Chereads / Balada dr. Marmer dan Roti Kompyang / Chapter 8 - Hari Lamaran Tiba

Chapter 8 - Hari Lamaran Tiba

"Mah kenapa harus mas Danang sih?"

"Mas Danang itu orang yang paling pas jadi pendamping hidupmu, dia baik, mandiri, bertanggung jawab dan yang terpenting hubungan keluarga kita dengan keluarganya sudah begitu dekat. Mamah sudah mengenalnya sejak dia kecil sejak mas Danang sering ditinggal orang tuanya kan Mamah dan Papah yang suka membantunya Mamah sudah anggap seperti anak sendiri".

"Justru itu Mah, aku tuh udah menganggap mas Danang seperti kakakku sendiri, terus sekarang dia jadi calon suami aku?! ih.. gimana jadinya, aku harus tunduk dan patuh sama dia ooh..no! lagi pula aku belum mau menikah kuliah baru juga setengah jalan.. Mamah malah seneng anaknya cepet tua jadi ibu-ibu..".

Mamah nggak tau kalau dia itu ahli membully di depan mereka aja ia terlihat manis, sopan padahal Mamang mesum, tukang iseng, gila! gerutu Delia dalam hati. Mas Danang memang sering jahil ada saja ulahnya untuk buat Delisa kesal. Pernah sekali waktu ia menaruh kadal di laci meja belajar Delisa yang membuat Delisa menjerit-jerit ketakutan. Tapi perbuatannya itu dibenarkan oleh Mamah Delisa dengan alasan bahwa mas Danang telah membantu Mamah menyelesaikan masalah tikus yang kerap mengganggu. Sejak Danang menaruh kadal tidak ada tikus yang mondar mandir di kamar Delia. Namun, tidak bagi Delia, mas Danang sengaja ingin menakut-nakutinya karena ia tahu bahwa Delia sangat takut dengan kadal.

"Huss.. nggak boleh nampik (menolak) jodoh pamali nanti susah dapat jodoh itu kata orang tua dulu, udah nurut aja sama orang tua Mamah juga nggak mungkin pilihkan jodoh kamu sembarangan." ucap Mamah memecah lamunan Delia.

"Tapi...Mah aku nggak bisa!"

"Nggak bisa kenapa? ada lelaki yang kamu suka?!"

Seketika Delia terdiam, tidak mungkin ia mengatakan kalau sudah ada seseorang yang mengisi hatinya. Ia juga tidak mengetahui dimana ia kini. Akankah ia masih dapat bertemu dengannya lagi?, Mamah Delia segera menyodorkan semangkuk lontong sayur kepada Delia yang tiba-tiba termenung entah apa yang sedang dipikirkannya, Mamah Delia merasa bahwa anaknya telah menyukai seseorang. Namun, ia tak ingin membahas seseorang itu, baginya Danang adalah pendamping terbaik untuk anaknya.

"Daripada bengong nih, berikan ini sama mas Danang, segera ya.. nanti keburu pergi jemput orang tuanya di bandara, besok acara lamarannya." ucap Mamah tanpa melihat wajah Delia tangannya sibuk membersihkan dapur sehabis memasak lontong sayur untuk sarapan. Sementara Delia terlihat syock ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Apa?! ini beneran Mah..masa besok, secepat itu?" perasaannya tak karuan. Bagaimana mungkin orang tuanya menjodohkan dia tanpa bicara terlebih dahulu dengannya. Ia merasa dijebak pulang ke Jakarta dengan niat ingin menenangkan pikiran dari penatnya mengerjakan tugas-tugas kuliah, tapi malahan ia mendapat masalah baru yang tak kalah rumit dengan tugas kuliah.

"Cepat sana..masih banyak yang harus dikerjakan. Oh..iya nanti sepupumu Nila mau ke sini menginap. Kamu jangan lama-lama di rumah mas Danang ya.. hati-hati bawa mangkuknya..". Bergegas Delia mengambil mangkuk yang berisi lontong sayur dan membawanya ke rumah mas Danang di seberang jalan. Terlintas dalam pikirannya bahwa ini peluang dia harus bicara dengan mas Danang dan membujuknya untuk membatalkan acara lamarannya.

Tanpa mengetuk pintu ia langsung membuka pintu rumah mas Danang sambil berteriak memanggil namanya. Namun, tak ada jawaban. Delia langsung menaruh lontong sayur itu di meja makan, terdengar suara air mengalir di kamar mandi. "Mungkin mas Danang sedang mandi, sebaiknya aku menunggunya sebentar.. pokoknya aku harus bisa membujuk si Mamang mesum", gumamnya dalam hati.

Tak berapa lama terdengar suara pintu kamar mandi dibuka. Delia menoleh ke arah pintu kamar mandi, namun sungguh pemandangan yang tidak ia harapkan. Mas Danang keluar sambil menggosok rambut dengan handuk. Sedangkan Ia hanya mengenakan celana training tanpa atasan hingga tubuhnya yang kekar dan berotot itu begitu terlihat jelas.

Wajah Delia terasa panas, ingin rasanya ia berteriak sambil berlari keluar. Namun, ia harus menahan rasa malunya demi urusan yang lebih penting.

"Mamang mesum! pake baju sana gak sopan..tau!" pekik Delia sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Dih..kamu tuh yang mesum! Lagi pula wajar dong namanya juga habis mandi udah gitu aku tuh cuma sendiri di rumah mana tau bakal ada gadis kecil yang nyelonong masuk rumah tanpa permisi..", ucap Danang dengan sengaja mendekati Delia.

Delia yang panik menjerit-jerit menghindari Danang. Danang tersenyum geli dengan santainya ia berlalu menuju kamarnya. Beberapa saat kemudian ia kembali menghampiri Delia dengan pakaian lengkap.

"Ada apa gadis kecil pagi-pagi dah ke sini?! Kangen yak?"

"Siapa juga yang kangen, aku disuruh Mamah tuh ngasihin lontong sayur buat sarapan" ucap Delia sambil mulutnya menunjuk ke arah meja makan.

"Asyiik..udah lama nih, gak makan lontong sayur buatan Mamahmu yang super lezat".

Danang segera menghampiri meja makan dan melahapnya tanpa memperdulikan Delia yang duduk di sampingnya.

"Mas.." ucap Delia gugup. Danang menghentikan makannya dan menoleh ke arah Delia.

"Tumben manggil mas pasti ada maunya, apa katakan?" ucap Danang santai sepertinya ia sudah menerka apa yang ingin disampaikan Delia. Namun, ia pura-pura tidak mengetahui apa pun.

"Mas tahukan kalau kita dijodohkan, sekarang mas mau jemput om dan tante kan untuk acara lamaran besok?!"

"Terus.."

"Kok terus?! mas Danang kok santai banget sih, emang mas Danang mau dijodohin sama aku?"

"Iya mau gimana lagi itu kan sudah diputuskan sama orang tua kita ya nurut saja gampang toh"

"Lo nggak gitu dong mas, aduh..aku tuh gak bisa bayangin jadi isteri mas Danang ah, nggak bisa pokoknya kita gak cocok!"

"Ya..ntar juga cocok kalau sudah terbiasa.."

"Ih, mas Danang serius dong..ini besok loh lamarannya harus dibatalin gimana pun caranya?"

"Ya lalu, gimana cara batalinnya? Mamahmu pasti sudah menyiapkan segala sesuatunya termasuk mengundang tetangga sekitar dan saudara-saudara tentunya. Apalagi orang tua mas sekarang pasti sudah di pesawat mereka jauh-jauh datang demi pertunangan ini? gimana perasaan orang tua kita apakah kamu pernah memikirkan mereka?!"

Delia terdiam memang ada benarnya yang dikatakan mas Danang. Bagaimana mungkin ia tega menyakiti hati kedua orang tuanya dan orang tua mas Danang. Tapi bagaimana dengan perasaannya. Bagaimana dengan dr.Marmer yang hampir tujuh tahun ia selalu menunggunya.

Hati Delia sudah tertutup untuk laki-laki lain sejak musibah itu. Rasa bersalah yang terus membuat dirinya gelisah dalam tidurnya. Seseorang yang hampir kehilangan nyawa demi menyelamatkannya jangankan untuk mengucapkan terimakasih sekadar ingin tahu kabar pun ia tak tahu harus bertanya pada siapa. Hanya sebuah cincin yang menyimpan harapan dan membuatnya tetap hidup bahwa suatu saat orang itu akan menemui dan mengambil titipannya.

"Dr. Marmer dimana kamu sebenarnya? Apakah kau masih hidup? Ya Allah izinkan hamba bertemu dengannya lindungilah ia.."

kalimat yang selalu tersisip di setiap do'a-do'anya.

Tapi kini harapan itu sudah terkikis mungkin Allah tidak mengizinkannya bertemu dengan Martin. Mungkin ini akhir sebuah penantian. Ia harus merelakannya seandainya bertemu pun bagaimana selanjutnya? ada jurang yang terbentang diantara keduanya. Perbedaan keyakinan yang membuat dirinya tak bisa melanjutkan hubungan yang bahkan belum dimulainya. Apakah ini saatnya untuk aku menyerah? Apakah ini saatnya ia berhenti bermimpi dan melihat kenyataan di depannya? Pikiran Delia terus bergumul antara memperjuangkan mimpi atau menjalani kehidupan nyata. Sungguh ia merasa begitu tertekan dan bingung harus memilih keputusan yang akan mengubah jalan hidupnya.

Danang menatap dalam Delia, ia dapat merasakan kegundahan hati Delia. Mungkin Delia lebih terkejut ketimbang dirinya yang menerima apa pun keputusan orang tuanya. Baginya disandingkan dengan siapa pun itu pasti yang terbaik yang dipilihkan orang tuanya. Meskipun begitu banyak wanita yang mencoba mendekatinya namun, sejauh ini tak ada satupun yang menarik hatinya. Mungkin selama ini ia hanya berfokus kepada pekerjaannya. Tak ada waktu untuk dirinya memilih wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya.

Sekarang ia tak perlu repot-repot mencari dan wanita yang dipilihkan untuknya adalah orang yang dikenalnya sejak kecil. Ia tak perlu repot beradaptasi dengannya, begitu pikir Danang. Soal cinta mungkin akan tumbuh seiring berjalannya waktu.

Namun, melihat reaksi Delia sepertinya tidak semudah yang ia bayangkan.

"Sekarang begini saja, kita tidak mungkin membatalkan acara pertunangan besok. Jadi, lebih baik kita ikuti saja keinginan orang tua kita. Nah, nanti saat pembicaraan pernikahan, mas Danang akan minta waktu sampai kamu menyelesaikan kuliah. Nah dalam jeda waktu dua tahun ke depan baru kita putuskan untuk terus melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan atau tidak bagaimana?".

Delia mengernyitkan dahinya, apa yang dikatakan oleh mas Danang sepertinya lebih masuk akal. Setelah berpikir sejenak akhirnya Delia menyetujui saran mas Danang. Kini iya bisa tersenyum lebar.

"Baiklah, deal..! kita ketemu lagi dua tahun ke depan mas Danang juga harus balik ke Malaysia juga kan untuk urusan pekerjaan?"

"Hmm..ya, sekalian mengurusi pindah tugas.."

"Mas emang mau pindah kemana?"

"Jakartalah, calon isteri mas kan tinggal di Jakarta.." ucap Danang terkekeh.

"Ish..udah ah, kelamaan nih..sepupuku jangan-jangan sudah sampai rumah..dah", ucap Delia sambil bergegas meninggalkan rumah Danang.

"Dasar ..gadis kecil! tadi sedih.. sekarang girang...hadeuuh..!" ucap Danang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

****

Hari lamaran pun tiba dihadiri sanak saudara dan handai taulan dari kedua belah pihak. Acara berlangsung dengan lancar dan pembicaraan pernikahan pun sesuai dengan apa yang Danang dan Delia rencanakan. Kini cincin pertunangan telah melingkar di jari manis Delia. Walaupun ia menerima dengan berat hati namun, satu hal yang pasti harapan itu masih ada. Masih ada banyak kemungkinan yang akan terjadi dua tahun ke depan. Ia tak ingin memikirkan semua hal yang belum pasti, yang jelas adalah ia harus tetap melihat dan melangkah ke depan menyelesaikan kuliahnya. Sedangkan hal lain biarkan Allah yang memiliki rencana. Tugasnya hanyalah berdo'a dan berusaha, semoga dengan do'a akan mengubah takdirnya.