Satu minggu kemudian.
Darren sudah memutuskan untuk tidak lagi mencari Azzam. Dia berniat untuk menyembunyikan Sella di panti asuhan tempat dia tinggal dulu. Semua keperluan sudah dipersiapkan oleh Darren. Sejak Renata mengalami depresi, dia memang mengambil tugas Renata menjadi ibu rumah tangga juga. Dia terbiasa mengurus kedua anaknya. Renata kadang juga bisa menjalani perannya dengan baik. Tapi lebih sering tidaknya.
Darren berusaha sabar menjalani semuanya. Bekerja, sambil mengurus istri dan anak. Dia membantu Sellia mengemasi barang-barangnya.
"Papi, kenapa kak Seli pergi? Sammy ikut saja ya."
"Sam, kamu harus di rumah jagain mami ya."
"Tapi Sammy takut sama Mami, Pi. Mami sering marah-marah. Sering teriak-teriak. Sammy takut, Pi."
"Sabar ya, Sam. Doakan saja Mami cepat sembuh. Makanya kamu rajin salat. Biar Mami cepat sembuh."
"Sudah, Pi. Tapi kenapa Allah tidak ngabulin juga ya, Pi."
"Sabar ya, Sam. Allah pasti akan kabulin suatu hari nanti."
"Pi, perutku mual." Selia meninggalkan Darren dan Sammy. Dia memuntahkan isi perutnya di dalam toilet. Darren merasa kasihan dengan penderitaan yang dialami anaknya.
'Semoga ada jalan terbaik untukmu, Nak," batin Darren.
"Pi, Sellia dapat beasiswa dimana? kenapa harus ninggalin kita semua?" Daren menoleh saat tiba-tiba Renata ada di belakangnya.
"Di Jogja, Mi. Anak kita akan menyelesaikan pendidikan SMP nya di sana. Begitu sih kata gurunya." Renata kemudian meninggalkan kamar Sellia. Entah apa yang sedang dipikirkan wanita itu.
"Pi, tadi sepertinya ada suara Mami. Dimana dia, Pi?"
"Mami hanya nanyain kamu mau pindah kemana? Papi bilang saja ke Jogja. Biar jauh sekalian."
"Tapi Sellia masih ada di Jakarta, Pi. Bagaimana kalau nanti Mami sampai tahu?" Sellia terlihat sangat cemas.
"Serahkan semua pada Papi ya, Nak. Yakinlah semua akan baik-baik saja."
"Iya, Pi. Aku percaya sama Papi."
Setelah semua selesai dipacking, Darren mengantar Sellia pergi ke Panti asuhan yang dulu pernah dia tinggali. Renata dan Sammy menatap kepergian Darren dan Sella dengan tatapan sendu. Apalagi Renata yang terlihat sangat sedih dengan kepergian putrinya. Renata kemudian masuk ke dalam kamarnya tanpa mengatakan sepatah katapun pada Sammy.
"Mami, mau Sammy ambilin makan?"tanya Sammy. Meski memiliki ibu yang depresi, kedua anak Renata sangat penurut. Sammy yang masih SD juga ikut membantu merawat Renata. Setelah Sellia pergi, sekarang dialah yang akan bertanggung jawab pada ibunya.
"Tidak, Sam."
"Ya sudah. Sammy tinggal ngerjain PR dulu ya, Mi."
"Iya, Sam."
Sammy bahkan selalu mengerjakan pekerjaan rumahnya sendiri. Jika anak-anak lain sering dibantu orangtuanya, tidak dengan Sammy yang harus mengerjakan semua PR nya sendiri. Hanya bantuan ponsel pintarnya saja dia mengerjakan PR nya.
Sepanjang perjalanan, Darren dan Sellia hanya diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Darren sudah memutuskan tidak akan mengemis tanggung jawab pada Azzam. Sedangkan Sellia hanya bisa pasrah dengan keadaan. Karena dia tahu ini adalah salahnya sendiri. Terlalu percaya pada seorang lelaki.
"Maaf ya Sel, Papi harus menjauhkanmu di tempat nenek."
"Tidak apa-apa, Pi. Ini salah Sellia dan
Sellia akan menanggungnya sendiri. Papi tidak perlu khawatir ya." Sellia berbicara seolah dia kuat menanggung bebannya sendiri. Padahal dia tidak sekuat itu. Menjadi anak yang terbiasa mandiri membuat dia memang harus dewasa sebelum waktunya.
"Setelah anakmu lahir, kamu harus meneruskan sekolahmu. Dan kamu boleh kembali ke rumah Sel. Masalah Mami, biar Papi yang urus. Kamu tidak perlu khawatir."
"Iya, Pi. Sellia pasti akan merindukan kalian."
**
Azzam telah mengurus kepindahannya untuk kuliah di luar negeri. Tepatnya di Inggris. Azzam yang berotak encer bisa masuk ke sana dengan mudahnya. Apalagi dia adalah cucu dari Alvin Pratama Handoko, pemilik sakinah property. Perusahaan property terbesar di kotanya. Dan pagi ini, dia akan berangkat ke Inggris.
"Zam, kenapa tiba-tiba ingin pindah ke Inggris?" Tanya Syila yang siang itu sengaja bertandang ke rumah Abizar dan Salma karena Azzam akan berangkat ke Inggris.
"Syil, masalah yang kemarin aku omongin sama kamu, tolong jangan beritahukan pada orangtuaku ya. Aku mohon. Papa bisa marah besar kalau tahu aku melakukan dosa besar."
"Tapi Zam, bagaimana dengan Sellia dan anakmu? kamu tidak kasihan pada mereka? Sellia masih kecil."
"Maka dari itu biarkan semua seperti ini dulu. Aku butuh waktu buat sendiri, Syil. Nanti setelah aku pulang ke Indonesia, aku akan bertanggung jawab pada mereka. Sementara ini biar aku menyendiri di Inggris. Aku mau fokus sekolah dan setelah lulus aku akan bekerja dan bertanggung jawab pada Sellia dan anakku."
"Apapun alasannya, kamu tetap salah. Dan tidak boleh meninggalkan mereka begitu saja, Zam. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan orangtua Sellia?"
"Aku tahu, Syil. Tapi kalau aku tetap di sini, yang ada aku akan diusir dari rumah ini. Papa akan marah besar."
"Terserah kamu, Zam. Kamu sudah dewasa. Apapun jalan yang kamu pilih, kamu harus ingat jangan pernah kamu menyesal suatu hari nanti karena telah menyia-nyiakan Sellia dan anaknya. Iya memang benar yang kalian lakukan itu zina, tapi apa kamu tidak takut, suatu saat nanti akan menimpa keluargamu sendiri. Ingat Zam. Kamu punya adik perempuan."
"Kamu jangan nyusahin adikku donk Syil."
"Zam, zina itu dianggap hutang. Jika saat ini kamu menzinai wanita, makan kelak suatu saat salah satu keluarga juga akan dizinai orang lain. apalagi kamu tidak mau bertanggung jawab. Malah lari dari tanggung jawab." Syila berusaha membujuk. Tapi sepertinya otak Azzam tidak mau menerima.
"Itu urusanku, Syil. Aku akan bertaubat setelah ini. Beres kan?"
"Kamu menyepelekan agama, Zam. Terserah kamu saja. Aku tidak mau ikut campur lagi urusanmu. Kamu juga akan mengerti suatu saat nanti,koq. Aku pulang dulu ya. Aku capek nasehatin kamu." Syila pulang dengan tanpa hasil. Dia tidak menyangka Azzam menjadi orang yang sangat keras kepala. Kepintarannya dalam hal akademik ternyata tidak sejalan dengan akhlaknya. Padahal dulu rahimahullah Ayah dan bundanya seringkali berpesan kepada anak cucunya agar jangan sampai mendekati zina. Oleh sebab itu Ayah dan bundanya Syila dulu selalu menyuruh anak-anaknya lebih baik menikah muda daripada pacaran.
"Lho Syila mana, Zam?" tanya Salma karena mendapati Azzam hanya seorang diri tanpa Syila di ruang tamu.
"Sudah pulang, Ma. Katanya ada urusan mendadak," bohong Azzam.
"Padahal mama mau ajak dia ke Bandara nganterin kamu."
"Tahu tuh, Mah. Salam aja buat Papa dan Mama aja katanya."
"Aneh.. ga biasanya Syila begitu."
"Ayo Zam, sudah siap belum?" tanya Abizar pada Azzam.
"Sudah pah.. Yuk berangkat." Adzan diantar oleh kedua orangtuanya dan adiknya.
'Selamat tinggal Sellia. Kamu tidak akan bisa mencariku lagi. Semoga kita tidak akan bertemu lagi.' batin Azzam saat mobil Abizar melaju ke Bandara.