Di perjalanan pun, Daiki belum juga mengatakan apa-apa. Dari raut wajahnya yang tampak kesal, membuat Haru hanya dapat menggeleng pelan ketika melirik kearahnya. Namun, sekesal apapun Daiki malam ini, rasa kesalnya tidak membuat Haru ingin menjauh seperti setahun yang lalu--bahkan, seperti memberi peluang untuk semakin mendekatkan diri dengannya.
Ia tidak sedang berkhayal di dunia fantasinya, tetapi perasaan seperti itu memang sedang dirasakannya tanpa perlu berhalusinasi seperti sebelumnya.
Ia yakin dan benar-benar yakin bahwa saat ini, Daiki yang sekarang sudah cukup bersahabat walau ia tidak pernah mengakuinya.
Hingga sebuah tempat mengalihkan perhatian Haru dari pemikirannya, lalu segera berseru: "Lihat! Kau tidak ingin singgah ke tempat itu?"
Ia melirik pada sebuah rumah makan yang hampir mereka lewati, lalu menoleh kearah Daiki. "Hei, kau masih memikirkan perkataanku tadi?... Sudah kukatakan kalau aku sedang bercanda".
Sedetik setelah Haru menyelesaikan perkataannya, Daiki juga menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Haru di sampingnya, yang saat ini juga melakukan hal yang sama. "Sebenarnya, kau ingin membawaku kemana? Jangan bilang, kalau kau ingin aku menemuimu hanya agar aku menemanimu makan di tempat itu". Ia memberi jeda sejenak, dengan tatapan dalam yang terus tertuju pada kedua mata Haru, tanpa berkedip sedikitpun, lalu lanjut berkata: "Kau tau? 20 menit dari waktu berhargaku hanya akan terbuang sia-sia jika aku menemanimu ke tempat itu".
Haru tertegun sesaat, lalu menghela napas panjang. "Hmm, aku hanya ingin mengajakmu mengenang masa lalu".
"Tch! 'Mengenang masa lalu'? Perkataanmu terdengar seperti seorang lansia saja". Kata Daiki dengan nada suara mengejek.
Wah! Menusuk sekali!
"Baiklah. Baiklah. Ayo ikut aku". Haru segera berjalan dengan Daiki yang mengikuti dari belakang.
Mereka pun berjalan, tetapi tidak beriringan. Haru yang berada di depan saat ini, seakan sedang mengarahkan Daiki yang mengikutinya dari belakang. Dan seperti biasa, keheninganlah yang mendominasi.
Mereka menyusuri jalan yang cukup ramai, lalu berbelok masuk pada sebuah jalan kecil yang berada di antara dua bangunan tua; menyusurinya beberapa saat; hingga bising dari suara keramaian kota sudah terdengar samar-samar, dengan kaki yang terus melangkah.
Sesekali, Haru menunjuk suatu tempat atau sebuah bangunan dan memperkenalkannya kepada Daiki bah seorang pemandu wisata, tetapi seorang yang selalu bersikap dingin dan kaku seperti Daiki tidaklah tertarik dengan hal-hal seperti itu. Hingga suatu tempat membuat Daiki berseru di belakang: "Hah! Bukankah itu tempat kita selalu bermain basket dulu?!"
Haru menoleh ke arah tempat yang dimaksud, lalu melirik Daiki di belakang yang sudah berubah raut wajahnya--tampak ceria dari sebelumnya.
"Tepat! Kau mau bermain? Aku yakin, kau sudah tidak punya kemampuan bermain basket lagi seperti dulu". Haru terdengar mengejek.
"Heh! Kau bahkan tidak akan bisa menyentuh bolanya" Balas Daiki yang juga berlagak sombong.
Haru kembali meluruskan pandangannya dan terkekeh pelan tanpa sepengetahuan Daiki di belakang. Ia merasa, sikap sombong itu sudah menjadi naluri Daiki untuk melakukan pembelaan diri. Mulai sejak dulu hingga kini. Tidak berubah sama sekali.
*****
Setibanya, setelah menaiki anak tangga yang cukup banyak, Haru berhenti dan mengangkat kepalanya; memandangi perbukitan di depannya. Senyuman hangat terpancar cerah di wajahnya sebab perbukitan ini menyimpan kenangan yang tidak akan pernah bisa dilupakan begitu saja. Ia kemudian menoleh sesaat; melihat Daiki yang juga sedang membatu sembari menatap bukit di hadapan mereka, dengan hatinya memperingati diri sendiri: "Tch! Jangan berharap sesuatu yang berlebihan dari orang itu Haru! Sadarlah! Dia bukan tipe orang penyimpan kenangan seperti itu! Dan mungkin, dia sudah tidak mengingatnya sama sekali"
Mendengar kata hatinya yang sedang memperingati diri sendiri, membuat senyuman yang tadinya hangat di wajahnya menjadi senyuman penuh kekecewaan dan rasa kasihan terhadap diri sendiri.
"Ayo, naik! Jangan bilang kalau kau sudah tidak sanggup mendaki bukit kecil ini!" Haru berseru sembari mulai memijakkan kaki dan perlahan mendaki. Namun, baru beberapa langkah kakinya bertumpu, ia kembali berhenti, lalu menoleh ke belakang; melihat Daiki yang masih membatu. "Hei! Kau ingin tetap berdiri disana?!"
Detik itu juga, mata Daiki menyapu kearahnya, lalu berkata dengan kening berkerut: "Apa kau bercanda?! Kenapa kau membawaku ke tempat ini?!"
"Hah?! Memangnya ada apa?! Sudah ku katakan kalau aku ingin mengajakmu mengenang masa lalu!" Haru mengernyit bingung dengan perasaan yang juga sedikit kesal saat ini!
Daiki tertegun sejenak. Tampaknya, perkataan Haru baru saja membuat Daiki seperti sedang memikirkan sesuatu di kepalanya. Kemudian, ia kembali mengangkat kepalanya dan berkata dengan cukup tegas: "Apa kau pikir sekarang sedang musim panas?! Udara di atas sana pasti sangat dingin! Dan aku tidak mau mati beku di atas sana!"
Haru sedikit memiringkan kepala; merasa bingung dengan perkataan itu. Dan... hah?! Matanya seketika melirik tajam kearah sepasang mata di bawahnya ketika suatu hal terlintas di pikirannya. "... Daiki, ja-jangan-jangan, kau tidak mau naik karena kau tidak ingin mengingat hal memalukan yang pernah terjadi di atas sana".
Segera Daiki terkejut dengan mata yang melebar, lalu tertunduk menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah!
Dan tentunya, Haru yang melihat pemandangan itu pun dibuat seketika terbahak begitu keras sembari menyentuh perutnya yang serasa dikocok geli.
"Bodoh!" Kata Daiki dengan suara ditahan. Dan karena geram sebab ditertawakan, Daiki pun mulai menaiki bukit itu dengan rasa muak di tiap kali tangannya mencengkram rumput sampai hampir terlepas. Ia terlihat cukup cekatan menaiki bukit dengan perasaannya saat ini.
Sedang Haru, ia terus terbahak. Hingga Daiki melewatinya dan membuatnya sedikit meredakan tawanya. Kemudian, ia mengikuti Daiki yang sudah cukup jauh menanjak walau sesekali cengingiran kecil terlepas begitu saja, saat mengingat Daiki yang tersipu malu dengan wajah yang merona.
Daiki benar-benar seorang yang sensitif.
Huh! Dan membuatnya berpikir bahwa mereka sudah 'seperti sepasang kekasih' malam ini, sekali lagi!
*****