"Aku yakin Vilove tidak seberuntung itu," ujar Lorne.
Rachel asyik mencuci peralatan memasak yang ia gunakan, sedangkan Lorne asyik memandangi Rachel dari kursi nyamannya. Rachel memberengut mendapat jawaban singkat Lorne. Bagaimana Vilove tidak beruntung? Vilove sangat bahagia. Yovan juga sangat mencintainya. Rachel tidak mengerti.
"Apakah Yovan pernah mencintai wanita lain, Lorne?"
"Maksudmu cinta pertamanya? Ya."
"Jadi maksudmu ada orang beruntung lainnya?" tanya Rachel berusaha mencerna kalimat Lorne.
"Vilove adalah istri kedua Yovan. Dimana istri pertamanya adalah sahabat Vilove sendiri, Farennina," jelas Lorne.
"Oke, aku 'tak bisa menemukan titik terangnya."
Rachel duduk menarik kursi untuk menghadap Lorne. Lorne mengamati Rachel dalam diam. Berusaha menyembunyikan kenyataan yang pada akhirnya gagal untuk ia lakukan. "Semuanya rumit."
"Ya, kisahku-kisahmu juga rumit. Jelaskan saja," pinta Rachel tanpa basa-basi.
"Kau yakin sebatas rasa penasaran atau kau tertarik pada sahabatku?" tanya Lorne dengan nada yang mengintimidasi.
Rachel menepuk dahi Lorne keras-keras. "Kau sudah gila?"
Lorne menggenggam tangan Rachel dengan senyumnya yang 'tak habis. "Istri pertama Yovan meninggal. Dia memiliki penyakit selagi mengandung Vilove kecil. Ya, nama yang kebetulan sama bukanlah sebuah kebetulan. Semua sudah direncanakan."
"Sahabat Vilove?"
"Begitulah."
Lorne menatap mata Rachel lalu membulatkan keputusan untuk mengatakan ribuan kalimat yang memporak-porandakan hatinya selama 5 tahun belakangan ini. "Aku takut aku akan kehilangan dirimu."
Rachel membalas genggaman tangan Lorne. Walau sepertinya tidak berhasil memberikan rasa tenang. "Maka cintailah aku seumur hidupku. Jika usiaku lebih singkat daripada usiamu, kau layak mendapatkan kebahagiaan sekali lagi."
"Jika kau yang kehilangan diriku, apa kau juga akan melakukan hal yang sama? Mencapai kebahagiaan bersama orang lain?" tantang Lorne dan Rachel menggeleng dengan sukses. "Aku akan merana sepanjang hidupku. Aku tidak peduli dengan kebahagiaan lainnya."
Lorne tersenyum dengan puas. "Maka jangan sekalipun kau berani mengatakan hal itu kepadaku. Jika kau satu-satunya kebahagiaanku, biarlah begitu."
"Oke," bisik Rachel.