Chereads / Secret Mission / Chapter 15 - Engagement

Chapter 15 - Engagement

Setelah selesai sarapan, William segera bergegas menemui Roberto di bawah. Ternyata ia sedang sarapan dengan Rio, Sia, Tomy, Selena dan Yena. Tak tampak Julius disana. William pun menunggu di luar sembari melihat-lihat mansion milik Roberto. Tiba-tiba Igor ada di depannya. William kaget setengah mati.

Ia masih teringat terakhir kali ia berkelahi dengan Igor. William merasa ia harus berlatih bela diri lagi jika ingin mengalahkannya. Tiba-tiba Igor memberikannya sebuah kunci mobil. William pun menerimanya. William bingung bagaimana mengajaknya bicara karena ia tak bisa bahasa isyarat juga. Igor menunjuk sebuah mobil. William pun mengangguk.

Ia menekan remote pada kunci itu dan suara penanda lokasi mobil pun menyala. William segera masuk ke mobil itu. Dia mengecek keseluruhannya. Setelah dirasa aman, ia pun menyalakan mesinnya dan mengendarainya menuju ke pintu utama mansion. Ia bersiap menjemput Roberto.

William keluar mobil dan berdiri menyender dekat pintu tengah. Igor menyilangkan kedua tangannya dan berdiri tegap menatap William seksama. Entah apa maksudnya tapi William merasa tak nyaman dipandangi seperti itu. Tak lama Roberto keluar. William pun merapikan jasnya dan berdiri tegap. Ia mengangguk pelan sembari membuka pintu mobil.

Roberto pun masuk ke dalam. Sebelum menutup pintu Roberto meliriknya.

Mereka berbicara bahasa Inggris.

"Bagaimana rasanya menjadi seorang pesuruh? Lebih enak jadi bos kan?" ucapnya menyindir.

William diam seketika. Ia mencoba menelaah maksud ucapan Roberto. Ia baru menyadari actingnya saat bersama Julius dan Rio beberapa waktu lalu di mansionnya. William tersenyum tipis.

"Yes, Sir, but I'm starting to get used to it." Ucapnya sopan. Roberto tersenyum miring.

William pun menutup pintunya. Sia dan Yena hanya menatapnya seksama. William melirik ke arah Sia dan Sia pun tersenyum malu. Tomy dan Yena menyadarinya dan mereka hanya diam saja. William pun melaju kendaraannya dengan kecepatan standar. Ia mencoba membuka obrolan.

"Tuan, kita akan kemana?" Tanya William.

"Tyumen, dekat sungai Tura." Ucapnya sembari melihat keluar jendela mobilnya.

William pun segera melaju kendaraannya sedikit kencang karena perjalanan cukup jauh selama 27 jam. William heran kenapa Roberto tak menggunakan pesawat pribadi saja. Selama diperjalanan pun, saat William mengisi bahan bakar, Roberto hanya diam saja tak mengajaknya bicara. Roberto hanya berdiam diri di mobilnya menatap jalanan dan sesekali tertidur.

Dan akhirnya perjalanan jauh itupun berakhir. Tanpa singgah di hotel ataupun hostel, mereka tiba di Tyumen pagi harinya. Roberto memberitahu kemana tujuannya. Sesampai disana, William cukup kaget. Mereka menuju ke sebuah rumah pedesaan di dekat sungai yang sudah tak terawat namun banyak bunga bermekaran disekeliling rumah itu. Mereka turun disana.

Terlihat senyum merekah di wajah Roberto. Ia membuka bagasi mobil dan ternyata berisi alat untuk bercocok tanam. Roberto masuk ke rumah itu. William pun ikut masuk ke dalam dan melihat sekeliling rumah itu. Roberto membuka sebuah pintu. Terlihat, itu satu-satunya ruangan yang paling bersih dan terawat. Itu adalah kamarnya.

Dari luar William melihat sebuah foto. William mengamatinya seksama. Ternyata itu foto Roberto bersama isterinya dan Yena saat masih kecil. William diam sejenak. Ia pun keluar dari rumah itu dan mengecek sekeliling. Ia melihat sebuah makam dan tertulis sebuah nama disana. Ia menebak bahwa itu adalah makam ibu Yena, isteri Roberto.

"Aku mengajakmu kemari karena aku cukup percaya padamu." Ucap Roberto tiba-tiba dari belakangnya.

William tertegun. Dia mengangguk pelan. Terlihat Roberto berjongkok dan mulai mencabuti ilalang disekitar kuburan isterinya. Entah mengapa hal itu mengingatkan akan ibunya. Segera William melepas jasnya dan menggulung kemejanya. Tak lupa ia aktifkan alat perekam di dasinya. Ia membantu Roberto membersihkan makam sembari mengorek informasi darinya.

Mereka berbicara bahasa Inggris.

"Saya yakin, isteri Anda pasti sangat cantik melihat Yena tak mirip dengan Anda." Ucap William bercanda.

Roberto tertawa pelan. William sudah yakin bahwa Roberto bukan lelaki dingin seperti Julius dan Rio.

"Ini akan semakin mudah." Batinnya.

"Maaf Tuan. Jika saya boleh tahu, apa hubungan Anda dengan Tuan Julius dan Konstantine? Terlihat anak-anak mereka sangat akrab." Ucap William hati-hati dan masih mencabuti rumput disekitar makam.

Roberto diam sejenak.

"Konstantine itu kakakku. Julius rekan kerjaku dan Konstantine. Kami sudah lama berkawan. Julius bisa seperti sekarang ini, semua berkat adikku." Ucapnya sinis.

William menatap Roberto seksama.

"Hmm.. aroma pertikaian. Aku suka." Batinnya.

"Apa yang adik Anda lakukan? Sepertinya dia memberi banyak kontribusi untuk Julius." Ucap William pelan sembari mengumpulkan rumput yang sudah ia cabut menjadi tumpukan kecil.

"Julius pintar. Dia menikahi adikku. Hanya saja adikku begitu bodoh. Dia tak mendengarkan ucapanku. Sudah ku bilang bahwa Julius menghianatinya. Dia memiliki wanita simpanan tapi adikku tak mendengarkannya. Dan.. begitulah, adikku sakit dan akhirnya meninggal." Ucapnya sembari menghembuskan nafas keras.

William mengangguk mengerti.

"Apa adikmu kau kuburkan disini juga?" Tanya William.

Roberto menggelengkan kepalanya.

"Adikku meninggal dalam kecelakaan saat ambulance membawanya ke rumah sakit. Mobil itu tercebur ke sungai. Kami sudah mencarinya tapi mayatnya tak ditemukan, mungkin sudah dimakan buaya atau semacamnya. Jadi.. kami hanya membuat nisan sebagai pengingat saja." Ucapnya pelan.

William kini mengerti hubungan antara Julius, Roberto dan Konstantine. Roberto berdiri dan mengambil sapu. Ia memasukkan semua tanaman liar yang menutupi makam isterinya. Ia juga memetik bunga yang ternyata ia tanam selama ini dan meletakkannya di kuburan isteri tercintanya. Terlihat wajah sedih dan sepintas senyum tipis terukir di wajahnya.

William pun mencuci tangannya. Masih ada pertanyaan mengganjal dalam dirinya.

"Maaf Tuan Roberto jika ini menyinggungmu. Jika kau begitu mencintai isterimu kenapa.. mm.. Anda memiliki wanita lain di mansionmu. Maaf jika lancang." Ucap William dengan jantung berdebar.

Roberto tersenyum tipis. Ia melirik William.

"Kau jeli juga. Sama sepertimu. Apa yang kau lakukan dengan Selena? Apa kau mencintainya? Sepertinya tidak." Ucapnya enteng.

William kaget seketika. Ia tak tahu jika Roberto tahu hubungannya dengan Selena. Ia panik.

"Mm.. bukan begitu Tuan. Saya dan Selena hanya.."

"Hahaha.. kau harus lihat wajahmu saat ini. Lucu sekali! Hahahaha.." ucapnya tertawa terbahak.

William bingung. Ia masih panik.

"Aku tak ada urusan dengan hubungan pribadimu. Kau mau bercinta dengan siapa saja itu urusanmu tapi awas jika kau menyentuh anakku. Akan kubuang mayatmu ke sungai Tura dalam potongan-potongan kecil. Kau paham?" Ucapnya mengancam.

William mengangguk pelan. Dia menghembuskan nafas panjang. Roberto kembali ke dalam rumahnya dan meletakkan semua perkakas bertaninya. William kembali memakai jasnya dan merapikan pakaiannya. Ia menatap makam isteri Roberto seksama entah apa yang dipikirkannya. Tak lama Roberto keluar. Ia mendekati William perlahan. Mereka saling bertatapan tajam.

"Besok Sia dan Tomy akan bertunangan. Banyak mafia yang akan datang. Kau fokuslah menjaga Sia karena ia menjadi sasaran empuk para mafia yang ingin menyingkirkan Julius. Mereka tahu tak bisa mendekati Rio jadi, Sia yang akan mereka incar. Kau paham?" Ucap Roberto tajam.

"Yes Sir. I understand."

Roberto pun mengajak William kembali ke Moscow. Dia jauh-jauh datang ke Tyumen hanya untuk menjenguk makam isterinya. Selama di mobil Roberto kembali seperti biasa. Dia diam saja dan sesekali tertidur. Hanya beberapa kali mengangkat telepon dan membalas pesan lalu duduk diam lagi menatap keluar jendela dan memandangi jalanan.

"Kenapa CIA bisa memasukkannya dalam daftar mafia yang paling diburu? Dia terlihat biasa saja. Bahkan sangat mudah untuk ditangkap. Aku bisa saja membiusnya dan langsung membawanya ke markas jika ada surat perintahnya. Ini sangat disayangkan." Batin William heran.

Keesokan harinya William sudah kembali ke mansion Roberto. Yena menyambut mereka. Tomy dan Selena sudah pergi untuk menyiapkan pesta pertunangan. Sia terlihat di kamarnya sedang duduk diam dengan dress selutut dan menggulung rambutnya ke atas menatap indahnya kota Moscow. William mendekatinya.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa tak bersiap?" tanya William heran.

Sia hanya diam tertunduk.

"Aku tak menginginkannya, Will. Aku tak mencintai Tomy." Ucapnya lirih seakan mau menangis.

William hanya diam tertunduk. Dia mengerti perasaan Sia. Memang seharusnya pernikahan itu bukan sebuah paksaan. Dia mendekatinya perlahan.

"Kau bisa melakukannya. Aku akan mengantarmu dan menemanimu malam ini. Jangan cemas." Ucapnya pelan.

Sia mengangguk dan kini menangis. William tak bisa berbuat banyak. Dia pun segera meninggalkan Sia sendirian dan kembali ke kamarnya. Ia begitu lelah karena hampir tak tidur sama sekali. Ia langsung merebahkan tubuhnya bahkan membuang sepatu dan pakaiannya sembarangan, membiarkannya berserakan di lantai. Tak lama ia tertidur pulas.

Tak terasa sore sudah menjelang. William merasa seseorang membangunkannya. William tertegun. Itu agen Cecil. Ia pun segera bangun dan terlihat kumal. Cecil menghela nafas panjang. Ia kembali menyodorkan tangannya. William menunjuk dasinya yang ada di lantai. Cecil memukul lengannya. PAKK! "Aww.." rintih William kaget.

"Ceroboh. Bagaimana jika ketahuan. Rika harus memberikan peringatan padamu." Ucapnya kesal sembari menjumput dasi William dan mengambil alat perekamnya.

William menghembuskan nafas kasar. Ia menggaruk kepalanya. Cecil pun berjalan keluar kamar. Sampai depan pintu, ia berhenti dan menoleh ke arah William.

"Kau bersiaplah. Jangan lupa. Malam ini Sia bertunangan. Ambil semua gambar mafia yang datang ke acara itu. Kami mengawasimu." Ucap Cecil tajam.

William mengangguk. Setelah Cecil menutup pintu William malah kembali merebahkan tubuhnya.

"Masih 2 jam lagi. Agh.. aku lelah sekali." Ucapnya sembari menarik selimut dan kembali memejamkan mata. William tertidur.

2 jam pun berlalu. William masih tertidur pulas. Seseorang pun mendatanginya dengan langkah gusar.

"William! Wake up! Kita terlambat!" Pekik Sia kesal setengah mati melihat William masih tertidur pulas dan belum bersiap.

Sontak William bangun karena Sia menarik selimutnya. Sia ikut terkejut ternyata William telanjang bulat. Dia pun langsung memalingkan wajahnya. William yang panik karena terlambat tak memperdulikan Sia yang melihatnya telanjang. Ia segera memakai pakaiannya dan bersiap. Sia sesekali mencuri-curi pandang ke arah William ketika ia memakai pakaiannya. Dia tersipu malu.

Tak lama William pun bersiap. Ia membasuh wajahnya dan mengelapnya dengan handuk kecil. Ia menatap Sia yang berdiri dan terlihat begitu cantik dengan dress panjang mirip gaun pengantin berwarna peach dan sebuah tas kecil yang serasih dengan sepatu dan gaunnya. William tersenyum tipis.

"Kau cantik malam ini." Ucapnya memuji.

Sia kaget mendengarnya. Ia tersipu malu. Sia pun berjalan di depannya dan William mengekor dibelakangnya.

"Dia begitu manis dan lugu. Sayang sekali harus menikahi Tomy anak berandalan itu." Batin William iba pada Sia.

William pun membuka pintu mobil dan segera melaju kencang kendaraannya ke sebuah hotel mewah dimana mereka akan melangsungkan pesta pertunangan itu. William sudah mengaktifkan kamera di jam tangannya. Ia memotret seluruh mafia yang hadir pada acara malam itu. Selena terlihat disana tapi tak seperti biasanya ia malah menghindari William.

William heran tapi ia mengacuhkannya. Tak lama acara pertunangan pun dilangsungkan. Sia melakukan dramanya dengan baik meski tak bisa ditutupi senyumannya adalah palsu selama acara. Sia terlihat tertekan malam itu. Tiba-tiba seorang pelayan mendekatinya menawarkan wine. Ternyata itu Catherine.

Ia memberikan sebuah pistol dibalik serbetnya kepada William. Dengan cepat William menerimanya dan menyembunyikan dibalik pinggangnya. Catherine meminta jamnya. William pun memberikannya dengan segera. Catherine memberikan jam tangan baru untuknya.

Mereka melakukannya dengan sangat cepat dan rapi dimana orang-orang masih sibuk tertawa mendengar ocehan Tomy yang tak masuk akal itu malah terlihat bodoh bagi William. Setelah dirasa cukup, Catherine pun segera pergi dan kembali melakukan actingnya dengan baik. Ia menawarkan wine ke semua orang.

William bingung dengan sikapnya dan malah tak jadi mengambil wine nya.

"Apalagi yang direncanakan Rika?" Batinnya sembari memakai jam tangannya.

Tiba-tiba..

TRIIIINGGG!!

Alarm kebakaran pun terdengar, semua orang panik seketika. Sia ketakutan karena semburan air langsung keluar dari penyemprot otomatis di atap ruangan. Semua orang basah kuyup dan berhambur keluar. William langsung mendekati dan mengamankannya.

William membawa Sia keluar dari hotel itu. Tiba-tiba dari kejauhan, DOR! DOR! "AAAAAA.." Semua orang berteriak ketakutan. Tomy yang mengekor di belakang Sia pun membuat William jadi kerepotan karena harus mengamankan dua orang.

William mendorong Sia dan Tomy untuk segera menuju ke mobil. Bodyguard Tomy dengan sigap membuka pintu mobil untuknya. Tomy dengan cepat berlari mendatanginya dan masuk ke mobil. Bodyguardnya pun ikut masuk. Mereka melupakan Sia dan William.

Saat bodyguard itu menutup pintu, BOOM! DWUARRR! Ledakan dasyat membuat Sia dan William terpental jauh. William berhasil menangkap Sia dan Sia jatuh dipelukannya. William terlentang di atas trotoar pinggir jalan.

"Oh my God!" Pekik Sia tak percaya jika Tomy tewas dalam ledakan mobil itu.

Kembali suara tembakan terdengar. William segera bangun dan menarik tangan Sia. Mereka berlari menghindari jalanan. Entah itu perbuatan mafia atau CIA, William tak bisa membedakannya.

William teringat akan mobil yang diberikan Cecil untuknya. Jarak hotel dengan Kremlin tak begitu jauh. Sia tak keberatan berlari hingga kesana. Akhirnya mereka sampai ke kawasan dekat Kremlin.

Terlihat William sibuk mencari restaurant yang memiliki logo sama dengan kunci mobil itu. Akhirnya William menemukannya. Ia mengajak Sia berlari lagi ke restaurant itu. Sia menurut saja. William menemui seorang resepsionis dan menunjukkan kunci itu. Dia memberi kode agar Sia ditinggal.

William meminta Sia untuk menunggunya tapi ia menolak. Sia ketakutan. Tapi William meyakinkannya bahwa ia akan kembali untuknya. Dengan berat hati Sia pun melepaskan kepergian William seraya menatap keluar jendela berulang kali melihat apakah ada yang mengejarnya atau tidak. Sia pun berinisiatif bersembunyi dibalik meja resepsionis.