"What's wrong? apakah terasa sakit lagi dok?", dokter muda berparas oriental itu bertanya dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran.
Tampak seorang pemuda bertubuh tinggi yang sedang memegangi kakinya wajahnya tertunduk berusaha menyembunyikan rasa sakit di kakinya. Beberapa saat kemudian ia mencoba bangkit sambil memasukkan stetoskop ke dalam saku jas putihnya, "Aku baik-baik saja don't worry...ayo pasien sudah menunggu tuh..", ucap dokter muda berwajah tampan. Dokter spesialis bedah yang baru saja menyelesaikan studinya dengan nilai terbaik di Singapura. Dokter yang termotivasi mengambil spesialis bedah tulang karena kecelakaan yang dialaminya beberapa tahun silam itu ialah Martin. Martin dengan cidera kaki yg serius karena berusaha menyelamatkan Delia saat terjatuh dari tebing. Rupanya pasca operasi beberapa kali tak lantas membuat dirinya pulih total. Rasa sakit kerap menjalar di kakinya jika ia terlalu lama berdiri atau berjalan. Ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama bagi dirinya untuk pulih seperti sedia kala. Namun, keadaannya itu tak menjadikan suatu penghalang untuk dirinya menjadi dokter spesialis bedah tulang yang dikenal terampil dalam menangani pasien-pasiennya di ruang operasi. Meniti karir sebagai dokter spesialis bedah tulang di rumah sakit Glean Eagle Singapura dan dikagumi banyak orang tak lantas membuatnya mampu untuk melupakan kerinduannya tentang Indonesia. Tempat yang banyak menorehkan kisah indah dalam perjalanan hidupnya. Tempat yang selalu dirindukannya, meskipun keluarga dan orang tuanya telah menetap sejak lama di negeri singa. Namun, ia lebih mencintai tinggal di Indonesia bersama sahabat dan handai taulan. Ia menyukai keramahan tamahan penduduknya, suasananya serta makanannya. Namun, selain itu ada seseorang yang harus ia temui, seseorang yang menyimpan barang titipannya. Itu juga yang mendorongnya mengambil keputusan untuk dipindahkan ke rumah sakit cabang Glean Eagle di Jakarta. Meskipun keputusannya itu sempat mendapat tentangan dari atasannya, dan membuat terkejut kedua orang tuanya.Namun,
pada akhirnya mereka mendukung keputusan anaknya asalkan membuatnya bahagia. Dengan dukungan orang tua membuat dr. Martin semakin mantap untuk kembali ke Indonesia.
Pikirannya kembali mengingat masa lalu, dan ingatannya tertuju kepada seseorang yang hampir dilupakannya. Seseorang yang akhir-akhir ini selalu datang dalam mimpinya. Membuatnya mengenang kisah lama. Kisah singkat bersamanya. Namun, berhasil membangkitkan kerinduan yang selama ini tertahan. Rindu tingkah konyolnya yang selalu membuat dirinya tertawa, rindu berdebat dengannya, rindu wajah cantiknya, rindu segala hal tentangnya.
"Roti kompyangku bagaimana kabarmu di sana? Apakah kau masih mengingatku? Tunggu aku sebentar lagi aku akan mengambil titipanku..".
Menikmati secangkir kopi pahit dibelai semilir angin Marina Bay yang menyejukkan. Berharap pahitnya akan hilang bersama rasa pahit menahan kerinduan, berganti dengan rasa nikmat yang menyusul kemudian. Martin menghela nafas, sambil merasakan hangatnya sinar matahari yang kian memudar di ufuk senja. Suasana tenang yang tak terasa membuat matanya terpejam sesaat melepaskan penat sampai ketenangannya sedikit terusik oleh seseorang yang ceroboh menyenggol kursi dimana ia duduk kemudian tanpa disadari orang itu telah menjatuhkan ponsel tepat dihadapannya. Seorang gadis yang kemudian menghampiri pagar pembatas pantai dan menaruh banyak barang bawaan di sampingnya. Ia menatap jauh bibir pantai Marina dan tidak menyadari bahwa seseorang datang menuju ke arahnya dengan menggemgam ponsel yang baru saja ia jatuhkan.
"Excuse me..this is your's..?"
Dengan wajah bingung gadis itu segera merogoh sakunya dan ternyata ponselnya tidak ada. Matanya mengamati ponsel digenggaman Martin memastikan kalau itu adalah ponselnya. Sedangkan dr.Martin memperhatikan tangan mungil gadis itu dijari manisnya melingkar sebuah cincin berwarna perak berbentuk hati. Sontak jantungnya berdetak kencang. Ia mengingat cincin yang mirip dengan cincin gadis itu.
"Kompyang..! kaukah itu?!"
Gadis itu terperangah dan membuka kaca mata hitamnya yang hampir menutup setengah wajahnya, guna memastikan siapa yang sedang berdiri dihadapannya. Martin langsung memeluk Delia begitu erat, ia begitu bahagia sekaligus tak percaya jika orang yang selama ini dirindukannya berada dalam dekapannya.
Sesaat tubuh Delia terasa melayang, apakah ini mimpi? bahagia yang tiada terkira sekaligus rasa pilu menyeruak dalam kalbu. Wajah mas Danang tergambar dalam benaknya. Laki-laki yang akan segera meminangnya setibanya ia di Bandung. Delia segera melepaskan tangan dr. Martin. Bagaimana pun ia seorang muslimah yang seharusnya tidak melakukan itu dengan lelaki yang bukan mahramnya.
Pelukan Martin melonggar ia pun segera menyadari sikapnya yang berada di luar kendalinya. Sesaat mereka berdua hanya tertegun dan saling menatap. Rasa canggung menyeruak diantara keduanya. Tak ada kata hanya rasa yang bicara, bertemu dalam hangatnya ufuk senja pantai Marina.