Chapter 9 - Pulang

Resah, gelisah memenuhi hati Delisa setelah pertemuannya dengan dr. Marmer membuatnya goyah. Kenapa di saat ia akan merelakannya justru ia kembali. Membangkitkan kenangan lama yang penuh arti. Harapan yang menjadi nyata. Namun Delia tetap berhati-hati dalam memaknai setiap kejadian dalam hidupnya. Apakah pertemuannya dengan dr. Marmer adalah sebuah peluang berharga untuk berani melangkah maju menuju jalan terkabulnya sebuah do'a? Ataukah justru Allah sedang menguji bahwa keputusannya menerima pinangan mas Danang adalah semata-mata bentuk pengabdian kepada Tuhannya atau hanya sekadar batu loncatan saja agar ia memiliki waktu lebih untuk memperjuangkan cintanya? Cinta yang akan banyak menghadapi rintangan tentunya. Apakah ia akan sanggup melaluinya? Benar-benar sebuah keputusan yang rumit. Bagi Delia kejadian ini menjadi sebuah tantangan. Bagaimana ia belajar menjadi lebih bijak untuk tidak mengambil pilihan yang salah. Namun, di sisi lain ia pun tak bisa begitu saja mengabaikan perasaannya. Perasaan yang semakin dalam terhadap dr. Marmer. Terlebih setelah bertemu dengannya baru ia menyadari bahwa ia tak bisa lepas dari sosok dr.Marmer. Kini, Ia benar-benar menyadari bahwa dirinya telah jatuh cinta pada Martin dan ia yakin bahwa Martin merasakan hal sama dengannya.

"Ah..saat ini aku tak ingin banyak berpikir, ingin kunikmati rasa ini, yang jelas aku sangat bahagia. Bersamamu kembali ke Jakarta...", bisiknya dalam hati, tanpa sadar senyuman kecil tersungging di bibirnya. Dr. Marmer menatapnya ia pun merasakan apa yang Delia rasa, duduk di samping seseorang yang selama ini dicari dan dirindukan. Seperti duduk di bawah pohon yang rindang sejuk dan menentramkan. Begitu asik mereka bercengkrama. Jarak Singapura-Jakarta serasa begitu singkat.

Kebahagiaan yang Delia rasakan begitu cepat menguap, pesawat segera mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Keluar pintu bandara mereka harus kembali berpisah menuju arah yang berbeda, berat rasanya. Tapi setidaknya ia sedikit tenang bahwa dr. Marmer kini berada dekat dengannya.

Sesampainya di rumah, Delia disambut oleh ayah, ibu dan sepupunya Nila yang sengaja menginap beberapa hari untuk menyambut Delia. Hubungan mereka tidak hanya sebatas saudara sepupu tetapi mereka sudah seperti sahabat. Mungkin karena sebaya mereka tak canggung untuk berbagi cerita dan rahasia. Termasuk kisah dr. Marmer dan roti kompyang hanya Nila yang mengetahui kisahnya.

Delia sudah tak sabar ingin menceritakan semua yang dialaminya. Serba mengejutkan, sekaligus membuat bimbang dan cemas memenuhi hati Delia.

***

"What?! Are you kidding me?!", mata Nila terbelalak tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Kamu satu pesawat dengan dokter itu? dokter yang telah lama menghilang tanpa jejak! OMG..OMG..! terus gimana dengan mas Danang?!", Nila meremas bahu Delia.

Ia tak bisa membayangkan reaksi om dan tantenya andai mereka mengetahui kejadian ini. Terlebih mas Danang, meskipun ia tidak mengenal dekat dengannya tapi beberapa kali bertemu dengan mas Danang ia dapat menilai jika mas Danang orangnya humoris, dewasa dan bertanggung jawab. Pasangan yang pas buat Delia, pikirnya.

"Pokoknya Del kamu nggak boleh batalin pertunangan kamu dengan mas Danang. Pikirkan baik-baik, dengan dokter itu terlalu banyak perbedaan Del, lagi pula gak mungkin keluarga kita bisa menerima dia. Sadar Delia ! tanggal pernikahan sudah ditentukan kamu gak bisa mundur..". ucap Nila meyakinkan Delia.

Delia menarik nafas panjang, wajahnya tertunduk lesu. Bulir-bulir hangat tak terasa mengalir membasahi pipinya.

"Tapi aku tak bisa menghilangkan dia dari pikiraku Nil, coba kamu pikir kenapa setelah sekian lama Allah mempertemukan aku dengannya lagi? bukankah itu artinya masih ada kesempatan aku untuk bisa bersamanya kan?! Aku tak bisa membuka hatiku untuk mas Danang sudah kucoba dua tahun terakhir ini tapi.. tapi..", Delia tak sanggup lagi melanjutkan perkataannya. Dadanya sesak tangisnya tak terbendung. Bagaimana ia bisa mengendalikan hatinya yang selalu berdegup kencang dihadapan dr.Marmer.

Namun, disisi lain Ia pun tak ingin menyakiti hati mas Danang. "Tapi bagaimana mungkin menjalani kehidupan rumah tangga dengan mas Danang sementara hatiku masih milik orang lain. Bukankah itu akan lebih menyakitinya lagi?" ucap Delia sambil terisak, Nila memeluknya erat. Hatinya pun sakit begitu besar penderitaan yang sedang dirasakan sepupunya.

Tapi ia harus tetap tegar demi Delia, pikirannya harus tetap jernih agar ia dapat membantu Delia melalui masa sulit ini. Penting baginya untuk mengajak Delia berpikir realistis. Ia tak ingin sepupunya itu mengambil keputusan yang salah dan menghancurkan hidupnya.

Melihat kondisinya sekarang ini, bukan saat yang tepat melanjutkan pembicaraan ini. Delia sedang dimabuk asmara, membahas apa pun dengannya malah akan semakin memperkuat perasaannya kepada dr.Martin.

Akhirnya, Nila mengajak Delia untuk tidur dan menenangkan diri. Malam ini terasa begitu panjang, dinginnya menusuk kalbu. Keinginan akan terasa begitu menyakitkan ketika ada hasrat yang menyertainya. Dapatkah insan yang sedang dilanda cinta memisahkan hasrat dari keinginannya? entahlah... Nila tak pernah berada dalam posisi seperti Delia. Meskipun ia pun tak lama lagi akan bernasib sama dengan sepupunya itu, dijodohkan atau diperkenalkan dengan seseorang yang dipilihkan oleh orang tuanya. Tapi bedanya ia tak pernah menambatkan hatinya pada siapa pun. Karena ia tahu tidak ada kata pacaran dalam tradisi keluarganya. Semua pernikahan yang terjadi dalam keluarga besarnya adalah hasil dari perjodohan atau melalui proses ta'aruf (perkenalan) yang dihadiri kedua belah pihak keluarga yang akan diperkenalkan. Jika keduanya merasa cocok maka hubungan akan berlanjut ke proses khitbah (lamaran) sampai kepada penentuan waktu pernikahan. Jadi Nila memang sudah mempersiapkan dirinya sampai gilirannya tiba.

Tidak seperti Delia, ia bukan tipe penurut ia berjiwa bebas. Ia akan melakukan segala sesuatu yang menurutnya benar dan perlu untuk dilakukan. Sifat inilah yang terkadang membuat Nila khawatir. Ia takut Delia lebih memilih dr.Martin daripada mas Danang. Tapi semua sudah tercatat dalam suratan takdir. Hanya bisa berharap dan meyakini bahwa Allah akan memberi jalan yang terbaik bagi mereka.

Sebuah doa yang dipanjatkan di penghujung malam. Doa yang akan tersampaikan kepada Sang Khalik tanpa penghalang. Hanya doa yang Delia butuhkan saat ini, yang akan menguatkan dirinya untuk terus melangkah maju dan menyelesaikan masalahnya.

***

Sinar berwarna keemasan yang masuk melalui celah-celah jendela terasa begitu hangat menyentuh wajah Delia yang putih bersih. Pakaiannya terlihat rapi, mengenakan blazer hitam berpadu dengan rok chiffon warna pastel yang senada dg hijabnya. Ini adalah hari pertamanya ia bekerja di salah satu lembaga konsultan di Jakarta.

Mengenal suasana baru, teman-teman baru, bertemu dengan klien dengan membawa permasalahannya, menjadi hiburan tersendiri bagi Delia. Sejenak pikirannya dapat teralihkan dan membuatnya lebih banyak bersyukur atas segala nikmat yang Tuhan berikan untuknya.