"Fidooo, kamu bohong ya? Berani ya, sini Kakak jewer kuping kamu!" teriak Fayra heboh setelah sampai di lantai atas. Ia berjalan dengan menghentakkan kaki menuju kamarnya, mencari keberadaan adiknya yang tadi masih ada di sana.
Tante Rena dan Om Surya hanya tersenyum geli melihat tingkah anak-anak mereka. Tentu mereka tidak khawatir akan terjadi keributan yang serius, Fayra dan Fido tahu batasan dalam berdebat.
Fayra masuk ke kamarnya dan melihat Fido sudah tidak ada lagi di sana. Ia berbalik menghadap pintu kamar Fido yang tepat terletak di depan kamarnya.
'TOK TOK TOK'
Fayra mengetuk pintu kamar Fido dengan sepenuh hati. "Fido jangan ngumpet kamu. Keluar ayo!"
"Nggak mau," jawab Fido dari dalam kamarnya. Ia sedang berusaha menahan tawanya.
"Katanya Ayah bawa tiramisu. Tapi mana?"
"Iya Ayah bawa tiramisu, tapi bohong, hahaha." Fido sukses tertawa dari dalam kamarnya. Tak dihiraukannya Fayra yang mulai menggedor-gedor pintu kamarnya.
"Buka pintunya!"
"Gak mau!"
"Buka!"
"Enggak."
"Rese kamu, Dek." Merasa percuma menyuruh adiknya itu keluar, Fayra kembali masuk ke kamarnya. Tapi, sebelum Fayra menutup pintu kamarnya, ia kembali berteriak, "Kayaknya Kakak gak jadi deh bantuin Fido ngerjain pr matematikanya.'' Dan 'BRAK!' Fayra menutup pintunya dengan keras.
Ucapan Fayra tersebut langsung menghentikan tawa Fido. Ia panik. Pr matematikanya kali ini cukup sulit. Ia perlu bantuan kakaknya untuk mengerjakannya. Dengan cepat Fido membuka pintu kamarnya yang sedari tadi telah dikuncinya untuk bersembunyi dari Fayra. Ia mulai mengetuk-ngetuk pintu kamar kakaknya.
"Yah jangan gitu dong, Kak. Fido minta maaf deh. Jangan marah dong, Kak."
Fayra diam saja mendengar ucapan adiknya itu. Ia berusaha menahan tawanya yang siap meledak.
"Kakak... jangan diem aja dong. Bantuin Fido ya nanti ngerjain pr-nya," bujuk Fido kembali.
Fayra masih tetap diam tanpa merespon bujukan adiknya itu. Fido masih sibuk berceloteh membujuk Fayra, sedang Fayra mulai menghidupkan musik dari ponselnya dengan cukup keras.
"Kakak, Fido lagi ngomong ini...."
"Kakak gak denger," ucap Fayra bohong sambil melompat-lompat di atas kasurnya menikmati alunan musik yang diputarnya. Tenang saja, nanti ujung-ujungnya Fayra juga bakalan bantuin Fido kok. Ia hanya ingin mendengar Fido membujuknya dan memohon maaf padanya. Mengerjai Fido merupakan salah satu aktivitas favorit Fayra. Ya meskipun Fido duluanlah yang sering mulai menjahilinya.
Rivay memainkan senar gitar tersebut dengan lihai. Ia memainkannya sehingga terdengar nada dari sebuah lagu, hanya memainkan nadanya saja tanpa berniat mengeluatkan suara untuk bernyanyi. Sudah cukup lama ia seperti itu, memetik-metik sinar gitar sambil duduk bersila di pinggir ranjang.
Suasana kamar tersebut bisa dibilang hening jika saja Rivay tidak memainkan gitar yang ada di pangkuannya itu. Ia duduk bersila dengan menghadap ke jendela kamar, melihat langit malam yang hanya menampakkan sedikit bintang. Jendela kamar memang sengaja dibuka, membiarkan udara dingin masuk.
Tidak menghiraukan sekitar, Rivay terus memainkan senar gitar tersebut. Ekspresinya nampak tenang, seolah sedang rileks menikmati permainan gitarnya.
'PLUK!' Sebuah bantal guling mendarat mulus di belakang kepala Rivay. Seketika ia menghentikan aksi memetik gitarnya dan menoleh ke belakang.
"Berisik woy! Gue mau belajar, besok ada ulangan," omel Dani, si pelaku kejahatan. Ia menatap sebal ke arah Rivay yang secara tak langsung telah menggangunya. Menurut pengamatannya tadi, Rivay tadi itu masih anteng diam-diam aja ngeliatin langit-langit kamarnya. Eh tapi tiba-tiba duduk dan mengambil gitarnya, membuat suasana yang semula hening menjadi berisik lantaran suara permainan gitarnya.
"Hehe, sori, Dan," ucap Rivay memasang senyum minta maafnya.
"Kalo mau main gitar, di luar aja." Dani kembali menghadap ke bukunya. Berusaha fokus kembali pada buku catatannya.
"Sori," ucap Rivay lagi kepada sepupunya itu
Dani alihkan sebentar pandangannya untuk menatap Rivay. "Pasti karena cewek yang namanya Fayra itu, kan?" tebaknya yakin.
"Yep. Gue gak nyangka bisa satu sekolah lagi sama dia," ucap Rivay santai. Tapi setelahnya, ketika ia menyadari ada hal yang mengganjal, ia menggeser duduknya agar lebih dekat pada sepupunya itu.
"Kenapa lo gak bilang kalau lo satu sekolahan sama dia?"
Dani yang tadi berusaha kembali fokus, kini merasa risih dengan tatapan tajam yang diberikan Rivay. "Gue kan gak tau kalo satu sekolahan sama dia."
"Kenapa sampe gak tau?"
"Ya kan man ague kira kalo tu cewek yang lo maksud," jawab Dani mulai bete sendiri karena aktivitas belajarnya menjadi terganggu.
"Dan kenapa lo gak bilang kalau Fayra udah punya gebeten?" tanya Rivay lagi yang kali ini lebih tajam.
"Ya mana gue tahu lah kalau dia udah punya gebetan. Orang gue baru tau juga kalau gue satu sekolahan sama dia," bela Dani.
"Ya setidaknya elo cari informasi gitu kek tentang dia!" Rivay masih setia menatap tajam ke arah Dani.
"Males gue. Udah dulu deh nanya-nanyanya. Mau belajar gue. Dari tadi ganggu terus. Elo kan udah satu sekolah sama dia, semeja bahkan. Udah cari tahu aja sendiri info tentang dia sebanyak yang lo mau."
Rivay pun melepaskan tatapannya dari Dani. Dani mencebik sebal lalu ia kembali berkomat-kamit menghapal hapalanya.
"Bener juga kata lo, Dan," ucap Rivay sambil menepuk pelan bahu Dani dan kembali duduk di atas kasur. Ia mulai berpikir bagaimana caranya mendekati Fayra. Sesekali ia tersenyum kecil.
Melihat reaksi Rivay yang seperti itu, Dani kembali nyeletuk, "Apa pun yang ada di pikiran lo, tolong bertindak sewajarnya aja."
Rivay mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
"Ya jangan yang sampe bikin heboh satu sekolahan. Nembak cewek di hari pertama masuk sekolah, dasar gila," komentar Dani dengan menggeleng tak habis pikir.
Ia tentu mengetahui tindakan sepupunya ini. Tidak cukup dengan kepindahannya yang sudah membuat heboh para siswi, kini malah ditambah tindaknnya yang membuat langsung melongo tak habis pikir. Dan lebih tak habis pikir lagi, setelah membuat kehebohan tersebut, Rivay masih bersikap santai, seolah apa yang ia lakukan bukan perkara besar.
"Gue gak nembak dia kok," bela Rivay dengan tersenyum miring, jenis senyum yang tidak disukai Dani. Karena Dani tahu sendiri kalau senyum itu mengandung banyak maksud. Kenal Rivay sejak kecil, membuat ia tahu banyak tentang cowok ini. Walaupun sempat tidak bertemu selama hampir dua tahun, bukan berarti Dani menjadi lupa akan kebiasaan cowok itu. Ya meskipun ada beberapa sifay Rivay yang berubah, tapi dengan beberapa orang tertentu, Rivay akan berusaha bersikap seperti dulu.
Dani mendnegus mengejek. "Lah emang apa sebutannya kalau bukan nembak pas bilang suka ke seseoraang?" cemoohnya. "Lo itu baru aja pindah sehari, gak usah berbuat yang aneh-aneh." Ia lalu kembali mengalihkan fokus pandangnya ke buku yang sempat terabikan karena harus meladeni makhluk lain di ruangan ini.
Rivay tak menanggapi lebih lanjut omongan Dani itu. Ia kembali sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri.
***
"Fayraaaaaa," teriak Chesta di depan pintu kelas. Fayra yang sedang sibuk ber-selfie ria sontak langsung menolehkan kepalanya ke asal suara. Gagal satu pose unyu yang tadi disiapkannya untuk dipotret. Muka Fayra langsung cerah ketika melihat siapa gerangan yang meneriaki namanya itu. Chesta berlari kecil ke arah Fayra yang sedak duduk di kursinya.
"Aaaaaa Chestaaaa kangeeen," teriak Fayra kepada Chesta yang sudah hampir sampai di mejanya. Fayra bergegas berdiri dan merentangkan tangannya lebar-lebar. Mereka berpelukan seolah-olah seperti saudara kembar yang baru bertemu setelah sekian tahun terpisah, padahal baru kemarin mereka tidak bertemu.
"Ciye yang kangen," ucap Chesta melepaskan pelukannya sambil cekikikan.
"Iya," ucap Fayra memasang tampang sok imutnya yang disambut tawa geli oleh Chesta. Chesta berjalan melewati kursinya dan duduk tepat di meja belakang Fayra. Fayra yang melihat itu menjadi bingung.
"Lho kok tas elo taruh di atas meja Gio sih?" tanya Fayra bingung.
"Gue mau duduk di sini.'' Chesta duduk dengan santainya di kursi yang semula merupakan tempat duduk Gio.
"Lah entar Gio duduk di mana?" Fayra semakin bingung dengan tingkah Chesta ini.
"Duduk di belakang sama Nelo. Gue suruh pindah tu anak," jawab Chesta yang tidak bernai menatap Fayra saat menjawab.
"Dia mau?"
"Gue ancem gak bakal lo kasih contekan lagi kalau dia gak mau pindah," jawab Chesta cengengesan.
"Eh bentar, bukannya hari ini kita mau suruh Rivay pindah ya? Kalo lo duduk di sini, berarti Rivay tetap duduk semeja sama gue dong, ngambil tempat lo?"
"Ya udah, gak apa-apa. Gue duduk di sini aja," jawab Chesta enteng.
Fayra memicingkan mata menatap Chesta, "Kok lo mau sih pindah? Kemaren pas di telepon, katanya lo mau suruh Rivay pindah?" tanya Fayra yang mulai mengendus bau-bau mencurigakan di sini.
"Kayaknya gue berubah pikiran deh. Lagian, seharusnya lo senang dong bisa duduk semeja sama cogan." Chesta pura-pura merapikan rambutnya yang sama sekali gak berantakan.
"Idih kagak lah. Kalau duduk semejanya sama Kak Regan, baru gue senang. Elo disogok ya sama Rivay supaya mau pindah?" tuduh Fayra kepada Chesta. Abis Fayra bingung sih, kemaren kan mereka sudah menyusun rencana untuk mengusir Rivay, kenapa hari ini malah gagal total, sih?
"E... enggak kok," jawab Chesta gelagapan. Matanya bergerak ke kiri kanan, gak berani membalas tatapan curiga dari Fayra.
"Ayo ngaku!" desak Fayra dengan menatap Chesta lurus-lurus.
"Eh, hm gimana ya." Chesta sibuk berpikir bagaimana menjawabnya. Saat Chesta baru akan mulai membuka mulutnya, Rivay masuk kelas dengan santainya. "Eh tu ada orangnya. Tanya sama Rivay aja deh ya. Gue mau ke kelas Dira sama Sisil dulu. Dah, Fay." Chesta buru-buru meninggalkan kelasnya, tak di pedulikannya Fayra yang berteriak memanggilnya.
"Elo ngomong apa sama Chesta sampai tu anak mau aja disuruh pindah?" tanya Fayra langsung kepada Rivay yang baru saja duduk di sampingnya.
"Huh?" Rivay pura-pura gak ngerti sama apa yang ditanyakan Fayra. Hal itu tentu saja membuat Fayra makin gemas.