karena sikapku,"ujar Vero berat ketika mereka sampai di kamar 1005 dan Hendry menekan saklar lampu.
Jakun Hendry bergerak naik turun, ia mencoba bersabar dengan sikap Vero yang terus saja ingin menghindar. Vero terkesan telah melupakan persahabatan mereka, padahal sepanjang ingatan Hendry, ia tidak pernah punya salah dengan Vero. Kecuali tentang dirinya yang menyimpan rahasia besar Vero.
"Apa kamu yakin aku akan mengatakan pada semua orang tentang masalahmu. Sudah hampir sembilan tahun sejak serangan itu, tapi buktinya nggak ada yang tahu, 'kan?" pelan Hendry. Ia tidak yakin Vero mendengar pertanyaan yang ia lontarkan. Karena Vero sedang terbaring lemah dengan mata terpejam di atas tempat tidur. "Beberapa tahun ini aku mencoba memahami, apa bisa aku memintamu berhenti mencurigaiku? Rasanya itu percuma. Pada akhirnya aku harus sadar bahwa keberadaanku memang ancaman bagi alam bawah sadarmu dan aku harusnya memahami itu," Hendry tidak bisa menahannya lagi, matanya berkaca-kaca terlebih ketika melihat luka sayatan post laparotomi di kuadran kanan perut Vero. Luka sayatan yang sama yang ada di perut Hendry. Dirinya hampir mati saat kecelakaan, dua organ ginjalnya rusak dan hanya dengan kemungkinan transplantasi berhasil 30 persen, Vero menyumbangkan ginjalnya. Saat itu Vero masih asing bagi Hendry. Vero tidak lebih dari teman satu angakatan di fakultas kedokteran dan kebetulan mereka memiliki golongan darah yang sama.
Hendry sudah menyusun rencana untuk membawa Vero melakukan medical cek up ke rumah sakit terbaik di negeri ini. Tentu saja pukulan yang baru saja dilayangkan yang ia jadikan alasan. Hendry akan tenang jika hasil pemeriksaan semua organ dalam Vero baik. Orang yang hanya punya satu ginjal di dalam tubuhnya.
~II~
"Apa Anda sudah menikah?" pertanyaan pembuka untuk sesi tanya jawab setelah Vero menyelesaikan presentasinya. Kesekian kalinya ia mendengar pertanyaan itu dan ia harus menutup mulut dengan alasan profesionalitas.
"Benar Anda tidak ingin menjawabnya?" tanya moderator lagi karena Vero belum memberi tanggapan.
Vero tersenyum sejenak. Moderator perempuan berambut pendek hampir membuatnya kehabisan akal untuk menghindari pertanyaan itu. Ia memperhatikan para audience yang sepertinya juga menantikan jawabannya.
"Masih dengan pertanyaan yang sama," tekan moderator lagi.
Para audience tertawa.
Vero seperti tidak punya pilihan. Ia mengangkat mic, "Bisa tolong buka profil saya?" pintanya pada operator.
Profil hidup dr. Alvero Yudistira, Sp.Kj yang ditampilkan sebelum Vero presentasi.
"Saya sebagai ketua program peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan jiwa, kami bekerja sama dengan beberapa universitas dan pelayanan kesehatan tingkat pertama di daerah, ada nomor telpon yang bisa Anda hubungi tertera di layar. Sebenarnya itu nomor yang terhubung dengan ponsel pribadi saya," Vero mengangkat ponselnya,"khusus untuk pertanyaan ini, yang benar-benar ingin tahu jawabannya, saya lebih senang Anda bertanya langsung dengan saya," lanjutnya percaya diri.
Ruang pertemuan dipenuhi sorakan dan tepukan tangan dari para audience.
"Begini ya rasanya ngobrol sama ahli kejiwaan? Rasanya kena gimana gitu...," kata moderator dengan antusiasnya.
"Kami hanya mencoba memahami," tanggap Vero.
"Memahami?"
"Apa yang benar-benar dibutuhkan orang lain, kami mencoba memahami itu dari reaksi emosi, perilaku seseorang," Vero mencoba mengartikan secara sederhana tentang profesi yang ia jalani.
"Apa menurut Anda, Anda sudah benar-benar bisa memahami orang lain?"
"Sedikit."
"Hanya sedikit?"
"Ya."
"Contohnya?"
"Ok. Untuk para audience, silakan angkat tangan yang memilih menelpon saya untuk tahu status saya!" perintah Vero.
"Hanya sekitar 20% dari seluruh perempuan di sini yang mengangkat tangan. Apa itu berarti Anda gagal menentukan hal yang paling diinginkan para perempuan?"
"Tidak juga."
"Kenapa?"
"Yang tidak mengangkat tangan, dia sudah menikah. Dan jika ada yang sudah menikah mengangkat tangan juga, berarti mereka berniat selingkuh."
"Waw, Anda percaya diri sekali! Baik, saya akan tanya yang tadi tidak mengangkat tangan. Apa benar Anda sudah menikah?" moderator meminta seorang audience berdiri.
"Nama saya Airin, benar saya sudah menikah."
"Ok. Terima Kasih."
Moderator kembali melihat ke Vero,"Jadi, yang tidak mengangkat tangan hanya ingin tahu status Anda tanpa keinginan untuk menelpon Anda."
"Tidak sesederhana itu. Tentang sebuah "Keinginan" Anda harus bertanya dan seseorang harus mengungkapkan tentang itu. Mereka mungkin punya "keinginan" tapi jika secara adat dan budaya menjadi tidak wajar, maka akhirnya "keinginan" itu tidak diwujudkan karena akan salah menurut norma. Yang tidak mengangkat tangan pun belum tentu semuanya menikah, sekali lagi ada budaya disana, juga ada tipe kepribadian. Lagi pula perlu cukup keberanian untuk menekan nomor telpon dan bertanya "apa Anda sudah menikah?" Secara sederhana saya katakan, saya sudah bisa membuat garis besar bagaimana kepribadian 20% perempuan yang mengangkat tangan mereka dan menelpon saya. Intinya saya hanya melakukan analisis tanpa kesimpulan, banyak faktor yang mempengaruhi perilaku, sikap dan emosi seseorang. Dan ini akan lebih sulit pada orang dengan mental disorder."
"Kenapa sulit?"
"Karena kita tidak diizinkan mempercayai pikiran mereka."
"Ok. Menarik sekali karena kita harus melihat manusia dari berbagai sisi."
Vero mengangguk.
"Baiklah, kita beralih ke kegiatan Anda yang Anda sebutkan di awal, 'upaya peningkatan pengetahuan'?"
"Kegiatan itu bertujuan untuk mengurangi angka kekambuhan pada orang-orang dengan mental disorder, ODS, atau yang lainnya yang pernah dirawat di rumah sakit jiwa, pada dasarnya stigma melekat pada mereka. Sayangnya stigma ada di masyarakat dan sebagai orang yang bergerak di pelayanan kesehatan, kami harus terjun langsung untuk menghilangkan stigma itu. Pendampingan,penyuluhan, penekanan bahwa mereka yang mengalami gangguan mental adalah manusia. Sangat tidak pantas diperlakukan seperti binatang, mendapat nutrisi tidak layak, apalagi dipasung seolah mereka adalah binatang buas. Belakangan juga terjadi peningkatan kejadian skizofrenia karena penyalahgunaan obat, dan kami bekerja sama dengan kepolisian juga pejabat desa setempat untuk memberantas itu. Seharusnya orang-orang dengan gangguan jiwa dan dirawat tetap bisa hidup berdampingan dengan orang yang tidak pernah memiliki riwayat demikian dan tetap bisa bekerja. Mereka perlu yang namanya kesempatan."
"Kesempatan?"
"Kesempatan untuk hidup layak, edukasi dan juga pekerjaan.Untuk apakah mereka mampu secara klinis dan sosial, biar dokter yang menentukan."
...
"Dokter Alvero Yudistira! Beri tepuk tangan!"
Vero menundukkan kepalanya beberapa kali sebagai penghormatan pada orang-orang yang sudah bersedia menjadi pendengarnya. Ia turun dari podium dan duduk di samping Hendry.
"Kita sudah menarik perhatian sejak kita dikeluarkan dari ruang pertemuan semalam,"ucap Hendry. "Dan sekarang kamu bikin lebih banyak orang penasaran soal status kamu," lanjutnya.
Vero menganggap itu sebuah pujian. Menjadi misterius adalah pilihan yang menarik baginya.
"Setelah ini aku mau ngajak kamu nge-date!" kata Hendry membuat Vero terdiam sejenak.
Nge-date yang berarti mereka harus ke rumah sakit bersama-sama untuk melakukan pengecekan kesehatan secara menyeluruh.
"Atas indikasi?"
"Pukulan yang kamu dapat tadi malam!"
Vero mulai gelisah, ingin melarikan diri.Tapi, ia sadar ia tidak akan pernah berhasil dengan niatnya itu. Entah dari mana Hendry mendapatkannya, sebuah borgol telah melingkar di lengan kirinya. Soal pukulan, sebenarnya bukanlah hal yang serius. Karena jika Hendry melakukannya dengan serius, maka hanya perlu tiga langkah untuk merusak pendengaran, mematahkan minimal empat tulang rusuk dan merobek tendonnya.
~II~
"Dari hasil pemeriksaan darah, semuanya dalam batas normal, fungsi ginjalnya juga bagus, tidak ada peningkatan ureum dan kreatinin. Hanya tekanan darahnya saja yang agak rendah. Dari USG abdomen, ukuran ginjal, ureter, lambung, lien dan hepar juga dalam batas normal. Dari hasil foto thorax, tidak ada infiltrat pada paru, juga tidak terlihat adanya udem pulmonal, jantung dalam ukuran normal. Hanya saja dari hasil MRI kepala, ada gambaran berbeda, tidak spesifik, kami tidak bisa mengkonfirmasi ini, terlebih karena pasien tidak menunjukkan gejala klinis yang abnormal."
Hendry mengangkat satu per satu lembar hitam putih mendekati cahaya. Terkesan tidak percaya dengan penjelasan dokter yang memeriksa Vero, Hendry ingin melihat sendiri fakta tentang kesehatan Vero. Ada gambaran yang abnormal memang di hasil MRI kepala Vero, cukup lama ia memperhatikan itu hingga akhirnya, "Hapus saja rekaman hasil MRI, anggap kita tidak pernah melakukan pemeriksaan ini,"katanya.
Di luar rumah sakit, Vero menunggu Hendry hampir dua jam. Pemeriksaan bertubi-tubi yang ia alami membuat perutnya mual, tapi tidak ada yang bisa dilakukan Vero untuk menolak.
"Kurasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan," Hendry menghampiri Vero.
Vero memperhatikan lembaran amplop cokelat yang besar. Sudah lima tahun sejak medical cek up terakhirnya.
"Mau lihat?" tawar Hendry hingga membuat Vero harus meletakkan cangkir kopinya di pagar beton tempatnya bersandar sejak tadi.
Hendry tidak perlu menjelaskan apa pun. Termasuk dengan satu-satunya hasil MRI yang ada. Cukup lama Vero memperhatikan itu. "Ketidakseimbangan cairan di otakku dan ada pembesaran di ventrikel. Apa ini cukup berpengaruh?" sebutnya pelan.
Masing-masing dari mereka diam kemudian. Angin berembus pelan di sore itu. Setidaknya sekarang Vero masih dalam tahap mengerti untuk hasil-hasil pemeriksaan penunjang di tangannya.
~II~