"Di reject," desah Rachel sambil merebahkan badannya.
Rena mengamati Rachel yang sedang berusaha menenangkan diri. Sudah 2 bulan, semua keadaan menjadi berubah. Rachel terlihat lebih murung. Lorne tidak banyak terlihat, begitupun dengan Shane.
"Dan kau baik-baik saja?"
"Sepertinya begitu, aku masih bernapas dengan bebas."
"Kalau Lorne tidak menginginkan dirimu, kau bisa menemuinya untuk meminta kejelasan," saran Rena.
"Yea, I did. Kupikir ia memang menjauhiku. Kudengar Candara sempat berbicara pada Lorne."
"Pekerjaan?"
"Hopefully. Dia banyak berubah, Ma."
Rachel melupakan baringannya dan meraih kunci mobil miliknya. Sedikit merapikan rambutnya; melupakan keluh kesahnya dan dengan segera meninggalkan segala beban tentang Lorne.
Sebuah gedung tinggi, dihuni dengan berbagai bentuk wajah menjadi tempat pelarian Rachel. Mengalihkan perhatian dari pengasingan Lorne cukup berhasil selama 2 bulan ini. Bukan lelaki yang seperti ia kenal. Lorne terkesan sebagai pengecut. Entah mengapa, 'tak ada kabar, 'tak ada penjelasan. Menemuinya bahkan terasa seperti mimpi.
"Jangan memaksa, kau terlihat kurang sehat," tegur Chery, sahabat Rachel. "Mungkin dia sibuk."
"Sesibuk apapun, kalau aku masih satu yang paling dihargai, tidak mungkin ia meninggalkanku dengan cara begini. Setidaknya jika ia menginginkan akhir, aku menerima alasan yang jelas. Jika Candara adalah penyebab, aku juga tidak keberatan asalkan dia mengatakannya sendiri padaku."
Rachel membekap mukanya, menahan sesak dada yang mulai 'tak berjeda. Lorne mulai menyebalkan. Melukakan hati dan menyiksa batin. Bukan ini yang pernah dijanjikan Lorne. Manisnya selalu tentang kebahagiaan walau 'tak benar-benar diucapkan.
"Sekali saja," tambah Rachel disela tangisnya yang mulai pecah. "Sekali saja ia berbicara padaku."
"Kalau kau mau aku bisa membantu mengusir Lorne," tawar Chery.
Rachel mengangkat wajahnya untuk memastikan kalimat Chery bukan seperti apa yang ia tangkap. "Mengusir?"
"Kau tahu, mungkin Lorne bukan yang 'tepat' bagimu. Mungkin juga bukan Shane, tapi bisa jadi orang lain, 'kan?"
"Terkutuklah aku yang harus terjebak diantara Weinston. Bukan itu yang kuinginkan."
Chery memutar bola matanya sebelum mengintimidasi Rachel dengan tatapan jengahnya. "Dengar, Lorne tidak terdengar seperti orang baik. Shane juga tidak terdengar baik, tapi Rachel..."
"Kau butuh bicara."
Rachel mendongakkan wajahnya, menemukan patah hatinya mereda. Suara yang begitu ia rindukan. Wajah yang selalu menyesatkan dirinya. Lorne berdiri dengan gaya yang, entahlah, Rachel tidak bisa menilai. Yang ia ketahui adalah, ia harus berlari untuk mendekap kekasihnya itu. Itu yang Rachel lakukan jauh sebelum Lorne sempat menghindar.
Lorne mendorong tubuh Rachel dengan gerakan pelan. Mengejutkan Rachel, tentu. Untuk yang terbaik, belum tentu juga.
"Rachel, aku perlu bicara sebentar saja," bisik Lorne.
"Aku butuh waktu yang lama untuk membicarakan semua keluhanku," balas Rachel.
"Kita pulang?"
Rachel mengangguk sedikit sambil melirik Chery. "Satu jadwal kuliah tidak akan membuatku kehilangan harga diri, 'kan?"
Anggukan kepala Chery cukup menenangkan. Lorne membukakan pintu bagi Rachel, lalu memberikan kursi lain baginya. Dalam sepersekian detik, mereka tidak lagi berada pada tempat yang seharusnya menjadi tuntutan ilmu Rachel.
**
"Aku tersesat," desah Lorne mulai dengan nadanya yang terdengar putus asa.
Lorne melemparkan jas abu-abunya setelah menutup pintu dibelakang Rachel.
"Kau berubah, Lorne. Semenjak Australia-mu yang terakhir. Boleh aku tahu ada apa?"
Lorne memandang tatapan itu. Bukan tatapan yang mematikan, namun cukup membuat hatinya merasa berdosa. Ia tahu ada banyak kesalahan yang ia buat.
"Entahlah."
"Mari kubantu dengan satu nama, Lorne. Candara?"
Entah reaksi apa yang harus Lorne tunjukkan kepada Rachel saat ini. Rachel terlalu frontal dalam menyebutkan nama itu.
"Kami... berbaikan."
"Just it?"
"Tell me. If you got me fall in love with someone else before today, what might be your simply reaction?"
Lorne memulai. Keheningan merajalela. Rachel berusaha tenang, tapi bukan itu yang harus ia lakukan sekarang ini. Seharusnya Rachel meluapkan segala bentuk emosinya. Seharusnya, Rachel yang menjadi ratu atas segala patah hati yang Lorne ciptakan. Ia 'tak habis pikir. Kalimat itu muncul dengan tegas dan tenang. Lorne benar-benar sudah kehilangan hati?
"A simply reaction from me? It's just, about knowing you fall in love with someone else, Candara? Believe me, Lorne. It's hurt!"
"Rachel..."
Rachel menepis tangan Lorne yang berusaha menghapus air matanya. Ini mulai serius dan hatinya sudah tidak lagi bersandar pada apa yang benar. Jika ini akhir, baiklah. Mungkin separuh hatinya sudah siap untuk menerima kenyataan.
"Terima kasih kepada dia yang berhasil membuatmu pergi dariku."
"Jangan egois! Aku mencintainya jauh sebelum aku mencintaimu."
Satu lagi patah hati? Apa mengakui mencintainya belum cukup?
"Tapi aku mencintaimu tepat ketika ia memutuskan untuk meninggalkan dibanding memperjuangkanmu," balas Rachel 'tak mau kalah.
"Aku mencintainya jauh sebelum kau hadir dalam hidupku."
"Aku mencintaimu ketika semua orang berpikir kau baik-baik saja."
"Aku mencintainya ketika aku tahu ia lebih dari sekadar sahabat."
Begitukah? Sahabat? Lebih?
Rachel menepis air matanya sambil mengurangi jaraknya dengan Lorne. Ia 'tak bisa berpikir jernih kali ini. Lorne mungkin benar tentang hatinya, namun lelaki itu sangat keterlaluan. Ampun?
Plak!
Satu tamparan langsung. Tanpa ragu, tanpa mengurangi rasa perih. Rachel benci melakukannya. Tapi tidak menikmati saat-saat seperti sekarang ini, adalah hal terbodoh yang mungkin akan ia sesali.
"Lorne, aku mencintaimu ketika aku tahu hanya luka yang akan kumiliki saat memperjuangkanmu. Semua berubah ketika kau sudah menjadi milikku!"
"Ya, semua berubah, Rachel." Lorne menegakkan badan sambil memegang pergelangan tangan Rachel kuat-kuat. "Karena kurasa aku mulai sadar jika aku mencintainya ketika hatiku sibuk untuk melupakannya."
Rachel menyentak tangannya, membuat Lorne sedikit terdorong. "Aku mencintaimu ketika kau sibuk memilih antara aku dan dirinya, Lorne! Walau bukan aku yang nantinya memiliki dirimu! Tidakkah kau lihat itu?!"
Rachel merasakan sesak dadanya naik tanpa ampun. 'Tak ada yang menghalangi dirinya meluapkan kepedihannya. Air mata yang berusaha ia bendung, hari ini menjadi titik puncak untuk segera membanjiri hubungannya dengan Lorne.
"Ketika hatiku hanya akan selalu untuknya, apakah kau masih ingin mencintaiku?"
Plak!
Satu lagi gerakan gesit dari Rachel.
"Dan kapan kau mencintaiku?!" tantang Rachel 'tak ingin menaruh harap lagi.
"Rachel..."
"Kau tidak pernah mengatakan kau mencintaiku! Bahkan ketika tante Karla menanyakannya, kau juga tidak mengatakan kau mencintaiku! Aku ini apa, Lorne? Kau pikir aku hanya sampah?! Atau kau pikir aku boneka yang bisa kau injak setelah 'tak berguna bagimu?!"
Lorne mengurangi jaraknya dengan Rachel, berusaha mendekap wanita itu walau hanya berontak yang ia terima. "Brengsek kau, Lorne! Lepaskan aku!"
"Aku mencintaimu," gumam Lorne. 'Tak jelas tapi Rachel bisa mendengarnya. "aku mencintaimu ketika kau selalu ada untuk membuatku merasa hidup dan pantas untuk bahagia."
Rachel menghentikan berontaknya. Hanya kalimat itu yang ingin ia dengar. Rachel hanya ingin Lorne mengucapkan kata itu. Kata yang mengumandangkan betapa lelaki itu mencintai dirinya. Rachel benci pada posisi ini. Tapi jika memang untuk mendapatkan cinta Lorne harus berjuang semelelahkan ini, Rachel tidak begitu menyesal.
"Maaf jika hatiku," tambah Lorne. "akan selalu menjadi miliknya."
Rachel mengangguk. Lorne memang jahat. Dia bukan manusia, dia lebih seperti malaikat pencabut nyawa. "Dan aku akan selalu mencintaimu, ketika tidak ada yang bersedia. Aku hanya perlu untuk tahu, bahwa sedikit dari hatimu, aku pernah memilikinya."
Lorne mengeratkan pelukannya. "Ya, kau memilikinya. Walau hanya setitik rasa."
"'Tak apa, Lorne. Sungguh," bisik Rachel dalam sela tangisnya.
"Maafkan aku."
Rachel mengeratkan perlukannya. "Dan untuk melepasmu. Ketika nanti sudah tidak ada lagi yang menghargai hatimu, kumohon kembalilah padaku. Aku 'tak keberatan jika harus selalu menjadi yang terakhir bagimu. Semoga bagian diriku yang terakhir adalah peristirahatan terakhir dari perjuangan menaklukkan wanita impianmu."
"Rachel..."
"'Tak apa. Selamanya kau akan kunanti disini."
Kalimat penutup yang indah. Rachel memaksakan diri untuk tidak berlama-lama bersandar pada pelukan Lorne. Ia mengecup pipi Lorne sebelum meninggalkan lelaki itu. 'Tak usah diberi kesimpulan. Ia tahu semua ini telah berakhir. Impiannya harus terhenti dengan sekali teguran. Mungkin kisah lama adalah hati yang seharusnya bersama di masa depan. Seperti yang Rachel ketahui, tidak ada dirinya di kisah lama itu. Jika mengalah adalah sebuah akhir yang bahagia untuk lelaki yang sangat ia cintai, Rachel akan melakukan persis seperti yang Lorne minta darinya. Untuk tidak egois.
Satu pelukan lagi, tepat ketika Rachel membuka pintu kamar Lorne. Dengan sepenuh hati ia menahan tangisnya. Tetap saja tumpah. Pelukan nyaman lainnya. Rachel kalah, ia tidak mau menutupi kekalahan itu dari Shane.
"Aku mundur, Shane. Aku mundur."
Shane 'tak merespon. Hanya berada disana, mungkin cukup untuk Rachel.
"Kau benar. Seharusnya aku 'tak membiarkan lelaki itu memiliki hatiku. Aku mundur. Sampai mati ia akan terus berada disana. Disisi Candara. Dan aku hanyalah seorang yang bodoh, yang menginginkan cinta dengan harapan bisa memilikinya secara utuh. Persetan dengan janjinya, persetan dengan setiap moment yang dia berikan! Aku ingin sekali membencinya, tapi aku 'tak bisa, Shane. Aku bisa apa? Aku lemah!"
"Kau tidak lemah," tangkas Shane. "Kau wanita yang tangguh."
"Kau benar soalnya, kau salah soalku. Aku tidak begitu. Aku rapuh sekali, aku hancur, Shane! Hanya Lorne yang aku inginkan, dan sekarang semua berakhir. Aku mundur, Shane. Aku mundur. Kupikir aku bisa merebut hatinya. Setangguh kau berusaha. Tapi aku salah. Aku selesai dengannya."
Shane mengeratkan pelukannya. Ingin sekali menghajar Lorne, tapi wanita ini pasti akan membenci dirinya lagi.
"Rachel," bisik Shane. "Setelah semua ini, kau masih ingin berjuang?"
Rachel mengangguk cepat-cepat. "Aku tidak ingin menyerah, tapi aku tahu aku harus."
Shane mendesah. "Kemana diriku?"
Shane 'tak repot untuk mendengarkan jawaban Rachel. Ia juga tidak ingin mendengar jawaban yang kembali membuat dirinya harus menghela napas.
"Dunia terlalu adil untuk membuat sebuah kemungkinan," tambahnya. "Rachel, kembalilah padaku. Genggam tanganku seolah Lorne tidak menempati hatimu. Atau, selagi ia memperjuangkan Candara, biarkan aku menjadi orang pertama yang memperjuangkanmu."