Satu bulan. Hari ini tepat satu bulan setelah Rachel memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Shane. Ia berharap ia akan tahan untuk menjaga jarak dari Shane. Tapi berpikir tentang kehilangan Lorne dan hidup tanpa Shane, sepertinya ide yang buruk. Setidaknya salah satunya pernah mencintai dirinya dan yang satu masih berjuang untuk mendapatkan hatinya. Menerima kenyataan tidak bisa memiliki keduanya secara bersamaan menyesakkan hati Rachel. Tapi ia juga egois jika memaksa keduanya harus memiliki satu tujuan dengan luka hebat yang ia hasilkan.
"Bodoh, Rachel," gumamnya sambil merapikan buku mata kuliahnya yang masih berantakan di atas meja.
Rachel membulatkan tekad. Ya, untuk menemui Shane dan memperbaiki keadaan. Bagaimanapun, satu hal masih mengganjal dada dan 'tak terelakkan. Hari ini, bukanlah jadwal Shane yang berada di kantor. Kalau ia ke rumah Weinston, ia 'takkan bertemu dengan Lorne. Kalau ia ke kantor, ia 'takkan menemui Shane. Kedua hal yang menjadi pertimbangan Rachel.
Rachel kembali mendudukkan dirinya kembali pada kursi kesayangannya. Kelas kosong, tidak ada satupun yang berada disana selain dirinya. Rachel berjanji mengurus penyegelan kelas tapi tidak menyebutkan kalau ia akan menguasai kelas itu sementara waktu untuk dirinya sendiri. Rachel memijat pelipisnya, memejamkan mata dengan gelisah yang masih menggusarkan hatinya. Rachel tidak tahu bagaimana harus mengatasi kata tanya dalam benaknya sendiri.
"Rachel?"
Rachel menoleh pada sumber suara. Chery disana, berdiri dengan ekspresi yang tidak ingin Rachel pedulikan. Tapi Rachel peduli. Ekspresi Chery yang sangat mengganggu. Terlebih saat sahabatnya itu berjalan kearahnya dengan gerakan setengah tergesa.
"Ada apa?" tanya Rachel penasaran.
"Kau yang mengapa. Oh, jangan katakan jika itu tentang Lorne," tebak Chery.
Rachel memutar kedua bola matanya sambil membuat meja dihadapannya sebagai bantalan. "Kau benar. Satu diantaranya."
"Katakan."
"Aku akan meminta maaf terhadap Shane. Tapi aku ingin bertemu dengan Lorne. Aku rindu padanya," jelas Rachel.
"Wow, Rachel. Kapan kau putus dengan Lorne?"
"'Tak ingat."
"'Tak ingat?" tanya Chery 'tak percaya pada ucapan sahabatnya itu.
"Sekitar 2 bulan?" tebak Rachel.
"Exactly! Satu bulan kalian berpisah dan kau sudah rindu padanya?"
"Chery, satu bulan kulewati tanpa keduanya. Ingat?" Cherry mengangguk setuju akan pernyataan Rachel. Tapi bagian hatinya yang lain tidak kuasa menahan gejolak untuk menghujani sahabatnya itu dengan berbagai emosi yang sudah meluap dari kepalanya. "Aku ingin bertemu keduanya dalam satu kesempatan. Bagaimana caranya?"
"Kantor? Rumah?"
"Tidak semudah itu. Kantor, aku bertemu Lorne tidak dengan Shane. Rumah, aku bertemu Shane tidak dengan Lorne. Mana yang harus kupilih?"
Rachel membekap seluruh wajah dengan kedua tangannya. Rasanya ingin menangis, tapi emosi itu hanya akan menyiratkan kelemahannya. Rachel terdiam. Sedangkan Chery, ia memeluk Rachel yang terlihat sangat letih berada ditengah-tengah ini semua.
"Kau memiliki waktu seharian untuk menemui mereka, 'kan?" tanya Chery memastikan dan Rachel mengangguk pasti. "Kalau begitu, kau 'takkan melewatkan kesempatan, 'kan?"
"Maksudmu?" tanya Rachel sambil mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Chery.
"Temui mereka, bitch. Ini London. Kau bisa melakukan apapun yang kau suka. Jangan lewatkan kesempatan atau kau akan menyesal. Temui Lorne, minta maaf kepada Shane setelahnya."
Rachel menegakkan badannya sebelum mencubit pipi subur Chery. "Ide yang bodoh!"
"Aw. Itu tidak bodoh, Rachel. Kau yang bodoh jika tidak bisa melihat ideku sebagai saran yang paling masuk akal di dunia ini."
Rachel berdiri dan meraih tasnya yang mulai terasa berat. Ide Chery, 'tak bagus dan 'tak jelek juga jika Rachel ingin mempertimbangkan. Sayangnya, Rachel tetaplah Rachel walau ia didampingi oleh orang-orang semacam Chery.
"Aku tidak akan melakukannya. Kau yang kunci," ujar Rachel sambil menyerahkan kunci ruangan; melenggangkan kakinya menuju mobilnya.
**
Rachel mendongakkan kepalanya ketika mendengarkan sebuah pintu didorong terbuka. Ingin mengumbar senyuman terbaiknya, namun tidak ingin menunjukkan sikap yang berlebihan saat bertemu dengan manusia satu ini. Biar bagaimanapun, Rachel tetaplah Rachel dan cinta tetaplah cinta. Menutupinya, bukan ide yang ingin Rachel sarankan terhadap dirinya sendiri. Rachel tetap mengumbar senyumnya.
"Kau tampak sehat," ujar Lorne menatap Rachel duduk di kursi kerjanya. "Hai."
"Hai?" tanya Rachel dengan sunggingan senyumnya yang tidak berkurang. "Setelah sekian lama hanya kata 'hai' yang bisa kunikmati?"
Lorne membalas senyuman wanita itu. Ia melangkahkan kakinya dan duduk di sofa yang berhadap-hadapan dengan Rachel. Berlaga seolah Rachel yang memiliki tempat itu, dan ia sendiri hanyalah tamu.
"Apa kabarmu, Rachel?" tanya Lorne mencoba untuk memulainya dari awal.
"Apa kabarku?" tanyanya sekali lagi sambil terkekeh ringan. "Apa kabarmu, Lorne? Kau terlihat baik-baik saja."
"Kau juga."
Rachel tersenyum tipis, berdiri perlahan dan mencoba merapikan meja—yang sudah rapi—dihadapannya. "Aku 'tak baik-baik saja, Lorne."
Lorne 'tak sadar jika dirinya ikut berdiri. Hatinya setengah sadar dan setengah tidak. Rachel memblokir seluruh ingatan yang bisa ia nikmati dan kini wanita itu berdiri dihadapannya, membuat jantungnya berdegup 4x lebih cepat dari yang seharusnya. Lorne mendapatkan tatap yang 'tak baik dari Rachel dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah melepas jasnya dan hanya menyisakan kemeja biru muda tanpa dasi.
"Kurasa kau tidak menerima permintaan maafku?" tanya Lorne memecah keheningan.
Rachel mengangguk. Ia sama sekali belum mendapatkan kata 'maaf' dari siapapun. Baik Lorne atau Shane. "Memang tidak."
"Sepertinya Shane terhanyut denganmu sampai melupakan pesanku."
"Atau pertengkaran kecil kami menyebabkan banyak pesan terlewatkan," tanggap Rachel setengah menyesal.
Lorne mengerutkan dahinya mendengar pernyataan Rachel yang diucapkan dengan begitu frontal. "Oh, aku 'tak tahu."
"'Tak apa. Kurasa memang 'tak ada yang tahu."
"Jadi kau kemari untuk menemuiku?" tanya Lorne memecah keheningan.
Rachel terkekeh mendengar kepercayaan diri Lorne. Yang bisa diakui, benar adanya. "Aku kemari untuk menemui... Shane," dusta Rachel.
"Oh, hari ini kantor bukan wilayahnya."
"Aku 'tak tahu itu," dusta Rachel, lagi.
"Kau bisa ke rumah. Mama sudah lama ingin bertemu denganmu."
Rachel menebarkan senyumannya sekali lagi. Ia rindu Lorne yang selalu bersikap seperti ini. Menyenangkan dan selalu memberikan rasa aman dan nyaman. Sesuatu yang harus ia relakan mulai sekarang.
"Kau tahu semenjak kita..."
"Rachel, kau masih memiliki rumah itu. Kau masih bagian dari keluarga kami. Kau tahu, secara keturunan."
Oh, Rachel 'tak betah dengan situasi ini. Situasi yang Rachel tidak harapkan. Seketika Rachel menyesal berada di ruangan itu. Menyesal dengan saran yang Chery berikan. Namun sebisa mungkin Rachel memberikan ketenangan pada dirinya sendiri. Tersenyum. Senyumnya yang terlihat sangat goyah. Senyum yang tepat untuk diberikan pada Lorne.
"Obati rasa rinduku, Lorne," kata Rachel dengan penuh hati-hati. Bagaimanapun lelaki dihadapannya sudah menjadi miliki orang lain sekarang. Tapi terlepas dari kekhawatiran apa yang menghujam jantungnya, Lorne justru membentangkan kedua tangannya dengan ekspresi siap untuk memeluk Rachel dan pada detik itu juga Rachel menggeleng. "Jangan datang dan peluk. Karena jika demikian, bukan rindu yang terobati tapi luka lama yang 'kan kembali kau koyak."
Lorne menurunkan kedua tangannya dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Senyuman tulus ala Lorne masih terbingkai disana, membuat Rachel semakin susah untuk mengendalikan perasaannya. Rachel salah tingkah. Tapi Lorne tetap mengurangi jarak diantara mereka.
"Aku harus apa, Rachel? Aku juga merindukanmu. Kalau saja aku bisa memutar waktu..."
"Jangan," sergah Rachel. "Aku tidak takut dengan apa yang akan kau ucapkan, Lorne. Tapi aku tidak mau kau memutar waktu. Setidaknya jika memang akhir dari semua ini adalah..."
"Kita bersama?"
Rachel mengangguk. "Setidaknya biar kau menyadarinya dengan caramu sendiri."
"Dan agar Shane bisa mencoba untuk menjagamu layaknya aku?"
Kali ini Rachel menggeleng. "Dia tidak bisa menjagaku layaknya kau, Lorne. Dan maksudku adalah agar Shane bisa belajar melepaskanku suatu saat nanti."
"The most impossible thing, Sweet heart," gumam Lorne.
Sweet heart? Oh, Rachel kehilangan pendengarannya secara tiba-tiba.
"Everything has change," balas Rachel sama lirihnya dengan Lorne.
Lorne mengangguk setuju dengan ucapan Rachel. Ia melayangkan tangannya untuk Rachel jabat walau untuk sementara waktu Rachel hanya menghabiskan waktu sambil menatap uluran tangan itu.
"Friendship?" tawar Lorne.
Bukan balasan Rachel yang Lorne dapatkan. Justru tampisan dari wanita itu. Rachel bersungguh dalam melakukannya. Memang tidak dalam maksud menyinggung, tapi Rachel tidak menganggap tawaran Lorne sebagai hal yang menyenangkan di telinganya.
"Kau yakin hasil dari ini semua hanyalah pertemanan, Lorne? Aku adikmu. Sebagai seorang kakak seharusnya kau memastikan bahwa aku tetap akan menjadi adikmu sampai akhir nanti. Kau janji?"
"Tidak."
"Mengapa?"
"Kita tidak pernah tahu bagaimana akhirnya. Bisa jadi besok kau menjadi milikku kembali."
"Jangan terlalu optimis. Siapa tahu akhir kita bukanlah sebuah kebersamaan."
"Bagaimana jika bisa lebih dari itu?"
Rachel 'tak mampu menjawab. Ia bahkan tidak tahu dengan maksud Lorne. Rachel terdiam dan Lorne mengacak rambut Rachel. Akan tetapi Rachel tidak menolak juga tidak keberatan. Senyum yang Rachel sunggingkan, diusahakan agar tidak membuat prespektif lain di mata Lorne.
"Sampai jumpa, Lorne."