Delia membuka matanya perlahan, suara hiruk pikuk terdengar samar. Matanya sedikit demi sedikit terbuka cahaya lampu nampak menyilaukan. Kepalanya terasa pening, tulangnya serasa rontok dan perih terasa di beberapa bagian tubuhnya.
"Dimana ini?!", gumam Delia. Ia mencoba mengingat peristiwa sebelumnya. Ia pun terperanjat kala wajah Martin yang terlintas dalam pikirannya. Ya, ia mengingatnya Martin mendekap erat saat tubuhnya terjatuh. Delia berusaha bangkit dari tidurnya namun tubuhnya terasa kaku, sakit dan lemas tak bertenaga.
"Apa yang terjadi dengan dr. Marmer dimana dia..dimana dia..", pikirannya kalut. Ia berusaha mengumpulkan kesadaran dan bangkit dari tidurnya. Namun, tiba-tiba seseorang memegang dengan erat tangannya mencegahnya untuk bangkit.
"Delia kamu sudah sadar nak?", ucap wanita paruh baya dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Rupanya ia adalah ibu Delia. Ibu Maya segera tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar musibah yang dialami anaknya itu di pengungsian.
Tampak seorang laki-laki berwajah tegas tanpa sepatah kata pun hanya wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sama dengan ibu Maya. Ia adalah ayah Delia, ternyata semua keluarganya telah berkumpul di kamar rawat inap RSUD Cahaya Raga. Namun, pikiran Delia tidak di sana ia mengkhawatirkan Martin, ingin melihat dan mengetahui kabarnya. Kenapa tidak ada yang memberi kabar tentangnya. Orang yang telah mempertaruhkan hidup hanya untuk menyelamatkan dirinya.
Nila sepupu Delia berbisik ditelinganya, "Kamu sedang memikirkan dokter itu kan?!", bisik Nila. Delia terperanjat siapa yang sedang ia bicarakan dr.Marmerkah? apakah Nila mengetahuinya?, sorot matanya tajam penuh tanya.
"Ini..ada titipan buatmu", Nila menyelipkan bungkusan kecil ke bawah selimut Delia.
Setelah ruangan kamarnya sepi Delia segera bergegas membuka bungkusan itu. Sebuah kotak kecil bermotif batik dengan nuansa warna hijau, di dalamnya tersimpan sebuah cincin perak berbentuk hati dibagian depannya. Di bawah cincin itu terselip secarik kertas dengan tulisan tangan khas, rupanya bingkisan itu dari dr.Martin.
"Dear Roti Kompyang.. saya yakin kamu baik-baik saja, karena kamu wanita yang kuat. Maaf, aku tak dapat menemuimu karena harus segera ke Jakarta. Aku senang sekali bisa mengenalmu, aku suka semua hal tentangmu. Kau pintar, lucu dan selalu ceria. Terkadang kamu suka menggoda tapi kamu punya batasan. You are a good person. Kutitipkan cincin itu kepadamu.. semoga suatu saat kita bisa bertemu kembali. May Allah blessing you, good bye my Kompyang...".
Sesuatu mengalir hangat diujung mata Delia, nafasnya terasa sesak. Sebuah paku seakan tertancap di dadanya. Kenapa begitu sakit dada ini? Kenapa sekarang justru kau yang meninggalkanku? Bukankah aku yang berpamitan terlebih dahulu? Bagaimana dengan keadaanmu? Apakah kau tidak terluka? Kenapa kau tidak memberi tahuku?! pekik Delisa dalam hati sejuta pertanyaan berseliweran dalam pikirannya.
Sejak hari itu, keceriaan Delia pun menghilang. Sebagian jiwanya seakan ikut hilang bersama perginya dr.Martin. Ia baru menyadari sedalam itukah perasaannya untuk dr. Martin? Sebelumnya ia tak pernah berharap lebih dari perkenalannya dengan dr.Martin. Sebisa mungkin ia menjaga perasaannya dengan hanya mengganggap dirinya sebatas teman. Karena ia menyadari bahwa mereka berdua terlalu berbeda tak ada masa depan untuk dia bisa bersamanya. Akan tetapi hatinya tidak sejalan dengan pikirannya. Ia tak bisa melupakan Martin. Meskipun pertemuan mereka yang begitu singkat. Tapi sosok Martin telah menempati relung hatinya yang paling dalam. "Apakah aku mencintainya? atau hanya rasa penasaran saja yang kurasakan ini?" Delia berkali-kali berusaha memastikan perasaannya. Tapi ia hanya bisa mengenali bahwa sekarang ia sangat merindukannya. Semua kenangan tentangnya masih tergambar jelas dalam ingatannya. "Ya.. Allah baru kali ini aku memberanikan diri untuk meminta seorang laki-laki dalam hidupku. Bolehkah hambamu ini memilikinya?", pikirannya mulai kacau. Ia tak mampu lagi berpikir jernih, pikiran dan hatinya dipenuhi dengan sosok Martin. Ia seperti wanita yang berbeda, bahkan kini ia tak lagi mengenali siapa dirinya. "Apa yang kamu lakukan Delia? Apakah Martin merasakan hal yang sama seperti yang kau rasakan saat ini? Apakah dia menderita? Mungkin dia baik-baik saja di sana. Menjalani kehidupannya seperti semula. Buktinya, dengan mudahnya Martin mengucapkan kata-kata perpisahan. Sejak itu pun ia tak pernah menghubungi Delia. Batin Delia bergejolak. Ia berusaha berpikir sebaliknya, agar dirinya segera tersadar bahwa ia hanya asyik bermimpi. Mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan. Tapi di dalam hati kecilnya tak dapat ia pungkiri masih terpatri secercah harapan bahwa kemungkinan bersamanya bisa saja menjadi nyata jika Allah berkehendak. Bisa jadi, harapan itulah yang membuat Delia tak rela melepasnya.
Nila yang melihat sepupunya sudah seperti mayat hidup, berusaha menghibur dan mengalihkan perhatian Delia. Ia mengajak Delia berkeliling mengunjungi kampus-kampus di Kota Bandung yang mungkin membuatnya tertarik untuk menimba ilmu di sana. Dengan begitu sedikit demi sedikit Delia akan melupakan Martin, pikirnya. Sejak pulang dari rumah sakit, Delia hanya menyibukkan diri dengan merawat tanaman-tanaman kesayangannya. Ia merawat bunga-bunga itu layaknya seorang ibu. Melihat mereka tumbuh dan bermekaran seakan memberikan energi baru untuk Delia. Sehingga ia mampu bertahan ditengah gersangnya hati yang telah kehilangan sebagian sumber kehidupannya.
"Aku tak akan melepaskanmu..."