Mereka pun sampai ditempat pertemuan. William mendampingi Yena. Para bodyguard Rio pun mengikuti mereka berdua. Mereka menyusuri pinggir danau. William menatap lokasi itu seksama, sepi tak ada orang. William diam-diam menyalakan perekam suara yang tersembunyi di balik dasinya dengan berpura-pura membetulkan posisinya.
Datanglah sebuah mobil Limousine dan seseorang turun disana. Itu adalah Roberto dan anak buahnya. Yena mendekatinya dan bersalaman. William pun ikut berjabat tangan. Yena masuk ke dalam mobil dan William diminta untuk menunggu diluar mobil bersama bodyguard Rio dan bodyguard Roberto.
Mereka berbicara bahasa Inggris.
"Ah, sial. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan." Batin William kesal.
Tak lama seorang lelaki muncul dari dalam hutan membawa sebuah ponsel. William dan para bodyguard Rio menatap lelaki itu seksama. William dan lelaki itu saling bertatapan tajam dan menunjuk spontan.
"You? What are you doing here?" Tanya William padanya.
"Roberto is my boss." Jawabnya cepat.
"What?" Ucap William kaget.
Ternyata lelaki itu adalah pengedar narkoba yang William temui saat di Mexico dan mengaku sebagai pembalap yang akhirnya berakhir dengan Selena di hotel. Lelaki itu melihat sekitar. William bingung.
"I already know who you really are! You are a cop!" Pekiknya lantang.
William panik seketika. Dia tak menyangka lelaki itu tahu tentang dirinya. Para bodyguard Rio dan Roberto langsung mengeluarkan senjatanya dan mengarahkan pistol ke William.
"What? Hei.. jangan asal bicara!" Ucap William mencoba mengelak.
"Aku sudah tau, kau tak bisa menipuku, William!" Ucapnya yang ikut mengarahkan senjatanya pada tubuh William.
William tak mau rahasianya terbongkar. Ia pun ikut mengeluarkan senjatanya. Ia menodongkan ke arah lelaki Mexico itu.
"Bisa-bisanya kau menuduhku, kau yang agen rahasia CIA. Aku sengaja memancingmu agar kau menunjukkan jati dirimu. Kau mengelabuhi Roberto selama ini karena ingin menangkapnya dan menghancurkan bisnis narkobanya, kan? Jangan mengelak, Santiago." Ucap William memutar balikkan fakta.
Para bodyguard Rio dan Roberto bingung kepada siapa mereka harus memihak. Semua orang saling mengarahkan senjata. Roberto mendengar keributan dari dalam mobilnya. Ia dan Yena pun keluar.
"What's wrong?" Tanya Roberto penasaran.
"He's a police!" Ucap William dan Santiago bersamaan. Mereka berdua saling bertatapan tajam.
Yena dan Roberto kebingungan. Tiba-tiba..
SHOOT.. DOR! DOR! "Argh.." bodyguard Rio tertembak di punggungnya dan langsung tewas tersungkur di tanah.
"Jebakan! Jebakan! Ini pasti jebakan!" Teriak William memperkeruh suasana.
Roberto dan Yena panik. William memaksa mereka masuk ke dalam mobil. Dari luar terdengar suara tembakan bersahut-sahutan.
"Kalian pergilah dulu, aku akan amankan situasi. Go go go!" Teriaknya sembari menutup pintu mobil Limousine Roberto.
Mobil Roberto berhasil kabur menghindari tembakan. William berpura-pura dipihak Roberto. Santiago masih menembakkan senjata-senjatanya. Para bodyguard Rio dan Roberto ditembaki oleh sniper CIA.
DOR! "Argh.. aghh.." William menembak kaki Santiago dan berjalan santai ke arahnya.
BUAKK! SRAKK.. kini William menendang tangan Santiago yang memegang pistol hingga pistol itu jatuh di tanah. Santiago tersungkur di tanah.
"Agh.. kau.. ternyata benar kau ini.." DOR! Santiago tewas dengan peluru bersarang di keningnya.
"Yes. I am an agent." Ucap William menatap mayat Santiago keji.
Para bodyguard Rio dan Roberto berhasil dilumpuhkan, kini hanya tersisa William seorang. Tak lama para sniper pun muncul mendatangi William bersama Catherine. William menatap Catherine seksama dan menyarungkan kembali pistol di pinggangnya.
"Apa yang kau lakukan disini?!" Pekik William bingung.
"Bukannya berterima kasih malah membentakku." Jawab Catherine kesal sembari memberikan sebuah ID pada William.
William pun menerimanya sambil berkerut kening. Dia menatap Catherine dan para sniper seksama.
"Itu ID palsu Santiago yang sudah kubuat menjadi seorang agen. Kau punya alibi pada Roberto dan Rio sekarang. R kesal, kau pergi ke Rusia tanpa memberitahunya. Untung kami pasang alat pelacak ditubuhmu." Jawab Catherine sembari memberi kode pada para sniper untuk membereskan mayat para bodyguard Rio dan Roberto.
Mereka memasukkan mayat-mayat itu ke dalam mobil yang William bawa tadi termasuk mayat Santiago.
"Heii.. apa yang kalian lakukan? Kenapa dimasukkan dalam mobilku?" Pekik William menunjuk ke para sniper dengan kesal.
Catherine memegang dagu William dan mengarahkan ke wajahnya. William bingung.
"Kau kenapa jadi bodoh begini? Kau seorang bodyguard. Kau barusaja menyelamatkan nyawa bosmu. Kau harus membawa mayat-mayat ini kembali ke markas Rio termasuk Santiago." Ucap Catherine menatap William heran.
William diam sejenak.
"Ya. Kau benar. Agh.. kenapa denganku? Aku seperti tidak fokus akhir-akhir ini." Ucap William menyisir rambutnya ke belakang dengan kedua tangannya.
Catherine terkekeh. William bertolak pinggang menatapnya tajam. Catherine pun mendekatinya dengan tatapan menggoda.
"Mungkin kita harus makan malam lain waktu." Ucapnya sembari menggigit bibir bawahnya gemas.
William terkekeh. Dia suka rayuan Catherine. Segera para sniper pun kembali ke posisinya. Catherine pun meninggalkan William sendirian. William menghela nafas panjang dan masuk ke mobil Rio. Ia menatap mayat-mayat itu dan kembali mengemudikan kendaraannya menuju ke markas bawah tanah Rio.
Tak lama panggilan telepon masuk.
"Yes, Rio." Jawab William ngos-ngosan. Ia kembali berakting.
"Kau dimana?"
"Aku berhasil selamat tapi para bodyguard sudah mati. Santiago penghianat, Rio. Dia seorang agen CIA." Ucap William berbohong.
"What? Tidak mungkin. Ia sudah menjadi tangan kanan Roberto selama 7 tahun lebih." Jawab Rio menyangkal.
"Aku punya buktinya. Tunggu saja. Aku segera sampai." Ucap William sembari menutup teleponnya.
Sebelum sampai ke markas, William merasa akan sangat janggal jika dia terlihat bersih. Dia turun dari mobilnya dan memarkirkan dipinggir jalanan yang sepi. William pun dengan berat hati dan dengan sengaja melukai dirinya.
DOR! "Agh.. Shit! Shit!" William menyerempetkan peluru hingga jasnya tergores dan robek. Lengan William berdarah namun peluru tak bersarang dilengannya.
Dia pun menahan perih dilengannya agar orang-orang di markas tak curiga. Ia juga menembak kaca belakang mobil hingga pecah. William mengambil bekas pelurunya dan membuang ke danau. Setelah dirasa cukup, ia pun segera mengemudikan mobilnya menuju ke markas Rio.
Tak lama ia pun sampai dan segera turun. William membiarkan mayat-mayat itu tetap berada dalam mobil. Ia berlari masuk ngos-ngosan ke dalam lorong.
William bertemu dengan para bodyguard Rio dan memberitahu tentang mayat di mobilnya. Mereka pun segera bergegas memindahkannya. William sengaja membuat dirinya berantakan dan terus berlari kecil menyusuri lorong hingga sampai ke ruangan yang lebih besar.
Terlihat Rio, Igor, Roberto, Yena dan para bodyguard lainnya menatap William seksama. William menunjukkan kemampuan beraktingnya. Dia mengelap keringat di dahinya dan mendatangi Yena dengan nafas tersengal.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya William ngos-ngosan menatap Yena serius.
Yena mengangguk. Dia melihat luka di jas William.
"Oh William. Apa kau terluka?" Tanya Yena cemas.
"Oh, aku hanya terserempet peluru." Ucapnya sembari mengatur nafasnya.
Rio, Igor dan Roberto menatap William tajam. William mengeluarkan ID palsu buatan Catherine pada Roberto, ia pun menerimanya. Roberto kaget. Rio pun mengambil ID itu dan menyerahkannya pada Igor. Kini mereka menatap William seksama.
"Darimana kau tahu jika Santiago seorang agen?" Tanya Roberto curiga.
"Aku sudah bertemu dia sebelumnya saat di Mexico. Saat itu aku membeli narkoba darinya. Ketika aku akan mengantarkan pada salah satu pelangganku, aku melihat Santiago sedang berbicara pada seseorang. Aku mengikutinya. Ternyata mereka adalah polisi yang sedang menyamar. Seharusnya esok harinya aku bertemu dia lagi untuk memberikan uang tapi aku langsung pergi malam itu juga. Dari sanalah aku tahu jika Santiago adalah seorang agen rahasia." Ucap William berbohong dengan lihainya.
Rio dan Roberto saling berpandangan. Yena menatap William tajam yang memegangi lengannya. Yena merangkul lengannya. William kaget.
"Aku akan mengobati William dulu. Kalian diskusikan saja mengenai hal ini. Bagaimanapun William sudah menyelamatkan nyawa kita." Ucap Yena membelanya.
"Hmm.. kerja bagus, William. Kau istirahatlah. Nanti kita bicarakan lagi." Ucap Rio pelan.
William mengangguk. Yena mengajaknya kembali ke kamarnya. Rio, Roberto dan Igor menatap William seksama entah apa yang mereka pikirkan.
William didudukkan diatas kasur oleh Yena. Dengan sigap Yena langsung melepaskan jas William berikut kemejanya. William melepaskan sendiri dasinya takut Yena menemukan alat perekamnya. William pun bertelanjang dada dan berpura-pura merintih kesakitan karena lukanya. Yena dengan cepat segera membersihkan luka William dan mengobatinya. William menatap Yena seksama.
"Dia sangat terampil. Apa dia perawat?" Batin William menebak.
Yena pun sudah selesai membalut luka William dengan perban. Ia duduk di samping William dan mengelap tangannya dengan handuk kecil. William menoleh ke arahnya.
"Thank you, Yena." Ucapnya sembari tersenyum.
"No problem." Jawabnya enteng.
"Mm.. kau sudah berapa lama ikut Rio?" Tanya William yang memanfaatkan kesempatan untuk mengorek informasi darinya.
"5 years." Jawabnya cepat sembari meletakkan handuk kecil itu ke meja samping ranjang William.
William mengangguk pelan.
"Tapi aku tak melihatmu di mansion Rio, Virginia." Ucapnya mendongak ke atas menatap wajah Yena seksama yang kini berdiri di depannya.
Yena tersenyum tipis. William bingung.
"Sebenarnya.. aku ini anak Roberto." Jawabnya santai.
"What? Jadi.. Roberto ayahmu?"
"Yep. Aku.. hanya selisih 2 tahun dengan Sia. Aku lebih tua. Dia sekarang sedang di rumahku. Aku.. berteman cukup akrab dengannya." Ucap Yena menatap William dalam.
William mengangguk pelan. Tiba-tiba Yena merobohkan bahunya hingga ia terlentang di kasur. William kaget. Yena mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dengan wajah William.
"Hmm.. aku heran kenapa Sia tak tertarik padamu. Apa mungkin karena Tomy?" Ucap Yena menatap wajah William seksama dan menurun sampai ke roti sobeknya.
William diam saja. Ia bingung. Entah kenapa jantungnya berdebar. William langsung bergulung kesamping dan segera berdiri. Ia berjalan ke lemarinya, mengambil sebuah kaos dan segera memakainya. Yena tersenyum tipis dan kembali berdiri tegak.
William melirik Yena sekilas dan kembali menutup lemarinya.
"Mm.. Yena. Jika tak ada yang perlu dibicarakan aku mau menemui Rio." Ucapnya sedikit sungkan.
"Baiklah. Aku juga mau kembali ke kamarku. Bye Will." Ucapnya sembari tersenyum miring.
William menatap kepergian Yena seksama. Ia pun segera membereskan pakaiannya. Dia menatap jasnya yang robek.
"Sialan. Ini jas mahal jadi rusak. Rika harus menggantinya." Batin William kesal.
Diapun segera membungkus pakaiannya yang sudah rusak dan memasukkannya ke plastik sampah. William membuangnya. Ia tak pernah mau memakai pakaian yang sudah lusuh karena hal itu mengingatkan pada dirinya yang miskin dulu.
Memakai baju seadanya bahkan baju sudah robek pun terpaksa ia kenakan karena hidupnya yang miskin. William tak mau ia kembali miskin seperti dulu. Oleh karena itu, ia membuang semua hal-hal yang berkaitan dengan masa lalunya yang kelam.