Rachel memberikan sebungkus ice cream yang sempat ia beli sebelum datang ke kantor Weinston. Vian sangat bahagia, berlari keluar ruangan Nadine dengan senyuman yang membuat suasana hati Rachel membaik.
"Keponakanmu ini lucu sekali, Nad," ujar Deby.
Nadine membingkai senyumnya secara cepat, sama sekali tidak ingin memusingkan tanggapan dari sahabatnya itu. Deby menyipitkan matanya sebelum memalingkan perhatiannya kembali pada Rachel.
"Oke, sekarang kembali mengenai dirimu," kata Deby sambil mengarahkan telunjuknya pada Rachel. "Kau pikir aku suka dengan situasi ini?"
"Deby, kau tahu kalau Lorne memang tidak pernah mencintaiku. Dan sekarang kehadiran Candara benar-benar menjadi penghalang bagi kami. Ini keputusan Lorne bukan keputusanku. Aku juga tidak suka dengan situasi seperti ini," tutur Rachel.
"Kau bisa menahannya."
"Aku 'tak punya hak untuk menahannya. Lorne keras sekali menganggap Candara adalah hidupnya dan aku bukan siapa-siapa di matanya. Mempertahankan dirinya sama saja dengan menghancurkan harapan akan masa depannya. Jadi kubiarkan."
"Kau pikir dia tidak menghancurkan harapan akan masa depanmu?" tanya Deby merasa 'tak puas dengan kesimpulan Rachel. "Nona Groots, aku tidak senang. Dan lihatlah Nadine ku tersayang. Dia juga tampak tidak senang."
Sontak Rachel melihat ke arah Nadine. Wanita itu cenderung diam dan berpura-pura tidak mendengarkan pembicaraannya dengan Deby mengenai Shane juga Lorne. Rachel ingin curiga. Terlebih saat Nadine tampak menyesal dengan kondisi Rachel yang sekarang berstatus sebagai kekasih Shane. Nadine kentara sekali menyembunyikan ketidaksenangannya.
"Ya, Nadine. Kau bisa mengatakan mengapa kau tidak senang," pinta Rachel lembut.
"Aku 'tak masalah kau dengan siapa. Aku tidak peduli toh bukan permasalahanku," sahut Nadine sinis.
"Oh, aku juga yakin ini bukan permasalahanku. Tapi sikapmu berlebihan," sarkas Deby.
"Bukankah kau yang berlebihan? Kau memarahi Nona Groots dan bersikap seolah-olah kau diperbolehkan ambil suara dalam permasalahan keluarga bos kita. Maaf, aku tidak tertarik," jelas Nadine malas.
Deby mendekatkan wajahnya pada Nadine, agar ia yakin apa yang sahabatnya katakan itu benar adanya. Karena kalau tidak, ia siap memaki Nadine walau tanpa diminta. "Ada apa denganmu? Nona Groots sudah menjadi teman dekat kita semenjak hubungannya yang semakin merapat dengan Tuan Lorne. Kurasa teman berjalan seperti apa yang sedang kulakukan."
Nadine menarik tangannya tepat ketika ia melihat Rachel hendak menyentuh punggung tangannya, kejadian yang tanpa sengaja Deby sadari. Deby menutup laptop dihadapan Nadine dengan sigap, menarik perhatian Nadine sepenuhnya.
"Ada apa denganmu?" keluh Nadine sambil membuka laptopnya namun sekali lagi Deby menutupnya. "Oke sekarang kau mau apa dariku?"
"Kau menghindari Nona Groots," tegur Deby.
"Oh, menghindari seperti apa?"
"Kau menghindari sentuhannya."
"Oh, aku bahkan tidak tahu ia mau menyentuhku."
Brak!
Nadine menaikkan pandangannya ketika Deby tiba-tiba menggetarkan ucapannya. Rachel kecewa, namun ia tidak terlalu bereaksi. Nadine tidak seperti Nadine terakhir yang ia temui. Hubungannya dengan Lorne sepertinya mendasari pertemanannya dengan wanita itu. Namun setelah hubungannya dengan Lorne berakhir dan Shane menggantikan Lorne, Nadine tidak ingin memiliki pertemanan seperti yang sudah terjadi.
"Jaga ucapanmu, Nad!" sentak Deby. "Kau 'tak boleh seenak itu dalam berbicara. Kau mengerti? Nona Groots disini membutuhkan teman dan kau seenak diri menghancurkan hatinya. Ada apa denganmu, hah?!"
"Maafkan aku, Nona," kata Nadine tanpa rasa menyesal.
"'Tak apa. Shane lama sekali, seharusnya ia sudah menemuiku semenjak tadi," jawab Rachel sambil membereskan tas tangannya. "Seharusnya aku 'tak kemari dan menceritakan keadaanku dengan Lorne."
"Bukan begitu, Nona," rayu Deby sambil memegang tangan Rachel. "Kau bisa menceritakan semuanya padaku. Abaikan saja Nadine."
"Tentu saja. Dan untuk sekali ini saja, namaku Rachel bukan 'nona'. Kurasa kau bisa memanggilku dengan nama yang benar, Deby."
"Tentu saja."
"Saatnya pergi?" tanya Shane dari muka ruangan Nadine.
Senyuman singkat Rachel layangkan sebelum akhirnya menemui kekasih barunya itu. Shane menawarkan tangannya pada Rachel, sedangkan Rachel ia hanya merespon.
"Jadi, kau mau kemana?"
Rachel memberikan senyuman terbaiknya. "Aku sedang berusaha untuk mencintaimu, Shane. Mungkin kau bisa menghentikan seringaianmu itu."
"Kau tahu apa yang sangat spesial bagiku?"
"Apa?"
Shane mengecup puncak kepala Rachel. "Memenangkanmu."
"Shane, aku bukan barang," gerutu Rachel.
"Tapi hatimu adalah alasanku untuk tetap hidup. Dan aku sama sekali tidak keberatan jika harus mengalami banyak hal buruk demi mendapatkan perhatianmu."
"Shane, jika pada akhirnya aku tetap ingin memperjuangkan Lorne...."
Rachel menggantungkan kalimatnya dengan sempurna. Membungkam seluruh kalimat yang tersisa pada Shane. Shane tidak menyangka jika Rachel tega menyatakan kalimat itu diawal hubungan yang sedang mereka usahakan. Setidaknya, Shane tahu ini bukan cara yang tepat untuk mengungkapkan pemikiran wanita itu.
"Shane, kau tahu aku sedang berusaha untuk mencintaimu," tambah Rachel.
"Kau sudah mengatakannya tadi," sela Shane 'tak ingin mendengarkan kalimat yang membuat hatinya semakin sakit.
"Shane, aku ingin kau tahu. Kalau cinta yang aku miliki tidak bisa semudah itu berpaling apalagi jika Lorne yang sedang kita bicarakan. Dan aku ingin tahu apa tanggapanmu jika setelah semua yang kita perjuangkan hanya menghasilkan sebuah keputusan untuk mengembalikanku pada Lorne."
Shane membuka pintu menuju parkiran dengan kasar lalu setelah Rachel keluar dari pintu itu, Shane membanting tubuh Rachel hingga menghantam tembok parkiran. "Sampai aku mati, aku 'takkan pernah mengembalikanmu pada Lorne. Kalau sampai akhir kau tetap bersamanya, hanya ada dua kemungkinan. Pertama kau dicuri dariku, kedua kau memberiku racun hingga aku sekarat dan secara tidak langsung harus melepasmu untuk mendapatkan penawar racun itu."
"Kau menyakitiku, Shane. Lepaskan aku!" bentak Rachel.
Alih-alih melepaskan cengkeramannya, Shane memilih mengeratkan cengkeraman itu. Mendorong tubuh Rachel dengan lebih kuat, memberi tekanan hingga membuat wanita itu tidak bisa memberontak.
"Kau dengarkan aku, Rachel Groots," lanjut Shane kasar. "Kalau kau dicuri dariku, aku akan mencurimu kembali. Kalau kau meracuniku, sampai kematianku datang kau akan tetap bersamaku. Lebih baik aku mati daripada harus menyerahkanmu kepada Lorne sementara aku hidup dalam penderitaan meratapimu dimiliki oleh kakakku sendiri!"
Rachel menganga mendengarkan ucapan Shane. Lelaki itu sepertinya sudah cukup mabuk untuk bisa semenakutkan ini. Rachel melihat ketakutan, kebencian, sakit hati dan rasa iri dalam mata Shane. Ia pernah melihat tatapan itu sekali. Sekali, waktu kemarahan Shane yang 'tak bisa Rachel maafkan. Tapi kali ini ia tidak akan menangis. Kalau ia menangis, ia bersumpah akan menahannya agar tidak tumpah. Lelaki keras kepala sekaligus keras hati ini harus tahu jika cintanya bukanlah sesuatu yang bisa dilempar-ambilkan seperti ini.
Rachel memegang pergelangan tangan Shane yang masih melekat pada lengan kirinya; melemparkannya dengan sekuat tenaga yang ia miliki. "Lorne memandangku lebih baik darimu. Deby benar. Seharusnya saat aku kehilangan Lorne, aku tidak perlu mengizinkanmu untuk menggantikan posisinya."
Rachel mendorong tubuh Shane dengan sisa tenaga yang ia miliki. Membuat lelaki dihadapannya melemparkan tubuhnya kembali menghantam tembok dibelakang Rachel. "Aku tidak peduli jika kau menganggapku serendah itu!"
"Aku peduli, Shane! Aku peduli!" teriak Rachel 'tak betah menahan emosinya. "Kau dan aku, Shane, kita sudahi saja semua perjuangan sia-sia ini. Bagaimanapun hubungan ini 'tak akan berhasil walau kau memaksa."
"Rachel, kau akan menyesal!" teriak Shane ketika Rachel berhasil melewati tubuh kekarnya dan berjalan keluar dari parkiran.
Rachel menghentikan langkahnya dan menyempatkan diri untuk memutar tubuhnya menghadap Shane. Ia membalas Shane dengan meneriakkan kalimat, "Aku tidak pernah menyesal memperjuangkan orang yang benar. Ketika aku berusaha memperjuangkan sesuatu yang salah, itulah yang akan aku sesali."