Lorne berdeham. Ia ingin sekali mengganti suasana tegang menjadi suasana yang lebih bersahabat. Jika yang dihadapannya saat ini adalah Rachel, pasti Lorne dengan senang hati akan memegang kedua tangannya. Namun kali ini Candara yang berada tepat dihadapannya. Menikmati makan siang bersama dengan diam yang 'tak bisa terelakkan.
Lorne menyetujui untuk menghadiri rapat penerbitan dan Candara lah yang akan diorbitkan. Semua saling terkait satu sama lain, membuat segalanya kian rumit. Lorne sama sekali tidak membenci Candara. Namun untuk ada disisi Candara, sepertinya ia butuh amunisi penuh.
"Rachel..."
"Aku sudah mengajaknya. Ia tidak bersedia."
Candara menatap Lorne dengan penuh kesedihan. Ia tidak mengenal lelaki dihadapannya. Lorne sudah berubah. Menjadi pendiam. Tertutup. Juga membencinya. Itu yang Candara ketahui dan yang ingin Candara percayai.
"Maaf merepotkanmu. Seharusnya Shane yang mendampingiku," ujar Candara dengan sopan.
"'Tak apa. Rachel juga tidak marah padaku. Menurutnya, kesempatan ini bagus untuk memperbaiki hubungan kita. Bagaimana menurutmu?"
Lorne tersenyum pada Candara, untuk yang pertama kalinya. Senang. Itulah yang Candara rasakan saat ini. "Dengan senang hati. Apakah kau, ingin memperbaiki hubungan diantara kita? As a friend?"
"Sure," sahut Lorne.
Candara menyelesaikan makan siangnya dan berusaha memulai etiket baik untuk mendamaikan diri dengan Lorne. Dengan serius Candara mempertanyakan segala hal yang ia pikirkan selama 11 tahun.
"Jadi, sekarang kau bersama Rachel." Lorne mengangguk tanda setuju. "Kau 'tak merindukan aku sepertinya."
Lorne terkekeh bersama dengan Candara. "Hampir. Kau muncul setelahnya."
Candara nyaris tersedak. Jawaban Lorne sangat memilukan hatinya. Entah bagaimana mengatasi situasi yang seolah-olah hanya dirinya yang bersalah.
"Lorne, aku ingin bertanya."
"Silakan."
"Apakah kau pernah mencintaiku?"
Lorne menaikkan sebelah alisnya sambil menghabiskan soft drink miliknya. "Kau sudah mendengarnya."
"Ya, seingatku kau mengatakan kau mencintai Nata."
"Oke. Karena kau pernah mengatakan bahwa kau mencintaiku, maka aku akan mengakui jika 11 tahun yang lalu aku juga mencintaimu."
So simple, batin Candara.
"Lalu mengapa kau tidak mencegahku untuk pergi?"
Lorne kembali menaikkan kedua alisnya. Dahinya berkerut, jelas sekali Lorne merasa bingung atas pertanyaan wanita dihadapannya. "Apa yang akan terjadi jika aku menahanmu?"
Candara mendesah. Lorne sempit sekali. Masih sama seperti dulu.
"Sangat sederhana. Kau menahanku, aku tidak akan pergi. Mengapa tidak kau lakukan?"
"Oh, maaf karena aku tidak mengetahuinya."
Candara mengeluarkan buku dengan cover biru muda, meletakkan buku itu dihadapan Lorne. Lorne tahu benar buku apa itu. Tapi ia tidak tahu apa motif Candara menunjukkan buku itu setelah 11 tahun berlalu.
"Aku ingin tahu. Apa yang ingin kau tulis di dalam buku itu, Lorne?" tanya Candara pada akhirnya.
"Aku lupa."
"Kalau begitu coba kau baca kembali. Aku yakin kau akan mengingatnya," saran Candara.
Lorne berpura-pura mencari tulisan yang Candara maksudkan.
"Halaman 129," tambah Candara.
Lorne membuka halaman yang disebutkan oleh Candara. Tulisan dengan makna yang begitu besar. Candara tidak seharusnya menanyakan hal ini padanya.
"Ini sudah tidak lagi penting," ujar Lorne sambil mengembalikan buku yang ia pegang kepada pemiliknya.
"Kau ingat apa yang ingin kau tulis?"
"Tidak."
"Kau mencoba berbohong, Lorne?"
"Berbohong tidaklah berguna. Benar begitu?" Candara merasa seluruh hatinya diremukkan. Lorne tidak menyukainya lagi. Tidak memandangnya lagi sama seperti dulu. "11 tahun, Candara. 11 tahun. Kau adalah masa laluku. Kini masa depanku sudah kuukir dengan manis bersama Rachel. Kau tidak perlu datang kemudian merusaknya."
"Kau merasa aku berusaha merenggut masa depanmu?"
"Bagaimana jika aku jawab 'ya'?"
Candara 'tak berhasil menahan air matanya. Lorne begitu menyakitkan. Ya, berubah menjadi seseorang yang sangat tidak berperasaan. Seseorang yang tidak Candara inginkan. Cinta Lorne yang dulu begitu menggoda, kini hanyalah sebatas impian yang disamaratakan oleh pemiliknya.
"Jika saat itu kau melarangku untuk pergi, Lorne, aku bersedia untuk tinggal. Aku bersedia untuk tetap bersama denganmu," tutur Candara lemah.
Lorne mendengarkan, hanya tidak merespon. Lorne tidak juga menikmati air mata Candara yang terus berjatuhan dihadapannya. Pikiran Lorne 'tak jauh dari Rachel. Hatinya untuk Candara sudah tidak lagi sama. Rachel sudah merampas semuanya. Tidak ada yang tersisa. Kenangan buruk, juga sudah tidak menghantui Lorne.
"Mencintaimu itu sulit, namun aku sanggup," lanjut Candara.
"Kurasa sekarang kita bisa benar-benar berteman. Persiapkan dirimu, beberapa jam lagi kau akan tampil di depan untuk mengambil posisi orbitmu."
Candara menghapus air matanya yang masih mengalir. Ia mencetak sedikit anggukan, tersenyum tipis lalu meninggalkan Lorne sendirian. Walau mustahil, namun dalam hati Candara masih terletak satu harapan kecil. Andaikata perjalanan mereka kali ini dapat membuahkan hasil cinta yang baru diantara keduanya. Namun dari tatapan Lorne, Candara paham jika sekali semua berakhir, maka itu benar-benar berakhir.
**
Candara menyelinap keluar dari ruangan penuh yang berisi banyak penggemar beratnya. Bukan tidak menikmati masa-masa kejayaannya. Beban serasa tertinggal semakin lama ia menatap Lorne berada disekitarnya. Mungkin ide menyelinap sedikit berlebihan. Tapi bagaimanapun, Candara tidak bisa memikirkan cara lain untuk menghindari Lorne.
Bugh!
Candara nyaris terpelanting jika dirinya tidak berdiri dengan kaki yang benar. Seorang lelaki menabraknya tanpa peringatan dan sepertinya tidak siap siaga untuk membantunya. Candara mendesah sedikit keras hingga menarik perhatian lelaki dihadapannya.
"Maaf," ujar lelaki itu.
Kata maaf sudah terucap. Candara 'tak memiliki alasan untuk memarahi lelaki itu. Candara tersenyum kecil sebelum melewati lelaki tadi.
"Nona," panggil lelaki itu secara tiba-tiba. "Kau tahu dimana ruang acara untuk pengorbitan Candice Lei?"
Candara tersenyum kecil mendapati nama penanya disebutkan secara cuma-cuma. Candara mengumbar senyumnya sebelum mendekati lelaki itu agar bisa berbicara dengan lebih santai. "Kau menyukainya?"
Lelaki itu tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan Candara dan yang ia lakukan adalah tertawa kecil mendapati ekspresi lelaki dihadapannya. "Maksudku, apakah kau menyukai cara penulisannya? Menyukai gaya melankolisnya? Atau apakah kau salah satu penggemar beratnya?"
Lelaki itu terkekeh menemukan kebodohannya sendiri. "Lucas. Aku ingin menemuinya secara pribadi."
"Well," Candara sedikit terkejut dengan permintaan Lukas. Bukan sebuah kebiasaan baginya mendapati seorang fan ingin bertemu secara pribadi. "kurasa itu hal yang sangat mustahil. Mengingat banyak sekali yang datang untuk berinteraksi secara langsung dengan Candice."
"Aku akan menunggu sampai ia bersedia."
"Kau gigih sekali."
Lukas tersenyum sebelum menyerahkan sebuah buku dengan cover buku bergambar tangan kekar hendak meraih genggaman tangan yang lebih mungil. Ia menyerahkannya pada Candara, dengan senang hati Candara menerima serta membuka beberapa halaman di depan.
"Aku ingin tahu mengapa ia menulis buku ini," kata Lucas.
"Oke? Adakah yang salah dengan buku ini?" tanya Candara berusaha membantu.
"Kisah di dalam novel ini, sedikit banyak adalah kisahku."
Candara terkejut ketika kalimat itu mengudara. Ia tidak menyangka bisa menulis sebuah novel yang ternyata terealisasikan oleh seorang lelaki dengan nama yang 'tak jauh beda dari tokoh dalam novelnya. Luke-Lucas. Sebuah kebetulan?
"Aku yakin Candice bersedia untuk menandatangani buku ini jika kau menceritakan kisahmu padanya."
"Oh ya? Kau tahu bagaimana caranya?"
"Aku pernah mendengar jika Candice sangat suka menerima email tentang kisah hidup seseorang. Mengapa tidak kau coba?" tawar Candara.
Candara setengah geli memutuskan untuk melakukan tes ringan kepada salah satu penggemarnya ini. Lucas tampak baik-baik saja dengan ide itu. Lelaki itu justru berterima kasih kepada Candara sebab menemukan cara untuk berinteraksi secara pribadi dengan sang penulis buku.
"Thanks."
Satu kata terakhir sebelum Lucas meninggalkan Candara. Sepertinya menyelinap juga bukan ide yang buruk. Walau 'tak disengaja, Candara bisa mengenal salah seorang dari penggemarnya. Itu suatu keberuntungan tersendiri baginya.
"Candara."
Baru beberapa langkah ia berjalan, suara Lorne sudah menggema dalam telinganya. Candara menemukan Lorne sudah siap menghadang langkahnya untuk meninggalkan gedung acara. Bukan hal baik lainnya. Ini sesuatu yang sangat tidak Candara harapkan. Alasan baginya untuk berpaling dari keramaian justru tengah menghentikan usahanya.
"Ya?"
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Menghindarimu," sahut Candara singkat.
"Hey," desah Lorne sambil menarik siku Candara agar berhenti melangkah dan lebih memperhatikan dirinya. "Teman?"
Candara menggelengkan kepalanya sambil menepis tangan Lorne dari sikunya. Sedikit senyuman membantu Candara untuk memposisikan dirinya dihadapan Lorne. "Aku berpikir ulang untuk itu. Kurasa kita tidak bisa berteman."
"Kupikir kita akan baik-baik saja."
"Lorne, hatiku bukan papan permainan. Setidaknya jika cintamu tidak bisa kudapatkan, disana aku menemukan diriku 'tak lebih dari sampah yang berusaha kau daur ulang. Setelah ini kita bisa berhenti, oke?"
Kali ini Candara 'tak goyah dalam mengambil keputusan. Sulit, bukan rintangan. Langkah Candara semakin tegas untuk meninggalkan Lorne. Mungkin kisah cinta mereka 'tak bisa bersatu pada lapisan kehidupan sekarang ini. Mungkin ada keberuntungan lain pada lapisan kehidupan yang entah bagaimana kisahnya. Candara 'tak keberatan. Ia baik-baik saja.