Chereads / Balada dr. Marmer dan Roti Kompyang / Chapter 2 - Jadi Relawan Bencana

Chapter 2 - Jadi Relawan Bencana

"Delia...cepat antarkan makanannya ke tenda Co ass. kasihan mereka belum istirahat sejak tadi". Delia bergegas membawa beberapa kotak nasi berikut air mineralnya. Tampak beberapa co ass sedang duduk beristirahat wajahnya terlihat kelelahan. Hari ini memang begitu melelahkan, banyak warga korban bencana banjir menderita diare dan gatal-gatal. Sanitasi dan kurangnya pasokan air bersih menjadi salah satu penyebab berjangkitnya bakteri E.coli. Sebagai relawan yang bertugas di dapur umum Delia bertanggung jawab penuh untuk menjaga dan menyediakan makanan yang hygienis meskipun dengan perlengkapan seadanya. Terutama bagi para dokter muda yang ditugaskan untuk merawat pasien-pasien di sana.

Martin salah satu dokter muda yang cerdas dan cekatan selalu sigap dalam menjalankan tugasnya. Tidak seperti yang lainnya ia terlihat begitu menikmati pekerjaannya. Selelah apa pun dirinya ia tetap tersenyum dan sabar saat melayani pasien dengan segudang keluhan dan rengekannya. Oleh karenanya, dr.Martin selalu menjadi pusat perhatian di pengungsian. Sikapnya yang santai senang membantu namun,terkadang tegas terhadap para pasiennya yang membandel menoreh kesan tersendiri bagi orang-orang di sekitarnya. Begitu pula dengan Delisa seringkali dr.Martin membantu pekerjaannya di dapur umum, yang memang dirasa cukup berat untuk seorang wanita. Namun, Delisa bukan orang yang suka memanfaatkan seseorang, seringkali ia menolak bantuan dari dr.Martin karena ia tahu tugas dr.Martin tidak kalah beratnya dengan pekerjaannya. Ia tak ingin membuat dr.Martin kelelahan dan jatuh sakit. Delisa tak tega melihat kulit dr.Martin yang putih mulus menjadi kotor karena asap dan arang dari tungku. Sungguh pekerjaan itu tidak cocok untuk seorang dokter, pikirnya. Delisa tidak pernah mengetahui jika dr.Martin berpikir sebaliknya. Rasa pedulinya sebagai laki-laki tak mengizinkan dirinya membiarkan seorang gadis berparas cantik itu mengangkat panci dan dandang yang besar seorang diri. Meskipun sebenarnya ia kagum terhadap kekuatan gadis itu. Meskipun tubuhnya kurus dan tingginya hanya berkisar setengah tinggi dada dr. Martin, tak menjadi penghalang Delia bekerja di dapur umum yang sebagian besar pekerjanya adalah relawan pria. Entah, benar-benar karena alasan itu atau bahkan dr.Martin dan Delia sendiri tak menyadari bahwa ada perasaan lain yang berkembang di antara keduanya. Namun, perhatian itu, tak terlihat seromantis drama korea atau semacamnya.

Tak ada hari tanpa berdebat antara dr.Martin dan Delia, hingga semua orang di camp pengungsian sudah tak heran lagi jika mereka sedang adu argumen atau berebut pekerjaan. Ada saja yang membuat mereka berselisih paham. Keduanya, sama-sama cerdas dan keras kepala. Tak jarang saat mereka beradu argumen menjadi hiburan tersendiri bagi yang lainnya. Kepolosan Delia dan keisengan dr.Martin menjadikan adegan-adegan perdebatan itu terlihat kocak dan lucu. Itulah awal julukan roti kompyang dan dr.Marmer yang dilontarkan keduanya, jika diantara mereka tidak ada yang mau mengalah atau bersikukuh pada pendirian masing-masing.

"Kamu tahu Delisa..kamu tuh benar-benar mirip roti kompyang..", ucap dr.Martin.

"Apaan tuh? roti kompyang? nama yang aneh.." gerutu Delisa.

"Roti kompyang itu diciptakan seperti nama pemiliknya yang berasal dari Negeri Cina, saat itu pembuatnya berpikir ingin membuat makanan yang tahan lama untuk para tentara yang akan terjun ke medan perang. Jadi, dibuatlah roti kompyang yang bertekstur keras dan kasar sehingga roti itu tdk mudah hancur saat diikatkan pada perut para tentara", ucap dr.Martin panjang lebar. Delia menyimak penjelasan dr.Martin, ia terlihat tertarik mendengar asal usul roti kompyang, sebelum akhirnya ia menyadari bahwa roti itu ditujukan untuknya.

"Hmmm..jadi maksud dokter aku kayak roti kompyang yang keras dan kasar begitu?!", matanya menyipit.

"Yaa...nggak juga sih..nggak jauh beda maksudnya ha..ha..ha..", dr.Martin tertawa geli. Melihat tingkah dr.Martin wajah Delia mengkerut dan terlihat kesal.

"Oh..yaa?! tapi..nggak apa-apa deh..berarti masih mending aku daripada seseorang yang mirip banget sama batu marmer", balas Delia sambil terkekeh.

"Apa maksudmu? batu marmer? Siapa?"

"Entahlah, pikir aja sendiri hehe..", ucap Delia sambil balik badan meninggalkan dr.Martin yang kesal.

"Hey..tunggu anak kecil! mau kemana kau! nggak sopan ya..sama orang tua ngatain batu marmer..".

"Oh..jadi sekarang ngaku ya kalau dokter udah tua..hihi", ledek Delia.

"Sembarangan! aku belum tua usiaku hanya lima tahun lebih banyak dari usiamu..heh..Delia dengar tidak!", pekik dr.Martin meyakinkan Delia. Bak kafilah berlalu Delia tak memperdulikan ucapan dr.Martin, yang pasti adalah kini ia punya julukan baru untuk dr.Martin yaitu dr.Marmer. Sejak itulah dr.Marmer dan roti kompyang memberi warna di camp pengungsian. Pertengkaran itu justru membuat keduanya semakin dekat. Mungkin itulah cara mereka saling memberi perhatian.

Akan tetapi tidak semua orang senang dengan kedekatan mereka. Sebagian teman-teman seprofesi dg dr.Martin merasa Delia sudah melewati batas dengan berani mendekati seorang dokter padahal ia hanya seorang relawan yang baru saja lulus SMA biasa tanpa gelar apa pun. Tak pantas bergaul dengan para dokter. Sementara sebagian yang lain dan warga setempat tidak menyukai kedekatan mereka karena keduanya berbeda keyakinan. Maklum untuk warga korban banjir di dusun Salakopi yang mayoritas muslim, mereka masih menjaga jarak dengan orang-orang non muslim. Mereka khawatir dr.Martin akan membawa paham-paham kebebasan dan membawa pengaruh buruk bagi Delia. Mungkin ada juga yang merasa iri bahwa ada dokter yang mau bergaul dekat dengan orang biasa seperti Delia. Sudah merupakan hal yang biasa kalangan atas hanya bergaul dengan sesamanya saja. Bagi mereka seorang dokter dianggap orang-orang dari golongan kelas atas dan mereka pun terbiasa mengeksklusifkan diri. Melihat kedekatan antara dr.Martin dengan Delia menjadi pandangan yang tak biasa. meskipun ada juga yang mendukung atau bahkan tidak peduli dengan hal itu.