"Buku apa ini?", ucap dr.Martin sambil mengambil buku berjilid coklat dan keras. Buku yg sangat unik pikir dr.Martin. Buku yg jilidnya terbuat dari kayu dan kertas daur ulang, itu terlihat cantik dan unik di sudut kanan bawah terdapat tulisan berinisial "D". Pikiran Martin langsung tertuju kepada Delia pemilik buku ini tentunya. Namun, belum sempat ia membuka buku itu sekelebat tangan Delia segera menyambar buku harian dari tangan Martin.
"dr. Marmer jangan coba-coba membuka nya tanpa seizin pemiliknya..ya!".
"Hmm..buku itu ternyata milikmu, pantasan sesuai pemiliknya..", ucap Martin sambil tertawa mengejek.
"Sesuai apanya gitu?!", ucap Delia terpancing.
"Ya..kayak gitu deh ..lusuh..!", ucap Martin sambil tertawa lebar.
"Sembarangan..ini unik tauu..gak akan ada yang punya buku harian seperti ini.. apalagi isinya", ucap Delia sambil menjulurkan lidahnya.
"Apa yang istimewa di dalamnya coba lihat..?!", seketika Martin merebut buku itu dari genggaman Delia. Delia yang merasa terkecoh segera berusaha merebut kembali buku itu, namun tubuhnya yang hanya dua pertiga tinggi Martin tentu saja tak mampu menjangkau tangan Martin yang kokoh itu.
Jantung Delia berdenyut cepat saat menyadari tubuhnya begitu dekat dengan tubuh Martin hingga ia mampu merasakan begitu hangat suhu tubuh dr. Marmer itu. Hal yang sama juga dirasakan oleh Martin, membuat suasana menjadi canggung. Hingga akhirnya Delia segera melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi menempel di dada bidang dr. Marmer. Tak ingin berlama-lama dalam kondisi canggung itu Martin pun segera menurunkan tangannya dan memberikan buku harian itu kepada Delia.
Namun, tiba-tiba Delia menampiknya. Muncul ide dalam pikirannya.
"Dr. Marmer aku ingin kau menuliskan pesan atau kesan atau apalah yang engkau ingin tuliskan di sana. Anggaplah kau sedang memberi kenang-kenangan untukku. Mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi.." ucap Delia lirih. Ia menyadari hari-hari bersama dr.Martin akan segera berakhir. Banjir mulai surut sebagian warga sudah mulai membenahi diri. Setelah itu, Delia dan Martin akan kembali ke kehidupannya masing-masing. Delia mungkin sudah harus berpikir mencari perguruan tinggi yang diinginkannya. Sedangkan Martin tentu saja sudah harus menyelesaikan laporan akhir dan mengikuti ujian kelulusan untuk menjadi dokter yang sesungguhnya.
Wajah Delia terlihat murung, kenapa ia merasa begitu berat untuk berpisah dengan Martin. Padahal hanya beberapa saat ia mengenalnya. Kenapa dadanya terasa sesak. Martin menangkap perubahan Delia tanpa banyak bicara ia segera mengambil pulpen dari sakunya memutar tubuhnya dan duduk di kursi tempatnya memeriksa pasien. Karena hari itu belum ada pasien yang datang ke tendanya. Delia segera tersadar dari lamunannya. Ia memperhatikan Martin yang sedang asyik menulis di buku harian kulit kayu itu. Ia begitu penasaran apa yang akan dituliskannya. Sambil menyiapkan diri untuk tidak terlalu terkejut jika tulisan itu tidak sesuai dengan harapannya. Mungkin dimata Martin dirinya bukanlah orang yang istimewa. Apalagi untuk memiliki perasaan lain tentangnya. Mana mungkin Martin meliriknya seorang gadis dusun yang sederhana. Tapi perbedaan yang membentang diantara keduanya begitu lebar. Perbedaan budaya dan keyakinan menjadi penghalang terbesar yang menahan Delia untuk tidak berandai-andai.
Namun, perasaan nyaman dan menyenangkan yang hanya Delia rasakan saat bersamanya, menghilangkan semua perbedaan itu. Begitu pula dengan Martin, seakan tak peduli dengan orang-orang yang mencibirnya. Seorang dokter yang tidak mau terikat dengan aturan sosial yang ada. Delia seorang gadis biasa yang telah mencuri perhatian Martin Lin seorang co assisten berdarah Tionghoa.
***
"Apa yang kau tulis dokter?", ucap Delia penasaran.
"Ada deh...", dr. Martin menarik buku harian itu hingga Delia sulit melihat isinya.
"Iih..dr.Marmer lihaaatt..!" Delia merajuk.
"Jadi perempuan itu harus sabar roti kompyang..kalau sudah selesai pun kau tentu bisa melihatnya..", ucap Martin santai sambil melanjutkan menulis, ia terlihat begitu asyik dengan tulisannya membuat Delia semakin penasaran. Karena Delia tahu bahwa dirinya selalu menjadi korban keisengan Martin. Dia berpikir Martin tidak benar-benar menulis pesan seperti yang dibayangkannya. Bahwa ia akan menulis sesuatu yang membuatnya terkenang akan dirinya.
Saat sedang asyik berdua duduk di dalam tenda, keduanya tak menyadari bahwa sejak tadi ada seseorang yang memerhatikannya. Rupanya dia adalah Rani seorang perawat yang biasa bekerja dengan dr.Martin. Ia begitu tidak suka jika Delia berada didekat dr.Martin. Begitu pula dengan hari ini. Mereka terlihat semakin dekat, yang seharusnya dirinyalah yang selalu berada dekat dengan dr.Martin. Dengan kesal Rani segera melaporkan kejadian itu kepada pemimpin regu penyelamat. Ia mengatakan bahwa salah satu petugas relawan tidak menjalankan tugas dengan baik dan malah menggoda co ass.
Tak lama kemudian, Delia dipanggil dan diberikan teguran oleh pemimpin regu. Sejak hari itu ia diperintahkan untuk segera kembali ke Desanya. Tugasnya menjadi relawan sudah berakhir. Delia yang mendengar kabar itu seketika tubuhnya lemas, tak disangka perpisahan itu begitu cepat.
"Ayo..Delia segera bergegas bereskan barang-barangmu..kau akan ikut dengan rombongan pertama yang dipulangkan esok pagi", ucap pemimpin regu tegas. Ia tak ingin ada rumor yang tidak menyenangkan tentang anggotanya, juga demi kebaikan Delia. Karena, pemimpin regu tak ingin disalahkan jika benar Delia menjalin hubungan dengan dr.Martin. Jadi ini adalah keputusan yang tepat memulangkan Delia lebih awal dari jadwal yang telah ditentukan sebelumnya. Tanpa banyak bertanya Delia segera berpamitan dengan pemimpin regu, dengan langkah lesu ia meninggalkan tempat itu. Rupanya Martin mengetahui kabar itu, ia segera menghampiri Delia, tak banyak kata yang terucap dari bibir mungilnya. Hanya permintaan maaf, dan seonggok buku harian berjilid kulit kayu yang disodorkan oleh Martin.
"Ini..bukumu hampir tertinggal. Maafkan aku karena aku kau harus kembali ke desamu begitu cepat..", ucap Martin sambil menarik nafas panjang.
"Tidak dokter bukan salahmu mungkin ini memang saat yang tepat aku harus kembali. Jika harus menunggu beberapa hari lagi entahlah.." kata-kata Delia terhenti.
"Apa maksudmu?!", Martin mengernyitkan dahi.
"Nggak ah, rahasia..", Delia terkekeh menutupi bibir mungilnya. Martin tersenyum ia tak ingin memaksa Delia menceritakan rahasianya. Mereka pun berpisah jalan kembali melanjutkan tugasnya masing-masing.