Restaurant yang sepi pengunjung itupun membuat Sia semakin was-was. Ia meringkuk di bawah meja resepsionist. Dan benar, tiba-tiba segerombolan orang datang dan membuka pintu restaurant itu. Sia mengintip dan bodohnya, ia langsung ketahuan.
"Haha.. I got you!" penculik itu dengan seringainya.
"Aaaa.. let me go!! William!" Teriak Sia lantang yang sudah dipengani erat tangannya oleh para penculik.
Sia diberdirikan dan ditarik paksa. Ia diseret dan mulutnya dibekap dari belakang oleh seorang penculik. Dua lainnya langsung mengarahkan senjata ke segala arah mengamankan keadaan. Sia masih berusaha memberontak. Ia mengantukkan kepalanya ke belakang dengan kuat hingga terkena hidung sang penculik dan dekapannya terlepas.
"WILLIAM!!" Teriak Sia lantang sekencang-kencangnya.
PLAKK! BUKK! "Agh.." Sia ditampar, dipukul kuat wajahnya oleh si penculik hingga bibir dan hidungnya berdarah.
Sia linglung dan langsung roboh. Para penculik itu langsung memapahnya keluar dimana mobil si penculik sudah berada di depan restaurant menjemput mereka. Dari tikungan jalan, CITTT.. BROOM! Suara mobil sport datang dengan kecepatan tinggi langsung memblokade jalan dengan posisi melintang.
Para penculik tertegun dengan kehadiran mobil yang suaranya menarik perhatian. Tiba-tiba pintu dari kemudi mobil terbuka, DOR! DOR! DOR! William langsung keluar melangkahkan kakinya menginjak aspal jalanan ditengah malam melepaskan tembakan berulang kali ke mobil penculik. Para penculik pun kaget seketika.
DOR! DOR! DOR! "Go back! Go back!" Teriak salah satu penyerang berjalan mundur kembali masuk ke restaurant dengan tergesa. Saat sudah didalam. SHOOT.. DOR! "Agh.." SHOOT.. SHOOT.. DOR! DOR! BRUKK! 3 penculik Sia langsung tewas seketika tanpa serangan balasan.
Wanita resepsionist itu pun mendatanginya bersama 2 agen lainnya.
"Bereskan mayatnya." Ucapnya sembari menyarungkan kembali pistolnya.
Sia tergeletak dilantai. Dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dari luar, PRANGG! DOR! DOR! Terlihat William menembak seorang penculik yang masih duduk di kursi kemudi dari kaca depan hingga pecah. William mendatangi mayat itu dan membuka pintu mobilnya. Ia menggeledah ke dalam saku-saku pakaiannya. Ia mendapatkan sebuah dompet dan membawanya masuk ke dalam restaurant.
Agent wanita itu menatap William seksama. William melemparkan dompet itu padanya.
"Cari tahu siapa mereka." Ucapnya sembari menyarungkan pistolnya.
Wanita itu mengangguk dan kini memberi kode pada bawahannya agar membereskan mayat di depan restaurant. William mendekati Sia yang terlihat lunglai hampir tak sadarkan diri. Ia membopongnya dan membawanya masuk ke mobil yang masih melintang di jalanan. William pun bergegas pergi.
Jalanan berliku dekat perbukitan dimana ada tebing tinggi di salah satu sisinya membuat mansion Roberto cukup sulit dijangkau. Saat William akan menuju kembali ke mansion Roberto, dia kaget setengah mati mansion miliknya diserang sekelompok orang yang dengan kendaraan-kendaraan yang memblokade jalan. William menghentikan laju kendaraannya. Ia turun dari mobil dengan pintu yang masih terbuka dan mengendap mencoba melihat lebih dekat.
Baku tembak terjadi dalam mansion itu. William semakin yakin bahwa yang melakukan ini bukan agensinya melainkan sesama geng mafia. William pun segera kembali ke mobilnya. Saat ia bergegas mendekati mobil tiba-tiba DOR! "Agh.." William tertembak di bahu belakang sebelah kanannya hingga dia terdorong ke kap mobil. William merintih kesakitan.
Ia membalik badannya dan langsung mengambil pistol dibalik pinggangnya. Tapi orang itu lebih cepat, BAKK! "Agh.." lelaki itu langsung menendang tangan kiri William hingga pistolnya terlempar dan mengenai dinding bukit. William tertegun. Ternyata orang itu adalah Igor. Mata William terbelalak. Igor langsung mendatanginya dan mencengkeram kuat kerah bajunya.
William terangkat keatas dan Igor langsung melemparkannya ke atas kap mobil, BRAKK! "Agh.." belum juga William bangun, Igor kembali mendatanginya dan menarik lagi kerah bajunya, BUKK! BUKK! BUKK! William dihajar tiga kali tepat di wajahnya hingga lebam dan berdarah.
Igor begitu kuat, tubuhnya lebih besar ketimbang William. Kembali Igor mengangkatnya dan melemparkannya ke jalanan hingga William jatuh tersungkur bergulung-gulung. William mencoba untuk berdiri dengan susah payah. Dia mencoba membuka matanya selebar mungkin karena pandangannya kabur, ia melihat Igor berjalan mendatanginya.
William yang masih tersungkur di aspal jalanan segera mengeluarkan senjata yang Catherine berikan padanya dan dengan segera, DOR! DOR! "Agh.." dua buah peluru mengenai dada Igor. Ia masih berdiri tegap. Ternyata itu hanya peluru bius. William menatap pistol itu seksama.
"Shit! What the.." BRUKK! Igor roboh. William langsung menoleh ke arahnya. Ia selamat karena keberuntungan.
William segera berdiri dan jalan tergopoh. Ia mengambil pistol yang ditendang Igor tadi. Ia juga mengambil pistol milik Igor. Ia menatap Igor yang tergeletak di jalanan. William menodongkan senjata padanya dan bersiap menembak tapi entah kenapa ia tak bisa melakukannya.
"Agh, shit! What's wrong with me?!" Pekik William yang tak bisa menembak Igor.
William pun mengabaikannya dan segera menuju ke mobilnya. Ia melihat Sia yang kini tak sadarkan diri di kursi depan. William segera melaju kendaraannya dan meninggalkan Igor yang tergeletak di pinggir jalan. William bingung harus kemana karena Sia bersamanya. Darah masih mengucur di bahu belakang William. Dia pun mampir ke sebuah rest area yang cukup sepi.
Ia membuka bagasi mobil dan ada 2 koper di dalamnya. Sebuah koper berisi stelan dan sebuah koper lagi berisi senjata. William cukup puas dengan isinya. Dia menutup kembali bagasinya dan mengintip ke kursi samping kemudi dimana Sia beristirahat. William bergegas ke toilet dan mengganti pakaiannya. Ia hanya menutup lukanya sementara dengan perban dan plester lalu kembali melaju mobilnya.
William menahan sakit di bahu belakangnya. Dia mulai berkeringat dingin. Dia pun semakin cepat menginjak pedal gasnya selagi kesadarannya masih terjaga. Sebuah mobil sport berwarna hitam orange Krym melaju cepat membelah aspal malam itu menuju ke Tyumen. Tempat dimana Roberto pernah mengajaknya sekali kesana. Ia berfikir bahwa itu adalah tempat teraman saat ini.
Saat fajar menjelang William mulai menurun kesadarannya. Ia kehilangan banyak darah. Ia sudah berkeringat dingin dan pucat. Secara tak sadar ia membelokkan mobilnya ke tengah ilalang dari pinggir jalan itu. William pingsan sedang mobilnya masih melaju dengan kecepatan sedang. Sia terbangun karena jalanan yang bergelombang membuatnya terpental.
Sia duduk perlahan sembari memegang wajahnya yang sakit. Sia kaget bukan kepalang. Ia melihat mobil yang dikendarainya berjalan menuju ke sebuah danau. Sia panik dan langsung memegang kemudi. Sia nekat menginjak pedal rem di kaki William dan CITT. Mobil itupun berhenti. Sia bernafas lega. 2 meter lagi mereka tercebur ke danau tak bertuan itu.
Sia bingung. Ia pun menarik kakinya dan keluar mobil. Ia seperti mengenal daerah itu. Ia menatap William yang pingsan di kursi kemudinya. Sia pun segera membuka pintu kemudi dan menarik William kuat hingga mereka berdua jatuh besamaan di atas rumput, BRUKK.. "Aw.. haha.. hahahaha.." tawa Sia yang baginya ini malah lucu.
Ia pun duduk di kursi kemudi dan memposisikan mobilnya kembali menghadap jalanan. Ia kembali mengangkat William sekuat tenaga untuk duduk di kursinya. Sia sampai berkeringat banyak.
"Wah, dia berat juga ternyata." Ucap Sia ngos-ngosan.
Sia pun segera menutup pintu dan melanjutkan perjalanan. Ia tahu kemana William akan membawanya. Sia mampir ke sebuah rest area dan membeli beberapa perlengkapan. Ia juga mengisi bahan bakar. Setelah dirasa cukup ia segera melaju kendaraannya lagi dengan lebih cepat. William masih tak sadarkan diri.
***
Malam sudah menjelang. William merasakan semilir angin di tubuhnya. William membuka matanya perlahan. Ia terkejut, dia bertelanjang dada namun lukanya telah diobati. Bekas peluru yang bersarang di bahu belakangnya telah dikeluarkan.
William juga heran kenapa dia bisa tidur diatas ranjang. Masih menahan sakit, William berjalan keluar dan melihat Sia sedang minum beer di teras depan. William bernafas lega. Sia menyadari kedatangannya. Ia pun segera meletakkan botol beer nya dan bergegas mendekati William.
"Are you oke?" Tanya Sia cemas.
William mengangguk. Sia memegangi tangannya dan memapahnya duduk di teras rumah kayu milik Roberto itu. Tempat itu begitu sepi. William menatap suasana disekeliling rumah itu. Sia memberikan botol beer nya dan William pun menerimanya. Ia meneguk beer nya dan menatap langit seksama. Ia menoleh ke arah Sia yang wajahnya masih babak belur.
Mereka berbicara bahasa Inggris.
"Kau yang melakukannya?" Tanya William pada Sia.
Sia mengangguk pelan.
"Siapa yang mengajarimu?"
"Yena. Dulu ibu Yena seorang perawat." Jawab Sia dengan wajah tertunduk.
William mengangguk paham.
"Kau tahu tempat ini dari paman Roberto?" Tanya Sia kini.
William mengangguk.
"Sia aku tak tahu apa yang terjadi semalam hanya saja, kita sebaiknya tetap berada disini dahulu sampai keadaan aman." Ucap William menatap Sia tajam.
"Kenapa? Memang ada apa?" Tanya Sia bingung.
"Semalam Igor menyerangku. Aku tak tahu apa yang terjadi. Mansion Roberto diserang semalam. Sepertinya perang antar geng. Aku tak tahu apa keterlibatanmu dengan hal ini tapi sebaiknya kita menghindar. Aku akan membawamu kembali ke Virginia besok. Bagaimana?" Tanya William cepat.
"Jangan." jawab Sia cepat sembari memegang tangan William erat.
William bingung. Ia melihat Sia panik.
"Ada apa? Apa ada yang kalian sembunyikan?" Tanya William.
Sia menelan ludah. Ia melepaskan tangan William. Sia langsung berdiri berusaha menghindar. Sia segera masuk ke dalam. William merasa ada yang tak beres, ia pun mengejar Sia dan langsung menarik tangannya dengan tangan kirinya kuat.
"Sia! Katakan padaku ada apa? Apa kau tak lihat karena perbuatan kalian aku jadi ikut terlibat, huh?!" Bentak William kesal.
Sia terlihat ketakutan. Ia melepaskan paksa genggaman William. Dia memegangi tangannya yang dicengkram kuat William tadi. William menyadari perbuatannya.
"Maaf Sia. Aku tak bermaksud.."
"Tak apa. Iya kau benar. Ini bukan salahmu. Kau jadi ikut terlibat. Aku minta maaf." Ucapnya tak enak hati.
William menghembuskan nafas pelan. Sia berjalan masuk ke kamar milik Roberto dan duduk dipinggir ranjang. Sia mempersilahkan William duduk disampingnya. William pun menurut. Kini William menatap Sia tajam. Sia terlihat kebingungan.
"Ayahku.. Julius berencana ingin menjatuhkan Roberto. Ia bekerjasama dengan Konstantine untuk merebut kekuasaannya dengan perjodohan ini. Tapi melihat Tomy tewas sepertinya perjanjian akan batal. Sekarang aku merasa diburu juga oleh keluarga Konstantine dan Roberto. Soal Igor kenapa menyerangmu, aku rasa Igor berfikir kau menculikku karena kau kan dipihak Roberto sekarang." Ucap Sia menjelaskan.
"What?! Ahhh shit." Ucap William kesal tak habis pikir dengan politik para mafia ini.
William mengusap dahinya kuat. Kini ia malah jadi bingung harus bagaimana.
"Jika tak ada Sia, aku pasti sudah menangkap Julius dan Konstantine. Nasib Roberto saja aku tak tahu. Oia, bagaimana dengan Cecil, apa dia baik-baik saja?" Batin William panik dan berkecamuk. Sia menatapnya seksama.
"Ada apa?"
William tertegun. Ia diam berfikir keras. Ia tak mungkin mengatakan dirinya seorang agen CIA yang ada urusan malah makin kacau.
"Lalu, menurutmu sekarang kita harus bagaimana?" Tanya William balik.
"Mm.. kita tinggal disini dulu saja sampai lukamu pulih. Lalu kita pikirkan lagi akan bagaimana langkah selanjutnya." Ucapnya santai meletakkan kedua tangan diatas lututnya.
"What? Tak bisa. Kita harus cari tahu dimana Rio berada sekarang. Konstantine juga. Kita juga harus tahu bagaimana nasib Roberto dan orang-orang di mansionnya." Ucap William tegas.
"Kenapa kau begitu peduli? Aku yakin ayahku dan Konstantine akan baik-baik saja. Oh.. aku tahu, kau pasti mencemaskan Selena dan Yena ya?" Ucapnya menyindir.
"What? Bicara apa kamu? Aku tak ada hubungannya dengan mereka berdua." Jawabnya kesal.
"Aku tahu hubunganmu dengan Selena selama ini. Kalian.."
"DIAM!" Teriak William tiba-tiba.
Sia kaget setengah mati William membentaknya. Jantungnya sampai berdetak kencang. William melotot padanya. Sia menelan ludah. Kembali William menyadari perbuatannya. Entah kenapa dia tak bisa berbuat kasar pada Sia. Perlahan William meredakan emosinya dan menyentuh bahu Sia perlahan.
"Sia, aku.. aku minta maaf. Aku tak bermaksud membentakmu." Ucap William pelan.
Sia masih kaget dan hanya diam saja. William memberanikan diri memegang kepala Sia dan mendekatkan ke tubuhnya. Kini jantung Sia makin berdetak kencang bukan karena takut tapi lebih ke tak menyangka William berani memegangnya dan memeluknya.
"Jangan sebut Selena atau Yena lagi. Mereka tak ada hubungannya denganku." Ucap William lirih.
Sia mengangguk pelan. William melepaskan pelukannya dan menatap Sia tajam.
"Aku tahu kau tertekan dengan kehidupan keluargamu kan? Aku sudah melihatnya. Kau tak bisa bohong padaku. Sekarang prioritasku adalah keselamatanmu. Jika kau merasa kita sebaiknya bersembunyi sementara waktu disini, baiklah. Tapi setelah lukaku sembuh kita harus segera mencari tahu keberadaan ayahmu dan yang lainnya. Kau paham?" Ucap William pelan sembari memegang pipi Sia lembut.
Sia mengangguk mengerti. Entah kenapa wajah lugu Sia membuatnya ingin melindunginya. William tak sadar telah menatap Sia begitu lama. Sia perlahan melirik dan balas menatap wajah William.