Di stasiun terdekat, Haru terlihat sedang duduk bersandar pada sebuah kursi besi panjang, dengan kedua tangannya dilipat di dada. Mata beratnya setengah terbuka, serasa ia ingin terlelap begitu saja tanpa mempedulikan orang sekitarnya. Dan dengan bersusah payah karena mata yang enggan terbuka, ia melirik jam di tangannya yang menunjukkan pukul 8.00 malam.
Ia pun mendesah pelan sebelum menguap lebar, sembari menggerutu dalam hati: "Kau sangat lama kereta sialan! Tidakkah kau mengerti kalau aku sudah terlihat seperti zombie disini karena menunggumu!"
Rasa kantuk benar-benar membuatnya setengah sadar malam ini hingga ia putuskan untuk memejamkan kedua matanya, tetapi tidak berniat untuk sampai terlelap.
....
"Oi, Haru, bangunlah bodoh!" Seru Daiki dengan suara yang ia tahan sembari menyentuh pundak Haru dan menggerak-gerakkannya perlahan.
Haru yang saat ini sedang memejamkan kedua matanya pun tersentak kaget, lalu segera berdiri dari sikap duduk malasnya, ketika melihat Daiki menatapnya dengan tatapan yang cukup biasa baginya; menatapnya dengan dingin seperti biasa.
Daiki mengerutkan keningnya. "Kau tertidur bodoh".
"Hah? Benarkah? Aku tidak tidur...serius. Aku hanya menutup mataku saja" Balas Haru; berusaha mengelak dari kebenaran itu.
Mendengar perkataan itu, Daiki pun menghela napas sejenak sebelum berkata: "Sudah kukatakan, kau tidak perlu menungguku. Kau memang keras kepala seperti biasa... dan juga bodoh".
Haru sedikit kikuk sembari menggaruk-garuk kepalanya. Ia pikir, dengan hanya memejamkan matanya tadi tidak akan membuatnya terlelap. Dan nyatanya, ia terlelap begitu nyenyak sampai tidak menyadari kereta yang datang. Namun, tidak masalah. Sekarang, ia benar-benar bugar, seperti baru bangun pagi dan begitu bersemangat untuk kembali.
"Sudahlah. Tidak penting. Sebaiknya, sekarang kita pergi" Kata Haru sembari merangkul tubuh Daiki agar berjalan bersamanya.
Daiki tampak tidak masalah dengan Haru yang merangkul tubuhnya saat ini. Dan bahkan, dari sudut mata Haru, ia dapat melihat Daiki yang sedang tersenyum walau senyuman itu samar-samar di wajahnya.
Mereka berdua pun berjalan, dengan Haru yang sesekali menggoda Daiki agar tidak bersikap kaku. Walau sikapnya adalah hal yang biasa, Haru hanya begitu bahagia malam ini dan tanpa mengetahui penyebabnya. Entah karena melihat senyumannya atau hanya sekedar senang melihat wajahnya... atau bahkan keduanya!
Sepertinya, malam ini tidak buruk untuk menunggunya setelah selesai dengan urusan di universitasnya. Pikirnya.
....
Di tengah perjalanan mereka berdua, Haru masih saja memaraskan senyum lebarnya dan sesekali melirik kearah Daiki dengan wajah datarnya, lalu berseru: "Hei! Daiki! Apa kau ingat jalan itu?!"
Daiki menolehkan pandangannya kearah jalan yang ditunjuk Haru, tetapi tidak memberi jawaban apa-apa.
"Jalan itu menuju bukit yang sering kita datangi waktu sekolah dulu, bukan? … huh, sudah lama sekali. Bagaimana jika kita pergi kesana?... Hm, jika kau ada waktu... maksudku" Lanjut Haru.
Daiki masih belum menanggapi perkataannya dan terus terdiam seperti sebelumnya. Entah bagaimana lagi seharusnya Haru bersikap agar Daiki memperhatikannya.
Meninggalkannya lagi seperti dulu?
Haru pun menghela napas panjang; merasa sudah menyerah dengan sikapnya. "Hei, Daiki? Kenapa kau bisa tau tempat tinggalku waktu itu?"
Segera Daiki menghentikan langkahnya dengan menundukkan kepalanya, seakan sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan yang baru saja didengarnya. Sedang Haru juga ikut berhenti di sampingnya sembari mengernyit bingung melihat sikapnya. Namun, hanya untuk beberapa saat saja. Kemudian, Daiki kembali melangkah dengan Haru juga ikut bersamanya.
"Daiki? Ke--" Haru hendak mengulang pertanyaan yang sama, tetapi Daiki segera memotong ucapannya. "Aku tidak tahu".
"Huh... baiklah. Bukan masalah kalau kau tidak ingin memberitahuku. Tapi, biar kutebak satu hal..." Haru tersenyum sebelum melanjutkan perkataannya. "Pasti, hal yang paling memalukan dalam hidupmu adalah hal itu".
Daiki menoleh kearah Haru yang tersenyum seperti mempunyai maksudku tertentu. Entah bermaksud mempermainkannya atau bermaksud membuatnya tertawa, lalu bertanya dengan dingin: "Maksudmu?"
"Hal 'itu'... hal tentang bagaimana cara agar kau menemukan alamatku..." Jawab Haru dengan berusaha untuk menahan tawa di tenggorokannya.
"Kau terlalu bodoh jika kau tidak mengerti maksud dari perkataanku" Lanjutnya. Kali ini, ia menertawakan hal yang ia pikirkan di kepalanya.
"..." Daiki kembali terdiam. Sedang Haru berhenti tertawa. Sehingga, keheningan terjadi untuk kesekian kalinya. Hanya angin yang sesekali terdengar di telinga mereka dan bisingnya suara kota. Bahkan, suara aliran sungai dari jembatan yang baru saja mereka lewati dapat terdengar jelas tanpa mereka yang saling berbicara.
Haru enggan melirik kearahnya dan hanya terus menunggu Daiki untuk mulai berbicara. Namun, karena seakan sudah terbiasa untuk menjadi yang pertama, ia merasa aneh jika tidak memulai suatu pembicaraan.
"Hei, kapan kau mau jujur padaku... atau paling tidak kepada dirimu sendiri?" Tanya Haru. Kali ini, raut wajahnya menunjukkan jika ia sedang serius menanyakan hal itu.
"Aku tidak mengerti apa maksud dari perkataanmu" Daiki masih enggan menjawab pertanyaan dari Haru.
"Aku hanya bermaksud untuk mencari tahu sebuah kebenaran. Kau tau jika aku menyukaimu, kan? Dan, kau juga sudah menolakku. Tapi, saat aku pergi, kenapa kau... kenapa kau mencariku?" Tanya Haru sekali lagi.
Daiki menarik napas tanpa suara, lalu memberi jawaban yang sama: "Aku tidak mengerti apa maksud dari perkataanmu".
"Kau tau, sebenarnya aku lelah. Dan terkadang aku juga berpikir, kalau tanpa sebuah kepastian itu adalah hal yang melelahkan..." Kata Haru sembari tersenyum, tetapi senyumannya tidak menunjukkan kebahagiaan seperti sebelumnya.
"..." Keheningan kembali terjadi, tetapi untuk beberapa saat saja, sampai Daiki mulai berbicara; menjadi yang pertama untuk pertama kalinya. Haru dibuat terkejut, tetapi ia berusaha menyembunyikan perasaannya.
"Haru, apa aku untukmu?" Tanya Daiki sembari menundukkan kepalanya dengan langkah yang juga ia hentikan, diikuti oleh Haru.
Setelah mendengar pertanyaan itu, Haru begitu ingin menertawakannya karena pertanyaan itu, seolah sedang menggelitik perutnya. Namun, ia tidak dapat melakukannya. Perasaan lucu hanya ada di kepalanya dan menertawakannya sekedar hanya membayangkannya saja. "Jika kau meminta jawabanku tanpa sebuah persetujuan darimu, maka akan kujawab... kau adalah kekasihku. Namun, jika harus meminta persetujuanmu pun, maka akan tetap kuberi jawaban yang sama".
"Daiki, jika aku menanyakan hal yang sama, 'apa aku untukmu?', Bagaimana jawabanmu?" Lanjutnya menanyai Daiki yang terlihat pucat di sampingnya.
Daiki kembali menarik napas dalam-dalam, lalu berkata: "Sudah sampai. Aku akan lewat jalan ini agar dapat sampai lebih cepat di tempatku".
Haru tersenyum dengan mata yang tidak sehangat senyumannya saat ini. "Kau ingin pergi? Atau kau ingin mengelak dari pertanyaanku? Aku tidak memaksamu untuk menjawabnya. Tapi, jangan tinggalkan aku seenaknya saja setelah memberi pertanyaan seperti itu".
Daiki membeku sejenak sebelum mulai melangkah dan berkata: "Aku pergi".
Setelah Daiki menghilang dari pandangannya, Haru masih tetap pada tempatnya. Tangannya bergerak menyentuh kepalanya dengan lesu, lalu memejamkan kedua matanya dan menggumam dalam hati: "Dia meninggalkanku begitu saja tanpa mengetahui perasaanku saat ini. Dia memang orang yang paling menyebalkan, yang pernah kukenal selama ini. Namun, anehnya, aku mencintainya. Apakah aku normal? Ataukah aku memang orang yang paling bodoh?"
Ia pun mulai melangkah dengan malas sebab perasaan lesu setelah Daiki meninggalkannya dengan seenaknya saja; seenaknya menanyakan hal seperti itu; dan seenaknya pergi meninggalkan Haru.
Seenaknya saja!
Kapan ia bisa berhenti untuk berpura-pura menjadi orang bodoh?!
Senyuman lebar yang tadinya ia pikir akan bertahan hingga ia sampai di tujuan, ternyata hanya bertahan setengah jalan!
Argh! Sangat menyebalkan!
*****