Chereads / Secret Mission / Chapter 14 - Connector

Chapter 14 - Connector

Siang itu. William sudah mengganti pakaiannya yang lebih casual. Ia keluar dari kamarnya dan berjalan ke ruang tengah menemui Rio. Ternyata Rio sedang duduk bersama Roberto dan Igor. Mereka menatap William seksama. William berjalan menuju ke arah mereka.

Mereka berbicara bahasa Inggris.

"William. Bagaimana lukamu?" Tanya Rio duduk di sofa dan menyilangkan kedua kakinya.

"Sudah lebih baik." Jawabnya sungkan dan masih berdiri.

"Duduklah." Ucap Rio santai.

William pun duduk di sofa tepat diseberangnya. Ia menatap mereka bertiga seksama. Roberto terlihat asik dengan hisapan cerutunya.

"William. Besok kau temani Roberto bertemu ayahku, Julius. Karena Santiago sudah tewas, untuk sementara kau akan menggantikan posisinya. Kau tak ada masalahkan?" Tanya Rio serius.

"Selama kau yang memberikan perintah, apapun itu akan kulakukan, Rio." Ucap William merendah.

"Good. Kau berkemaslah. Malam ini kau ikut Tuan Roberto kembali ke kediamannnya di Moscow." Ucapnya pelan.

William mengangguk paham. Ia pun segera pamit kembali ke kamarnya untuk berkemas.

"Bagaimana aku menghubungi Rika tentang hal ini?" Batinnya.

William berfikir untuk mengirim pesan padanya lewat toko bunga yang berada di Moscow sebagai markas kamuflase milik CIA. Tempat itu sengaja dibuat sebagai wadah untuk penerima dan pengirim informasi dari para agen yang bertugas di Rusia dan sekitarnya.

Malam itu William bersama Yena dan Roberto sudah meninggalkan markas Rio dan menuju ke mansion milik Roberto. William mengingat semua rute dan berbagai bangunan yang menandai lokasi kediamannya. Setelah 2 jam perjalanan akhirnya mereka sampai di rumahnya.

Sebuah mansion mewah. Mereka disambut wanita pirang dan bertubuh sintal memakai dress ketat berwarna hitam sepaha dengan senyum menawannya. Terlihat Yena tak menyukainya. William mengetahuinya hanya sekali lihat saja.

Yena mengantar ke kamar William yang dulunya dipakai oleh Santiago. William pun tak keberatan memakainya malah ruangan itu lebih bagus ketimbang kamarnya di mansion Rio.

Mereka berbicara bahasa Inggris.

"Yena. Kau bilang sebelumnya, Sia tinggal disini. Dimana dia?" Tanya William penasaran.

"Dia sedang pergi bersama Tomy." jawabnya santai.

"What? Tomy ada disini juga?"

"Yup. Selena juga. Ada apa?" tanya Yena curiga.

"Tak ada. Aku hanya penasaran saja. Oia, wanita tadi, apakah.. dia.. mm.."

"Ya. Dia wanitanya ayahku, bukan ibuku. Ibuku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku anak tunggal. Tak punya kakak dan adik. Ada lagi yang ingin kau tanyakan, William?" Ucap Yena to the point.

William kaget dengan ucapan Yena. Dia jadi tak enak hati.

"No. Thank you." jawabnya dengan senyum manis.

"Okay. Good nite." Ucap Yena seraya menutup pintu kamar William.

William menghembuskan nafas panjang dan bertolak pinggang. Dia menatap seluruh ruangan Santiago dengan seksama. Seperti saat di mansion Rio, William mengecek setiap sudut ruangan apakah ada penyadap atau kamera tersembunyi disana atau tidak dan ia pun cukup terkejut.

William menemukan sebuah kamera tersembunyi yang sangat kecil pada sebuah pajangan miniatur mobil di atas meja samping jendela kamarnya. William tersenyum tipis. Ia tak merusaknya tapi membiarkannya saja agar Roberto tak curiga. William kembali melakukan aktingnya dengan baik.

Saat mandi ia kembali berfikir.

"Roberto memiliki relasi lebih dari bisnis dengan Julius. Apakah mereka bersaudara? Di tambah mereka juga mengenal keluarga Konstantine. Aku masih belum mengetahui usaha terselubung Julius. Roberto juga menjadi salah satu incaran CIA. Apa aku sikat mereka berdua sekaligus saja. Tapi.. Rika hanya memprioritaskan Julius, akan sangat disayangkan jika harus melepaskan 2 burung yang sudah ada ditangan." batin William gundah.

Namun tak lama seringainya pun keluar.

"Tidak, akan aku penjarakan mereka bertiga sekaligus. Hmm.." ucap William dalam hati.

William pun segera menuntaskan mandi malamnya dan keluar hanya memakai handuk yang dililitkan dipinggangnya menutupi kejantanannya. William duduk disamping jendela sembari meneguk beer dinginnya. Tapi tiba-tiba..

CEKLEK..

William kaget seketika. Seseorang membuka pintu kamarnya. William langsung meletakkan botol beernya dan tak sengaja menutupi kamera pengintai di miniatur mobil di atas meja. William bersembunyi di balik lemari besar dan bersiap. Orang itu masuk perlahan.

"Suara langkah kaki perempuan. Sepertinya aku kenal dengan langkah ini." Batin William menebak.

William pun perlahan keluar dan ternyata benar. Itu Selena. Terlihat Selena mencari keberadaan William. Selena kebingungan karena William tak terlihat. Perlahan William mendekatinya dan berbisik di telinganya tanpa menyentuhnya.

"Hai."

Sontak Selena langsung membalik badannya karena kaget. Dia sampai melompat kecil dan hampir terjatuh. William tersenyum meledeknya. Selena kesal dan kaget setengah mati.

"Oh my god! Kau mengagetkanku! Menyebalkan." Gerutu Selena sembari memegang dadanya karena shock.

"Haha. Apa yang kau lakukan? Kau menyelinap masuk ke kamarku? Kau semakin ahli melakukannya, Selena." Ucap William memicingkan mata bermaksud menyindirnya.

Selena tersenyum tipis. Kembali ia mendekati William dan bersikap nakal. William diam saja dan menatapnya seksama. Tanpa diminta, Selena menyelipkan tangannya kebalik handuk William. Sembari menggigit bibir bawahnya, ia memegang lembut kejantanan William. William hanya tersenyum tipis menatapnya.

"Kau merindukanku lagi?" Tanya William cepat.

"Hmm.. always." jawab Selena menatap mata William tajam.

Selena langsung menciumnya dan menyentuh lembut tubuh William. Perlahan William mulai tergoda dengan kemahiran Selena dalam merayunya. Selena melepaskan handuk William dan membiarkannya jatuh begitu saja dilantai.

Segera William menyambut serangan Selena dan mendorongnya ke atas ranjang. Kembali, mereka bercinta malam itu dengan penuh gairah. William membungkam mulut Selena agar desahannya tak terdengar, sedang William makin kuat mendorong miliknya hingga Selena tak kuasa meninggalkan cakaran-cakaran dipunggungnya.

William kesal jika tubuhnya menjadi lecet untuk hal-hal yang tak perlu. Ia memegang kedua tangan Selena kuat agar berhenti melukai kulitnya. William menatap Selena tajam agar berhenti melakukannya.

Entah kenapa Selena menjadi takut karenanya. Jantungnya berdebar kencang bukan karena sodokan milik William tapi lebih karena takut. William seperti mau membunuhnya. Selena hanya menelan ludah.

Tak lama William pun mencapai klimaks dan menyemburkan miliknya di perut dan dada Selena. Seperti biasa, tanpa berkata apa-apa, William langsung melepaskan miliknya dan berdiri gagah mengambil tisu. Ia mengelap cairannya sendiri di tubuh Selena dan membuang ke tempat sampah.

Segera ia ke kamar mandi membersihkan kejantannya sembari melihat ke kaca.

"Menyebalkan. Wanita itu mencakarku. Aku ini bercinta dengan wanita atau kucing?" Ucapnya lirih kesal dengan yang Selena perbuat.

Ternyata Selena mendengarnya. Dia langsung memakai pakaiannya kembali dan segera keluar dari kamar William. Entah kenapa dia seperti takut padanya. Saat William keluar kamar mandi, ia kaget Selena tak ada disana. Tapi William cuek saja karena baginya Selena hanya pelampiasan nafsunya.

Selena datang dengan sendirinya tanpa William minta. William langsung merebahkan tubuhnya yang masih telanjang dan berselimut tebal. William langsung tertidur pulas setelah mengeluarkan miliknya dengan sempurna. Malam itu begitu tenang tak ada keributan. William tidur nyenyak.

Tak terasa pagi sudah menjelang. Tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarnya dan terdengar suara roda kecil dan masuk ke kamarnya. William terkejut. Dia langsung membuka matanya dan mengusap wajahnya. Seorang wanita tua Asia yang terlihat ramah sedang menuangkan kopi di atas cangkir meja saji dorongnya. William menatap wanita itu seksama.

Tiba-tiba wanita itu menutup kamar William dan mengintip dari balik jendela. William bingung dengan sikapnya. Ia juga meletakkan sandwich di piring kecil dan meletakkannya diatas meja kecilnya bersama secangkir kopi. Ia lalu mendatangi William tergesa. William terkejut dan langsung menodongkan pistolnya yang ia sembunyikan dibalik bantal tidurnya.

Wanita itu berhenti seketika. Ia dan William saling bertatapan tajam.

"Rika meminta laporanmu. Berikan padaku. Aku yang akan menyampaikannya." Ucapnya tenang.

William tertegun seketika. Ia pun menurunkan senjatanya. Ia menatap wanita itu seksama.

"Who are you?"

"I am Cecilia. Agent. Same like you." Jawabnya serius.

"What? You? Cecillia?" Pekik William lantang.

Cecillia langsung membungkam mulutnya rapat. William kaget. Ia begitu terkejut ternyata wanita tua yang terlihat sudah berumur 60 tahun ini adalah Cecillia.

William pikir, dia seorang gadis muda dan bertalenta tapi ternyata seorang wanita tua. William cukup kecewa setelah tau kebenarannya. William melepaskan tangan Cecillia. Ia memasukkan kembali pistol di bawah bantalnya. Ia terlihat malas.

"Hmm.. kau terlihat kecewa, William. Pasti aku diluar ekspektasimu." Ucapnya meledek.

William diam saja dan memalingkan wajah. Cecillia tersenyum miring melihatnya.

"Berpakaianlah. Banyak yang ingin kubicarakan." Ucapnya cepat.

William mengangguk dan segera menutupi miliknya dengan handuk yang semalam Selena jatuhkan di lantai. William memungutnya dan meletakkannya disamping kasur. William pun langsung bergegas bangun dan menyiapkan diri. Cecillia merapikan tempat tidurnya. Tak lama William keluar dari kamar mandi. Ia sudah bersiap.

William pun duduk di kursinya dan meneguk kopi pemberian Cecillia. William memberikan kode pada Cecillia soal kamera pengawas diminiatur mobil diatas meja. Cecillia mengangguk. Botol Beer William masih menutupi kamera itu.

"Tenang saja. Itu hanya kamera. Suaranya tak terekam." Ucapnya santai dan masih berdiri sembari mengelap sendok yang ia bawa.

"Dengar. Aku sebagai penghubungmu selama disini. Berhati-hatilah. Jangan bertindak gegabah. Berikan laporanmu padaku setelah kau pergi dengan Roberto. Aku yang akan menyampaikannya pada Rika." Ucap Cecillia sembari meletakkan sendok di wadahnya.

William mengangguk. Cecillia memberikan sebuah kunci mobil padanya. William menerimanya dengan bingung.

"Jika keadaan tersedesak. Pergilah. Mobil ini ku parkirkan di sebuah restaurant dekat Kremlin. Ada agent yang bertugas disana. Cukup tunjukkan kunci ini dan kau akan dibawa ke mobil yang kusiapkan." Ucapnya serius.

William mengangguk paham. Cecillia lalu menyodorkan tangannya. William bingung. Ternyata ia meminta alat perekam suara milik William dimana ia menyampaikan semua laporannya disana. William pun mengambilnya dan menyerahkannya dengan berat hati. Ia masih belum mempercayai Cecillia sepenuhnya dan iapun menyadarinya.

"Percayalah William. Aku lah satu-satunya penolongmu disini. Jangan kacaukan misimu karena gadis-gadis itu." Ucapnya memberikan nasehat.

William tersenyum tipis. Cecil lalu mendorong rak makannya dan keluar dari pintu kamar William. Entah kenapa William merasa lega. Ia merasa cocok dengan cara kerja Cecil yang tak banyak bicara, ditambah ia sudah tua. William segan padanya. Wanita itu juga mengingatkan akan ibunya yang telah meninggal dan suka membuatkannya sandwich. William memakan sandwich itu dengan senyum mengembang di wajahnya.