"Sialan kau, Shane! Baru 2 hari kau sudah kehilangan Rachel?" bentak Candara.
"Dan baru 2 hari dia sudah mengatakan ingin kembali pada Lorne!" balas Shane.
Candara menjatuhkan tubuhnya pada kasur Shane, berharap bebannya akan sedikit berkurang. Nihil. Hanya kemarahan tanpa alasan yang kini tengah ia rasakan. Shane 'tak kalah frustasi. Candara memang benar jika dirinya 'tak mampu mengurus Rachel dengan benar.
"Rachel adalah gadis yang baik," ujar Shane berusaha menenangkan diri.
"Lalu? Apa untungnya dengan itu?"
"Ia pasti akan meminta maaf karena telah bersikap begitu kasar denganku."
"Kau terlihat sangat yakin," kata Candara sambil berdiri.
"Pergilah," sahut Shane tanpa menghiraukan komentar Candara. "Jangan sampai Lorne curiga dengan kita berdua."
"Of course."
Candara melintasi kamar Shane masih dengan kekesalan yang tidak berujung. Hatinya masih 'tak tenang. Beban akan Lorne yang mengetahui adanya percecokan antara Rachel dengan Shane. Beban akan keputusan Lorne berikutnya. Beban jika ia harus kehilangan Lorne untuk yang kesekian kalinya.
Menyebalkan. Itu adalah satu-dua hal yang membuat Candara penasaran mengapa Rachel tidak bisa melirik Shane barang sebentar. Dalam hati Candara tidak bisa tidak mengakui jika Shane lebih baik dari segala hal dibandingkan Lorne. Tapi tetap, mengapa manusia satu itu tidak bisa melepaskan ikatan hatinya dari Lorne.
"Kau disini?"
"Aku ambil cuti. Kau keberatan?"
"Aku 'tak tahu."
Candara mendekati Lorne, memudahkan dirinya sendiri untuk menjangkau kekasihnya itu. "Aku yakin. Kau bahkan 'tak memperhatikan aku sedang di kantor atau tiddak."
"Apa aku harus langsung menghubungimu ketika tidak mendapati dirimu sedang bekerja?"
Candara menarik pergelangan tangan Lorne dan menggenggamnya kuat-kuat. "I believe that's the relation gonna be work."
"Candara," desah Lorne sembari menjauhkan Candara dari dirinya.
Namun Candara tetaplah seorang Candara. Ia justru makin melekatkan tubuhnya pada Lorne. Oh, ia memang sakit hati atas sikap Lorne. Tapi ia tahu setelah Rachel diusir dari benak Lorne, luka-luka ini akan mengering.
"Aku tidak akan berpura-pura lugu lagi, Lorne. Terakhir kali aku begitu, aku kehilangan dirimu. Seharusnya aku mengatakan perasaanku padamu lebih awal dan semua hal baru ini tidak akan pernah terjadi."
"Hal baru?" tanya Lorne penasaran. "Which is?"
"Kau dan Rachel tidak perlu berada ditengah-tengah perjuangan kita 'kan, Lorne?" jelas Candara.
Lorne meraba-raba makna kalimat Candara walau sebenarnya ia paham akan ucapan Candara dan sepenuhnya ia sadar bahwa kegilaan Candara mulai menguap.
"Rachel tidak perlu berada ditengah-tengah kita, Lorne," ulang Candara. "Kau tahu? Kita memulainya dari awal, Lorne. Kau seperti tidak menginginkanku. Berusaha menutupi kenyataan yang terjadi dan meminta semua orang beranggapan kita tidak memiliki hubungan apapun. Tapi kau memperlakukan Rachel berbeda, Lorne. Kau menggenggam tangannya menusuri seisi kantor. Aku tidak melihat itu pada hubungan kita."
Lorne menghela napas guna mengontrol emosinya. "Can, aku disini berkat dirinya."
"Aku tahu. Itu sebabnya kuminta kau untuk melupakan dirinya. Lagipula dia adalah adik kecilmu."
"Can..."
"Rachel tidak... maafkan aku. Seharusnya aku tidak membicarakan Rachel denganmu. Maaf."
Candara mengambil posisi duduk disisi Lorne. Memaksa Lorne menerima pelukan panjangnya, yang sudah ia atur semenjak tadi. Candara sengaja. Demi cinta yang selama beberapa hari ini belum ia rasakan.
"Aku sering bertanya pada diriku sendiri," gumam Candara.
Lorne melonggarkan jarak antara dirinya dengan Candara, mencari posisi yang lebih nyaman dan lebih masuk akal. Lorne sedikit memposisikan tangannya seakan sedang mempersilakan cerita singkat Candara. "Oke. Sekarang katakan."
"Mengapa aku harus dipertemukan denganmu?"
Lorne menahan napasnya. 'Tak yakin akan jawaban yang berkelebat di dalam benaknya. "Emm, mungkin karena kau jodohku."
"Aku berharap," bisik Candara. "Tapi kalau bukan?"
"Maka berdoalah aku adalah jodohmu. Ingat betapa pengorbanan yang sudah kita lakukan," saran Lorne dengan nada 'tak nyaman.
"Lorne, jawablah dengan benar."
"Bagaimana jika memang itu jawabanku?"
Candara mengusap pipi Lorne dengan penuh usaha untuk menyabarkan diri. "Aku tahu benakmu menyimpan hal-hal lain."
Lorne menyerah. "Baiklah. Aku berpikir, mungkin Tuhan masih baik mempertemukan kau dengan segala kebaikanku."
"Maksudnya?"
Lorne mengukir senyum tipisnya. Meluruskan kepala Candara yang miring untuk menatap wajahnya. "Membiarkanku mencintaimu dengan cukup."
That's it! Lorne menjatuhkan kecupannya pada puncak kepala Candara. Sesaat setelah Lorne menemukan kedamaian pada ucapannya sendiri. Lorne tidak yakin. Ia bimbang, tapi bersikap dingin pada kekasih sendiri bukan ide yang layak untuk dicoba. Lorne berusaha mencintai Candara kembali. Dengan kedok yang berbeda.
"Terkadang aku merasa kehilangan dirimu," gumam Candara setelah Lorne menyelesaikan kecupannya. "Tapi kuharap kecupan itu mengisyaratkan sesuatu yang lain."
"Do you?"
"I am."
"Well, nyatanya kau masih disini denganku," ujar Lorne 'tak peduli. "Kau masih menungguku?"
"Aku tidak memiliki alasan untuk menunggumu."
"Lantas sedang apa kau disini?"
"Menahanmu agar tidak pergi."
Lorne mengernyitkan dahinya, berusaha memperbaiki gendang telinganya yang terasa sudah rusak akibat kalimat-kalimat Candara yang menyerbu hari ini. "Memangnya aku akan kemana?"
Candara mengukir senyumnya. 'Tak ingin memulai sesuatu yang bisa menghancurkan usahanya sendiri. Candara egois. Demi manusia sialan satu ini, Candara rela menjadi seperti ini.
"Sepertinya aku salah. Kau 'tak 'kan kemana-mana, 'kan?" tanya Candara balik.
"I won't."
"Promise?"