Hujan turun semakin deras di camp pengungsian. Membuat hati Delia tidak tenang kalau-kalau musibah datang kembali. Meskipun letak camp pengungsian cukup jauh dari sungai namun, sangat mungkin terjadi bencana lain seperti longsor jika hujan ini tak kunjung berhenti. Dari kejauhan tampak Asep berlari tergopoh-gopoh menghampiri Delia. Anak lelaki berumur 15 tahun itu tampak kusut, tubuhnya basah kuyup.
"Teh...teteh...tolong bantu carikan adikku Maya sejak tadi ia belum kembali ke tenda...", ungkapnya dengan wajah cemas.
"Hah..kapan terakhir kau melihatnya Sep?", tanya Delia kaget.
"Sebelum hujan turun ia pamit bermain dengan anak-anak lain di kebun bambu di ujung jalan, tapi saya tanya kepada mereka ternyata Maya sudah pulang sejak tadi. Karena langit sudah mendung, saya mencarinya ke sana tapi tak ada jejak..gimana ini Teh.. bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu kepadanya..aku tak ingin kehilangan anggota keluarga lagi...", tutur Asep tersedu. la tak mampu menahan tangisnya lagi, belum lama ia kehilangan kedua orang tuanya dalam bencana banjir ini, rumahnya telah rata dengan tanah. Harta satu-satunya yang ia miliki hanyalah adik kecilnya Maya. Di usianya yang masih sangat muda belia ia telah kehilangan kedua orang tuanya. Sempat Maya dua hari dua malam menangis tanpa henti, ingin bertemu dengan orang tuanya. Ia terus meronta dan menangis membuat semua orang iba dan bingung bagaimana menghiburnya. Tangisnya terhenti saat ia kelelahan dan tertidur. Hingga keesokan harinya Asep meminta pak Ustadz mendoakannya, supaya Maya bisa kembali tenang dan menerima kenyataan bahwa orang tuanya telah pergi untuk selamanya. Maya dapat kembali tenang setelah Asep meminumkan air putih yang telah diberi doa oleh Pak Ustadz. Mujarab, sejak itu Maya berhenti menangis dan dapat berperilaku seperti sediakala. Itu sebabnya Asep tidak berani menolak jika Maya ingin bermain dengan teman-temannya di kebun bambu. Ia berharap teman-teman Maya dapat membantu melupakan kesedihannya.
Asep tak mengira bahwa akan ada kejadian seperti ini adiknya menghilang di tengah hujan lebat. Tak henti ia menyalahkan dirinya. Delia berusaha menenangkan Asep yang panik. Ia menyodorkan anduk dan secangkir teh hangat. Sementara di luar tenda hujan masir mengguyur. Delia menyiapkan jas hujan dan payung ia segera pergi menuju kebun bambu. Asep beranjak dari duduknya dan berniat mengikuti Delia namun, Delia mencegahnya dan menyuruh Asep yang terlihat kedinginan dan pucat untuk beristirahat di bangsal.
Beberapa saat kemudian dr. Martin datang dan memeriksa Asep dia bertanya sebab Asep dalam kondisi yang sekarang ini. Begitu terkejutnya dr.Martin mendengar penuturan Asep. Setelah mengetahui bahwa Delisa berangkat sendirian untuk mencari Maya, dr.Martin segera bergegas menyusulnya karena ia tahu daerah itu tanahnya labil akan sangat berbahaya jika dalam kondisi tanah yang basah diguyur hujan. Semoga ia segera dapat menemukan keduanya.
"Dasar, si roti kompyang ini! ceroboh..! berangkat sendirian tanpa memberitahuku! keberaniannya itu terkadang mendahului otaknya..", gumam Martin dalam hati. Ia percepat langkahnya untuk menyusul dan mencegah Delia memasuki kebun bambu.
Namun, baru saja ia sampai di kebun bambu itu terdengar suara teriakan.
"Itu suara Delia..! Delia..!", teriak Martin cemas ia segera bergegas mendatangi arah teriakan itu berasal.
"dr.Martin kau kah itu..?! Aku di bawah sini cepat tolong aku..!!".
Dengan sigap Martin segera menggenggam erat tangan Delia yg berpegang pada sebatang akar pohon di tepi tebing berlumpur dan berusaha menariknya. Rupanya Delia tergelincir saat hendak menolong Maya. Delia memegang erat tangan gadis kecil itu agar tidak terjatuh. Martin masih berusaha keras menarik mereka berdua namun, tanah yg basah dan licin, membuatnya kesulitan menariknya.
"dr.Marmer sudah lepaskan saja tanganku, nanti kau akan ikut terjatuh jika memaksakan diri..lepaskan dokter!", pekik Delisa pasrah. Mungkin hidupku akan berakhir di sini, pikirnya. Akan tetapi Delia tetap berusaha menyelamatkan gadis kecil itu, jika seandainya ia terjatuh maka biarlah tubuhnya yg akan terhempas dahulu. Setidaknya tubuhnya akan berguna seperti bantalan pelindung sebelum tubuh gadis kecil itu menyentuh dasar tebing.
Akan tetapi tidak demikian dengan pikiran Martin, ia harus menyelamatkan keduanya.
"Tidak Delia.. genggam tanganku sampai akhir, aku tidak akan melepaskan tanganmu.. tetaplah bertahan bukankah selama ini kau orang yang kuat?", ucap Martin dengan nafas terengah-engah. Sementara Martin mengamati sekitar mencari sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, tangan Delia sudah mulai mati rasa. Ia hanya punya sedikit tenaga ya, tenaga untuk melepaskan genggaman tangan dr.Martin. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada Martin karena dirinya. Martin lebih berharga dibandingkan dirinya, jika terjadi sesuatu dengannya bagaimana dengan pasien-pasien itu. Bagaimana dengan Maya yang sejak tadi tak terdengar lagi suaranya.
"Maafkan aku dr.Marmer aku tak sanggup membiarkan kau mempertaruhkan nyawa untukku..", ucap Delia lirih. Air hujan bercampur lumpur seakan membantunya melepaskan genggaman tangan dr.Martin yang kuat.
"Tidak..! jangan..Delia!, pekik Martin tersadar kalau Delia berusaha melepaskan tangannya. Seketika Martin melompat terjun menyusul Delia. Syukur tubuhnya lebih berat drpd Delia, dengan begitu ia memiliki kesempatan untuk melewati tubuh Delia yang lebih dulu terjatuh. Dalam sekejap ia mampu meraih pinggang Delia dan mendekapnya memutar posisinya hingga Delia dan Maya terjatuh tepat di atas tubuhnya. Tiga insan itu pun tergeletak berlumur lumpur dan percikan darah yang mengalir bersama air hujan.