Daiki sudah sampai lebih dulu di atas sana. Sembari merapikan scarf yang hampir terlepas di lehernya, matanya melirik tajam ke arah Haru yang masih berjuang di bawah sana.
Mata yang tajam; yang terus terfokus ke arah Haru di bawah sana, berkilau diterpa sinar rembulan setengah lingkaran; dan menambah karisma di wajahnya yang memang tampan.
Haru sampai terpanah; terkagum-kagum; dan hampir lupa untuk membuang napas ketika melihat Daiki berdiri di atas sana dengan begitu menawan. Kemudian, ia menjulurkan tangan, berharap tuan menawan di atas sana akan meraihnya dengan senang hati. Namun, seperti dugaannya, pria menawan itu memang semenyebalkan seperti pandangan yang sedang ditunjukkannya dan bahkan membuang wajah ketika Haru menjulurkan tangan!
Seketika, di mata Haru, Daiki tidak lagi sebagai seorang menawan, melainkan sebagai seorang yang begitu mengesalkan!
.....
Setelah berada di atas, Haru segera duduk di atas rumput dengan meluruskan kedua kakinya dan mengamati gemerlap lampu-lampu kota dari tempat ini. Kemudian, ia berkata dengan senyuman, sembari menepuk-nepuk tempat di sampingnya: "Hei, duduklah. Malam ini, kita kan sudah 'seperti pasangan kekasih'. Jadi, kau tidak perlu merasa malu lagi. Hahaha".
Daiki hening sejenak, lalu dengan terbata-bata berkata: "H-hah?! ... B-bodoh... aku tidak mau. Rumputnya ba-basah".
"Basah?" Haru meraba-raba rerumputan disekitar tempat ia duduk untuk memastikan 'rumput basah' yang Daiki katakan. "Heh, sentuh saja dengan tanganmu sendiri"
[…] "Jadi kau ingin tetap berdiri disitu?... Huh! Terserahlah". Lanjut Haru berlagak tidak mempedulikan apa-apa.
Haru menarik ponsel dari saku celananya, lalu mulai mengambil beberapa gambar pemandangan kota di bawah sana. Bersikap acuh tak acuh terhadap Daiki yang berdiri di sampingnya.
[…] "Hei, apa kau mau melihat tempat yang menyeramkan?" Sembari bertanya, Haru mengamati setiap gambar yang baru diambilnya tadi.
Daiki mengerutkan kening, lalu menoleh ke arah Haru dengan kedua mata melebar. Walau tanpa berkata apa-apa, raut wajahnya sudah menunjukkan bahwa ia sedang meminta penjelasan mengenai 'tempat yang menyeramkan', yang baru dikatakan oleh Haru. Namun, sepertinya, Haru tidak peduli dan tetap sibuk dengan mengambil gambar pemandangan kota di bawah sana, lalu mengamati gambar-gambar yang baru diambilnya.
[…] Setelah Haru merasa puas mengamati gambar-gambar di ponselnya, ia pun segera berdiri dan menyambar pergelangan tangan Daiki, agar ia mengikutinya menuju suatu tempat.
Daiki yang terkejut sebab ditarik begitu saja pun hendak menolak, tetapi Haru yang saat itu memasang raut wajah memelas padanya dengan mata yang berbinar, membuatnya tidak dapat berkata apa-apa karena rasa kasihan, atau memang itu kelemahannya? Sehingga ia dengan perasaan rela hati, mengikuti Haru tanpa melepaskan cekraman Haru di pergelangan tangannya.
Walau di malam hari, Haru yang berada di depan seraya tersenyum begitu gembira, menyusuri jalan yang ditumbuhi rerumputan selutut dan tanah yang sedikit berbatu, terlihat tanpa kendala. Walau dengan sinar bulan yang remang-remang, itu sudah cukup untuk membuatnya dapat melihat jalan dengan cukup jelas.
[…] Setelah sekitar lima menit berjalan, mereka berdua pun tiba di ujung bukit, yaitu tebing dengan bebatuan di bawahnya. Kemudian, segera Daiki melepaskan tangannya, lalu bertanya: "Tempat apa ini?"
"Tempat yang menyeramkan. Dan, apa kau tau? Katanya, sudah banyak yang melakukan bunuh diri di tempat ini, dari beberapa tahun yang lalu" Jawab Haru; menjelaskan.
Daiki menyipitkan matanya. "Oh, dan kau juga mau melakukannya sekarang? Baiklah. Aku akan menyaksikanmu".
Haru mendesah pelan; berusaha untuk tidak terpancing dengan perkataan itu. "Sebenarnya, aku membawamu kesini karena kau terlihat bosan di tempat tadi, dan..." Haru menarik napas dalam-dalam sebelum berkata: "...Aku ingin memastikan sesuatu".
"Setelah kupikir-pikir, sepertinya, aku memang perlu memastikan hal ini sekarang". Lanjutnya.
"Apa maksudmu?" Tanya Daiki.
Haru pun berbalik kearah Daiki, lalu menggenggam kedua tangannya dengan lembut. "Daiki... hmm..." Sejenak ia tertawa kecil, lalu lanjut berkata: "Aku tahu, kau pasti sudah bosan mendengarnya, tapi... aku benar-benar mencintaimu. Dan,... bagaimana denganmu?"
"Aku sudah merasa cukup untuk bersama dengan seseorang yang kusukai tanpa sebuah kejelasan. Aku tidak dapat menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini, tapi, asal kau tau saja, jika kau berada di posisiku maka kau juga akan merasakannya. Jadi, bagaimana denganmu? Apa kau juga mencintaiku?..." Lanjutnya.
Sedang Daiki, tidak dapat mengatakan apa-apa karena rasa terkejut membuatnya membeku. Haru dapat melihat perasaan terkejut itu pada wajahnya yang pucat.
"Jika kau tidak memiliki perasaan yang sama denganku, maka mulai malam ini, aku akan menyerah dan tidak akan pernah menganggumu lagi. Dan, jika kau juga mempunyai perasaan yang sama denganku, izinkan aku menciummu" Kata Haru dengan tatapannya yang begitu dalam.
Namun, belum saja Daiki berkata apa-apa, deringan telepon yang masuk sudah mendahului bibirnya untuk berbicara. Sehingga membuat Haru menghela napas panjang, karena deringan telepon itu mengganggu suasa penuh debaran ini.
"Argh... Reina, ayolah, jangan sekarang. Aku sibuk. Hubungi aku besok saja". Kata Haru ketika menjawab telepon yang masuk.
"Tapi, kau sudah dua hari ini tidak pernah menghubungiku!" Tegas Reina di telepon.
"Huh, ak--" Belum saja Haru menyelesaikan perkataannya, Daiki sudah merebut telepon Haru dari tangannya, lalu mematikan telepon itu secara sengaja!
Detik itu juga, Reina kembali menghubungi Haru dan segera Daiki mengembalikan ponsel Haru, dengan melemparnya dengan cukup kuat. "Kau bilang kau menyukaiku! Tapi kenapa kau masih bersama wanita itu?!"
"... Jika kau benar-benar mencintaiku, tinggalkan wanita itu!" Lanjutnya.
"Akan kulakukan!... Akan kulakukan! Aku janji!" Seru Haru sembari meremas kedua lengan Daiki. Namun, Daiki segera melepaskannya, lalu merendahkan pandangannya dan berkata: "Temui aku di... di lapangan basket saat malam Natal... jam 8... jangan sampai terlambat".
Setelah mengatakan hal itu, Daiki pun segera berlari meninggalkan Haru, dengan Haru yang mengejarnya dari belakang sembari terus memanggil namanya. Akan tetapi, Daiki sama sekali tidak mendengarkannya walau Haru beberapa kali menyuruhnya untuk berhenti.
"Jangan ikuti aku! Aku tidak akan pernah menemuimu lagi jika kau mengikutiku!" Seru Daiki tanpa menghentikan kakinya.
Segera Haru berhenti dan membiarkannya pergi; merasa takut jika Daiki benar-benar serius mengatakan hal itu.
Ia menyentuh dada sebelah kirinya dan merasakan detak jantungnya berdegup kencang karena rasa tak sabar ingin mengetahui jawaban dari Daiki, yang sudah sejak lama dinanti-nanti. Walau hatinya begitu optimis jika Daiki akan menerimanya, tetapi tetap saja perasaan tak sabaran ini membuatnya ingin segera melalui waktu dan berada di hari yang ia janjikan.
Beberapa saat kemudian, setelah Daiki benar-benar menghilang dari pandangannya, ia pun juga melangkah untuk meninggalkan tempat ini.
Jantungnya masih tetap berdegup kencang, sehingga ia harus menenangkan diri dengan menghela napas beberapa kali, di perjalanan.
Rasa tak sabarnya benar-benar membuatnya begitu bersemangat untuk melalui waktu dua hari kedepan!
*****